Harry sama sekali tak menyangka, bahwa pacarnya yang selama ini sangat ia sayangi, ternyata justru menjalin hubungan dengan ayah kandungnya sendiri di belakangnya! Dan parahnya lagi, pacarnya itu adalah simpanan ayahnya sekaligus selingkuhan ibunya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon patrickgansuwu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11. Kamu menggemaskan
Sandrina masih berdiri kaku dalam pelukan Harry, jantungnya berdebar kencang. Lift yang sempit membuat mereka semakin dekat, dan pria itu sepertinya tidak berniat melepasnya dalam waktu dekat.
"Pak Harry, kita harus menjaga jarak..." bisik Sandrina, berusaha menghindari tatapan tajam bosnya.
Namun, Harry justru mengeratkan pelukannya, tangannya perlahan naik dan mengusap wajah Sandrina dengan lembut. "Kenapa? Aku tidak melakukan sesuatu yang salah, kan?" tanyanya dengan nada rendah yang terdengar menggoda.
Sandrina menelan ludah, merasa udara di dalam lift semakin panas. "Tapi... kita sedang di dalam kantor. Jika ada yang melihat—"
"Kita sedang sendirian, Sandrina," potong Harry cepat. "Tak ada yang bisa melihat kita di sini."
Pria itu tersenyum tipis, matanya menatap wajah Sandrina dengan penuh ketertarikan. Jemarinya dengan lembut menyentuh pipi gadis itu, mengusapnya perlahan seolah sedang menikmati kelembutan kulitnya.
"Kamu tahu," lanjut Harry, suaranya semakin rendah, "Kamu terlihat sangat cantik hari ini. Pita itu benar-benar cocok untukmu. Membuatmu terlihat lebih... imut."
Wajah Sandrina langsung memanas mendengar pujian itu. "Pa-Pak Harry, tolong jangan seperti ini..."
"Kenapa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya," ujar Harry santai. "Aku suka bagaimana wajahmu terlihat begitu polos dan lugu. Sangat menggemaskan."
Sandrina semakin canggung. Tubuhnya terasa panas karena jarak di antara mereka yang begitu dekat. Napas Harry yang hangat menyentuh kulitnya, membuatnya sulit berpikir jernih.
"Pak Harry, kita harus menjaga profesionalisme," ucap Sandrina dengan suara lemah.
Namun, bukannya menjauh, Harry malah semakin mendekat. Tatapannya menajam, matanya turun ke bibir Sandrina yang tampak sedikit bergetar. Seolah terhipnotis, pria itu perlahan menundukkan wajahnya, semakin mendekati wajah Sandrina.
Sandrina menahan napas, matanya membelalak ketika Harry semakin dekat. Waktu terasa berjalan lebih lambat, dan ia bisa merasakan detak jantungnya semakin liar.
Namun, tepat saat bibir mereka hampir bersentuhan—
Ding!
Pintu lift tiba-tiba terbuka, memperlihatkan beberapa teknisi yang berdiri di luar dengan ekspresi melongo.
Suasana hening seketika.
Teknisi-teknisi itu jelas melihat bagaimana posisi Harry dan Sandrina. Sang bos masih memeluk sekretarisnya dengan erat, wajah mereka begitu dekat hingga tampak seperti sepasang kekasih yang baru saja terganggu dalam momen romantis.
Sandrina langsung tersentak dan mendorong Harry dengan cepat, wajahnya memerah karena malu.
"S-Saya permisi dulu!" katanya buru-buru, langsung melangkah keluar dari lift tanpa berani menatap para teknisi yang masih menatap mereka dengan ekspresi penuh tanda tanya.
Harry hanya tersenyum kecil, tidak terlihat canggung sama sekali. Ia memasukkan tangan ke dalam saku celananya, lalu keluar dari lift dengan santai seolah tak terjadi apa-apa.
Salah satu teknisi yang tampak lebih tua akhirnya berdeham. "Ehem, maaf jika kami mengganggu..."
Harry melirik mereka sebentar sebelum berkata santai, "Tidak apa-apa. Terima kasih sudah memperbaiki liftnya."
Setelah itu, ia berjalan pergi dengan ekspresi tenang, sementara Sandrina yang sudah lebih dulu keluar masih berdiri di lorong, berusaha mengatur napasnya yang tak beraturan.
Gadis itu tak habis pikir dengan apa yang baru saja terjadi. Apakah Harry benar-benar hampir menciumnya barusan?
Ia menggelengkan kepala, mencoba menenangkan pikirannya. Tapi jantungnya masih berdegup kencang, dan wajahnya masih terasa panas.
Satu hal yang pasti—hubungannya dengan bosnya kini tidak akan pernah sama lagi setelah kejadian di lift itu.
÷÷÷
Sandrina berdiri canggung di depan pintu ruangan Harry, tangannya gemetar sedikit saat menggenggam tumpukan proposal yang harus segera diserahkan. Sejak insiden di lift tadi pagi, pikirannya terus saja dipenuhi dengan bayangan wajah bosnya yang begitu dekat dengan wajahnya.
Ia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran aneh itu. "Ini konyol. Aku hanya pegawainya, dan dia hanya bersikap iseng padaku. Tidak seharusnya aku baper hanya karena itu," pikirnya, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas kejadian tadi terputar dalam ingatannya—terutama bagaimana tangan Harry dengan lembut mengusap pipinya, dan bagaimana matanya menatap bibirnya seolah hendak...
Sandrina buru-buru menarik napas dalam, menenangkan detak jantungnya. Ia harus fokus. Ia harus profesional.
Tepat saat ia hendak mengetuk pintu, sebuah suara tegas menyapanya dari belakang.
"Apa yang kau lakukan di sini?"
Sandrina terlonjak kaget. Ia langsung menoleh dan mendapati Malinda—wanita yang dikenal sebagai salah satu manager di perusahaan itu—berdiri dengan ekspresi datarnya yang khas. Matanya yang tajam menatap Sandrina dengan penuh selidik.
"A-aku hanya ingin mengantarkan beberapa proposal untuk Pak Harry," jawab Sandrina gugup.
Malinda melipat tangannya, lalu melirik ke arah pintu. "Kenapa tidak langsung masuk saja? Atau... kau tidak sanggup?" tanyanya dengan nada menyindir.
Wajah Sandrina semakin panas. Malinda tidak salah—memang benar ia ragu untuk masuk.
Belum sempat ia merespons, Malinda sudah lebih dulu mengambil proposal dari tangannya. "Kalau kau tidak bisa melakukannya, biar aku saja yang memberikannya pada Pak Harry," ujarnya santai, lalu tanpa menunggu persetujuan Sandrina, ia langsung mengetuk pintu dan membuka pintu ruangan itu.
"Tunggu, aku—" Sandrina ingin merebut kembali proposalnya, tetapi terlambat.
Dari dalam ruangan, suara Harry terdengar. "Masuk!"
Dengan percaya diri, Malinda melangkah masuk, sementara Sandrina hanya bisa berdiri di ambang pintu, tidak tahu harus ikut masuk atau pergi dari sana.
Namun, saat Harry mengangkat kepalanya dan melihat ke arah pintu, tatapan matanya langsung tertuju pada Sandrina.
"Sandrina?" panggilnya.
Sandrina menegang. "I-iya, Pak?"
Harry mengernyitkan dahi, lalu melirik Malinda yang kini sudah berdiri di depan mejanya sambil menyerahkan proposal. "Kenapa malah kamu yang membawakannya?" tanyanya pada Malinda.
Malinda tersenyum kecil. "Saya hanya membantu. Sandrina tadi tampak ragu untuk masuk."
Harry mengalihkan pandangannya kembali ke arah Sandrina, menatapnya seolah mencoba membaca ekspresi gadis itu.
Sandrina menelan ludah. Tatapan itu... tatapan yang sama seperti saat mereka terjebak di lift tadi.
"Sandrina," panggil Harry lagi, suaranya lebih lembut kali ini. "Masuklah!"
Sandrina hampir saja menolak, tetapi Malinda sudah lebih dulu melangkah ke samping, seolah memberikan ruang untuknya.
Dengan berat hati, ia akhirnya melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Kini, hanya ada ia dan Harry di dalam ruangan itu.
Ia berdiri diam, menundukkan kepala, tidak berani menatap langsung ke arah bosnya.
"Pak... ini proposal yang harus Anda tanda tangani," ujarnya dengan suara kecil.
Harry tidak segera mengambil proposal itu. Sebaliknya, ia hanya bersandar ke kursinya, menatap Sandrina dalam diam.
"Kamu ingin menghindar dariku?" tanyanya tiba-tiba.
Sandrina langsung mengangkat kepalanya. "T-tidak, Pak! Saya hanya... sibuk."
Harry menyipitkan mata. "Sibuk, ya?"
Sandrina menggigit bibirnya. Ia tahu alasan sebenarnya adalah karena ia terlalu gugup untuk berhadapan langsung dengan Harry setelah apa yang terjadi di lift.
Harry mendesah pelan, lalu akhirnya mengambil proposal dari tangannya. "Baiklah. Kamu boleh kembali bekerja."
Sandrina langsung mengangguk cepat. "Terima kasih, Pak!"
Tanpa menunggu lebih lama, ia segera berbalik dan melangkah pergi. Namun, baru saja ia mencapai pintu, suara Harry kembali terdengar.
"Sandrina."
Gadis itu berhenti di tempat, tetapi tidak berani menoleh.
"Kamu masih terlihat manis hari ini," ujar Harry santai.
Jantung Sandrina langsung berdegup lebih kencang. Ia buru-buru membuka pintu dan keluar, tidak ingin memperpanjang percakapan itu lebih lama.
Begitu berada di luar ruangan, ia menempelkan punggungnya ke dinding, mencoba mengatur napasnya yang berantakan.
Satu hal yang pasti—menghindari Harry ternyata lebih sulit dari apa yang ia kira.