Hana tak pernah menyangka hidupnya akan berubah drastis dalam semalam. Dari seorang mahasiswi yang polos, ia terjebak dalam pusaran cinta yang rumit. Hatinya hancur saat memergoki Dion, pria yang seharusnya menjadi tunangannya, selingkuh. Dalam keterpurukan, ia bertemu Dominic, pria yang dua kali usianya, tetapi mampu membuatnya merasa dicintai seperti belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Dominic Lancaster bukan pria biasa. Kaya, berkuasa, dan memiliki masa lalu yang penuh rahasia. Namun, siapa sangka pria yang telah membuat Hana jatuh cinta ternyata adalah ayah kandung dari Dion, mantan kekasihnya?
Hubungan mereka ditentang habis-habisan. Keluarga Dominic melihat Hana hanya sebagai gadis muda yang terjebak dalam pesona seorang pria matang, sementara dunia menilai mereka dengan tatapan sinis. Apakah perbedaan usia dan takdir yang kejam akan memisahkan mereka? Ataukah cinta mereka cukup kuat untuk melawan semua rintangan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamicel Cio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Akhir
Dominic mendelik tajam ke arah Dion. Ruangan yang tadi hanya dipenuhi ketegangan kini terasa lebih sesak oleh kata-kata yang baru saja keluar dari mulut putranya.
"Ulangi," suara Dominic terdengar dingin, penuh ketegasan.
Dion bersandar santai di sofa, memasang ekspresi tak peduli. "Aku bilang, aku akan bertanggung jawab pada Sarah dan anak yang dia kandung… asalkan Ayah mutusin Hana."
"Jangan bodoh, Dion. Apa hubungan Hana dengan semua ini?" Mata Dominic semakin tajam, rahangnya mengeras.
Dion menyeringai kecil, matanya penuh dengan emosi yang sulit ditebak. "Tentu saja ada. Ayah tahu betul, aku pernah pacaran sama Hana. Aku masih ingat betapa aku menyayanginya. Dan sekarang, Ayah malah menjalin hubungan dengan mantan kekasih anaknya sendiri? Itu menjijikkan."
Dominic terkekeh sinis. "Dan kamu pikir permintaan bodoh ini bisa mengubah sesuatu?"
Dion menatap ayahnya penuh keberanian. "Aku tahu Ayah peduli sama dia. Tapi Ayah juga laki-laki yang selalu bertanggung jawab. Aku hanya ingin lihat sejauh mana Ayah berani mempertahankan Hana, sementara aku harus menikahi seseorang yang bahkan tidak aku cintai."
Dominic mengepalkan tangannya. "Kamu pikir ini barter? Ayah harus kehilangan orang yang aku cintai agar kamu mau bertanggung jawab pada anak yang sudah kamu buat? Ini bukan negosiasi, Dion. Ini hidup!"
Dion mengangkat bahu, seolah tak peduli. "Ya, terserah Ayah mau lihat ini sebagai apa. Tapi aku tidak akan menikahi Sarah kalau Papa tetap bersama Hana."
Dominic menghela napas panjang. "Dengar baik-baik, Dion. Tanggung jawab adalah sesuatu yang tidak bisa kamu tawar-menawar. Kamu sudah membuat pilihanmu dengan Sarah, maka kamu harus menerima konsekuensinya. Ayah tidak akan mengorbankan Hana hanya karena kebodohanmu."
Dion menatap ayahnya penuh amarah. "Jadi, Ayah lebih memilih perempuan itu daripada anak kandung Papa sendiri?"
Dominic tersenyum tipis, tatapannya tajam. "Aku tidak memilih siapa pun. Aku hanya tidak mau menukar kebahagiaanku dengan konsekuensi dari kesalahan orang lain. Kamu laki-laki, Dion. Hadapi tanggung jawabmu."
Dion mengepalkan tangannya, matanya mulai memerah. "Baiklah. Kalau begitu, jangan harap aku akan menikahi Sarah. Aku akan pergi dan biarkan dia mengurus anak itu sendiri!"
"DION!" suara Rina tiba-tiba menggema di ruangan itu.
Dion menoleh, melihat ibunya berdiri di ambang pintu dengan mata berkaca-kaca.
"Kamu benar-benar akan meninggalkan darah dagingmu sendiri hanya karena kamu tidak bisa menerima hubungan ayahmu dengan Hana?" Rina bertanya dengan suara bergetar.
Dion mengalihkan pandangannya, tidak mampu menatap ibunya.
"Dion, aku kecewa padamu. Aku tidak menyangka anak yang aku besarkan dengan penuh kasih sayang ternyata pengecut seperti ini."
Dion mengepalkan tangan, dadanya naik turun menahan emosi. "Aku bukan pengecut, aku hanya tidak terima ayah menjalin hubungan dengan mantanku!"
Dominic melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapan putranya. "Dengar baik-baik, Dion. Kamu boleh membenciku. Kamu boleh marah. Tapi jangan pernah bermain-main dengan kehidupan anak yang tidak bersalah. Kamu akan bertanggung jawab atas anak itu, suka atau tidak."
Dion menatap ayahnya dengan tatapan yang penuh luka dan kebencian. Ia tahu Dominic tidak akan mengalah.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Dion berbalik dan pergi, meninggalkan ruangan itu dengan dada penuh amarah.
Sementara itu, Dominic menarik napas panjang. Ia tahu badai baru saja dimulai. Tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan pernah melepaskan Hana hanya karena tuntutan yang tidak masuk akal.
Rina berdiri mematung, menatap Dominic yang kini berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang lebih dingin dari sebelumnya. Ia bisa melihat kemarahan di mata pria itu, tetapi ada juga sesuatu yang lain, keputusan yang sudah bulat.
"Apa?"
Rina diam seribu bahasa.
"Aku tidak bisa mengubah apapun, Rina. Aku tidak akan meninggalkan Hana. Dan sekarang, aku akan mengurus perceraian kita."
suara Dominic terdengar tegas, hampir seperti ultimatum.
Mata Rina membesar, tetapi ia tidak langsung bereaksi. Ia hanya menatap Dominic dalam-dalam, seolah mencoba mencari celah untuk menolak kenyataan yang baru saja keluar dari mulut suaminya.
"Dominic... kamu serius?" suara Rina bergetar, tetapi bukan karena sedih, melainkan marah.
Dominic tertawa kecil, tetapi tidak ada humor dalam tawanya. "Serius? Harus berapa kali aku mengatakan ini agar kamu percaya? Sudah bertahun-tahun kita bertahan dalam pernikahan yang tidak ada artinya, hanya demi Dion. Sekarang dia sudah dewasa. Itu selalu menjadi alasanmu untuk menunda perceraian, kan?"
Rina mengepalkan tangannya. "Aku melakukan itu untuk Dion, untuk keluargamu! Apa itu salah?"
Dominic menggeleng cepat. "Bukan untuk keluarga. Untuk citra. Untuk ilusi bahwa kita adalah keluarga sempurna padahal kita sudah mati sejak lama. Rina, aku lelah hidup dalam kebohongan. Aku lelah berpura-pura."
Rina tertawa pahit. "Dan sekarang kamu dengan mudahnya memilih perempuan itu? Mantan kekasih anakmu sendiri?"
Dominic menatapnya tajam. "Ini bukan tentang memilih, ini tentang mengambil kebahagiaanku kembali. Aku tidak akan membuang sisa hidupku dalam pernikahan kosong ini hanya karena kamu tidak bisa menghadapi kenyataan bahwa kita sudah selesai sejak lama."
Rina terdiam. Rahangnya mengeras, matanya mulai memerah, tetapi ia menolak menunjukkan kelemahannya di depan Dominic.
"Baik, kalau itu yang kamu mau, urus saja perceraian kita. Tapi jangan pernah berharap Dion akan menerima ini." kata Rina akhirnya dengan suara serak.
Dominic tersenyum tipis, tetapi ada luka di balik senyum itu. "Dion akan mengerti pada waktunya. Dan kalaupun tidak, aku tetap ayahnya. Itu tidak akan berubah hanya karena aku memilih kebahagiaanku sendiri."
Tanpa menunggu jawaban Rina, Dominic berbalik, melangkah pergi meninggalkan apartemen itu.
Rina hanya berdiri di tempatnya, hatinya hancur, tetapi egonya masih terlalu besar untuk mengakuinya. Yang tersisa hanyalah kebisuan yang menyakitkan, dan bayang-bayang kepergian Dominic yang untuk pertama kalinya terasa begitu nyata.
Hana duduk di pangkuan Dominic, merasa wajahnya semakin memanas. Sejak awal bekerja sebagai asisten pribadinya, Hana sudah terbiasa dengan tatapan dominasi lelaki itu, namun kini situasinya berbeda.
Dominic baru saja mengatakan sesuatu yang membuat jantungnya berdetak lebih kencang, sesuatu yang selama ini hanya ada dalam angannya.
“Aku akan cerai dengan Rina,” ucap Dominic dengan nada serius, matanya menatap lekat ke dalam bola mata Hana.
Hana menelan ludah. Jarinya mencengkeram lengan Dominic tanpa sadar. “Kamu… serius?”
Dominic mengangguk. “Aku sudah menunda ini terlalu lama. Alasan anak sudah tidak lagi relevan. Dion sudah dewasa, dia bisa hidup dengan pilihannya sendiri.”
“Tapi… keluargamu?” Hana menggigit bibirnya. Rasa bahagia dan ragu bercampur dalam pikirannya.
Dominic menghela napas, tangannya mengusap pipi Hana dengan lembut. “Aku tidak peduli dengan omongan orang lain, Hana. Aku hanya ingin kamu. Aku akan urus perceraian ini secepatnya, dan setelah itu… aku ingin menikah denganmu.”
Hana merasakan dadanya bergetar. Pernikahan? Dominic benar-benar ingin menikahinya? Seakan dunia sejenak berhenti berputar.
“Aku…” Hana terdiam.
Dominic menarik tubuhnya lebih dekat. “Kamu ragu?”
Hana menggeleng. “Bukan ragu… aku hanya tidak menyangka.”
Dominic tersenyum miring, lalu menunduk, mengecup keningnya lama. “Percayalah, aku sudah memikirkan ini matang-matang. Aku ingin kita hidup bersama, tanpa ada batasan apa pun.”
Hana mengerjap, menatap mata Dominic yang penuh keteguhan. Sejujurnya, jauh di dalam hatinya, dia juga menginginkan hal yang sama. Namun, dia tahu jalan yang harus mereka tempuh tidak akan mudah.
“Kalau kamu merasa takut, aku akan menggenggam tanganmu erat, kita akan hadapi semuanya bersama.” Dominic berbisik di telinganya.
Hana menunduk, air mata menggenang di sudut matanya. Dia tidak menyangka bahwa seseorang seperti Dominic, lelaki mapan yang sudah menjalani kehidupan lebih lama darinya, benar-benar ingin membangun masa depan bersamanya.
“Aku percaya padamu, pak Dominic.”
Senyum lelaki itu mengembang, lalu tanpa ragu dia menangkup wajah Hana dan menciumnya, lembut, namun penuh ketegasan.
Ciuman itu menyalakan perasaan dalam dada Hana, membuatnya semakin yakin bahwa apa pun yang terjadi nanti, dia akan tetap bertahan di sisi lelaki ini.
"Hmmpt," Hana menarik napas dalam, berusaha menenangkan debaran jantungnya setelah ciuman itu. Tangannya perlahan mendorong dada Dominic, menciptakan sedikit jarak di antara mereka.
“Aku harus kembali bekerja. Di sini, kita adalah bos dan karyawan. Tidak lebih.”
” ucap Hana dengan nada menggoda, senyuman kecil terbentuk di bibirnya.
“Oh? Begitu?” Dominic menyipitkan mata, sudut bibirnya terangkat nakal.
Hana mengangguk, mencoba bersikap profesional meskipun sulit ketika lelaki itu masih duduk dengan postur yang begitu dominan, sorot matanya tajam menusuk, seakan ingin menantangnya.
“Jadi, maksudmu aku tidak bisa mencium asistennya sendiri?” Dominic menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya penuh godaan.
Hana tertawa kecil. “Tentu saja tidak. Aku bukan pengecualian.”
Dominic mengangkat sebelah alis, lalu mendekatkan wajahnya. “Kalau begitu, aku akan menaikkan jabatanmu supaya tidak ada yang bisa protes.”
Hana terbelalak, tertawa lebih lepas. “Tidak bisa begitu, Pak Bos. Jabatan tidak boleh dikaitkan dengan urusan pribadi.”
Dominic menghela napas dramatis, lalu menatap Hana dengan tatapan yang lebih dalam. “Baiklah. Kalau begitu, aku akan bersabar sampai jam kerja berakhir.”
Hana menggeleng-gelengkan kepala, masih tersenyum. Dia tahu Dominic tidak akan membiarkannya begitu saja, tapi setidaknya mereka masih bisa menjaga batas selama di kantor.
“Bagus, aku kembali ke mejaku sekarang, Pak.” kata Hana sambil berdiri dari pangkuannya.
Dominic hanya tertawa kecil, menggeleng pelan saat melihat punggung Hana yang menjauh. Dia membiarkannya pergi untuk sekarang, tapi dia tahu, seberapa keras Hana mencoba bersikap profesional, cepat atau lambat batasan itu akan runtuh lagi.
"Aku tidak akan melepaskanmu, Hana!"
Bersambung...