Setelah mengorbankan dirinya demi melindungi benua Tianlong, Wusheng, Sang Dewa Beladiri, seharusnya telah tiada. Namun, takdir berkata lain—ia terlahir kembali di masa depan, dalam tubuh seorang bocah lemah yang dianggap tak berbakat dalam seni bela diri.
Di era ini, Wusheng dikenang sebagai pahlawan, tetapi ajarannya telah diselewengkan oleh murid-muridnya sendiri, menciptakan dunia yang jauh dari apa yang ia perjuangkan. Dengan tubuh barunya dan kekuatannya yang tersegel, ia harus menemukan jalannya kembali ke puncak, memperbaiki warisan yang telah ternoda, dan menghadapi murid-murid yang kini menjadi penguasa dunia.
Bisakah Dewa Beladiri yang jatuh sekali lagi menaklukkan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19 Gong Cheng: Sang Mantan Jenderal Kerajaan Yang Berkhianat
Suasana dalam goa mendadak berubah setelah Lu Jintang jatuh tak sadarkan diri.
Api masih menyala, asap masih menggantung di udara. Tapi suasananya kini berbeda—lebih berat, lebih menekan, dan lebih menakutkan.
Wu Shen, yang masih berdiri di belakang karena perintah ibunya, menyaksikan semua dengan mata lebar.
‘Barusan itu… bukan hanya teknik kuat. Itu adalah kekuatan dari ranah yang berbeda sepenuhnya,’ pikirnya.
Kelompok Taring Phoenix memang menunjukkan kekompakan luar biasa. Serangan terkoordinasi mereka berhasil mendesak para bandit dan menghancurkan formasi pertahanan dalam waktu singkat.
Dalam pandangan awam, mereka seperti dewa api yang menari di tengah medan perang. Tapi kini, setelah Gong Cheng menunjukkan kekuatan sejatinya, semuanya berubah.
‘Dia berada di ranah Jenderal Beladiri tingkat 7, sementara Ruoxi baru di tingkat 4. Yang lainnya… Nie Lanhua, He Qingsu, Tan Meizi, dan Tan Meizhang—mereka semua masih di ranah Master Beladiri, satu tingkat di bawah Ranah Jenderal.'
Wu Shen mengepalkan tangannya. 'Ini bukan lagi pertarungan antara teknik dan kekompakan. Ini adalah ujian kekuatan murni melawan batas potensi mereka.'
Namun, ada suatu aturan tak tertulis dalam seni beladiri yang membedakan para pengguna elemen seni beladiri lainnya. Api, selama panasnya tidak cukup, maka mustahil untuk menghancurkan tanah yang keras.
He Qingsu melangkah maju, tubuhnya mulai diselimuti kabut panas yang membara.
“Jika tanah tak bisa dibakar, maka aku cukup melelehkannya,” gumamnya pelan, mengetahui kekurangan Seni Beladiri nya sendiri.
“Seni Lava: Suhu Maksimum!”
Uap panas meledak dari dalam tubuh He Qingsu, membuat otot-ototnya berwarna kemerahan seolah terbakar dari dalam.
Dengan satu hentakan kakinya yang menghancurkan tanah goa, He Qingsu mulai melesat dengan kecepatan luar biasa ke arah Gong Cheng.
Namun Gong Cheng bahkan tidak bergeser satu jari pun. “Tanahku… tidak selemah itu!” geramnya.
Aura cokelat pekat menyelimuti tubuhnya, ia mengepalkan tinjunya yang besar dan memukul langsung tepat di kepalan tinju He Qingsu.
Uap panas menyeruak tepat ketika kedua tinju berotot itu bertabrakan. He Qingsu menggerakkan giginya, menahan dorongan yang sangat kuat hingga kakinya sedikit bergeser ke belakang.
Gong Cheng menyeringai. "Hanya ini kekuatanmu?"
"Seni Naga Bumi: Gelombang Gempa!"
DUARR!
“UGHAAK!!” tubuh He Qingsu terlempar begitu Gong Cheng meningkatkan tekanan tinjunya. Tubuhnya menghantam dinding goa dengan keras, membuatnya batuk darah sebelum tak sadarkan diri.
"Sialan!"
Tak menunggu lama, Tan Meizhang dan Meizi menyerang dari sisi kanan dan kiri dalam formasi khas mereka.
“Seni Langit Membara: Jejak Ganda!”
Dua ilusi muncul bersamaan, menciptakan kekacauan visual yang sempurna. Tapi Gong Cheng hanya menurunkan kuda-kudanya, lalu memutar tubuhnya secepat badai.
Tinju beratnya menghancurkan ilusi dan menghantam tubuh asli mereka. Meizhang mencium lantai goa, sementara Meizi terseret beberapa meter sebelum berhenti, darah mengalir dari sudut bibirnya.
Nie Lanhua muncul dari belakang. Gerakannya nyaris tak terdengar, senyap bagai embusan malam.
“Tarian Matahari: Langkah Penetrasi!”
Pisau pendeknya melesat menuju leher Gong Cheng.
Namun…
DUKK!
"Apa?!"
Nie Lanhua membelalakkan matanya begitu melihat jika pisaunya yang diselimuti energi Chi yang khusus, tidak mampu untuk menembus tubuh keras seperti batu Gong Cheng.
“Seni Naga Bumi: Gempa Batu!”
Tanah bergetar dan bergelombang seperti air ketika Gong Cheng mengantam tanah dengan keras, membuat tubuh Lanhua terpental ke udara sebelum terhempas dengan keras ke permukaan batu, tak bergerak.
Wu Shen menggigit bibir menyaksikan hal itu. 'Satu lawan lima… dan mereka semua dikalahkan dalam waktu kurang dari satu menit.'
Seluruh anggota Taring Phoenix telah dikalahkan, menyisakan Wu Ruoxi sendiri dengan rencananya yang gagal total.
"Jika saja kami lebih kuat..." gumam Wu Ruoxi penuh penyesalan.
Tak bisa dipungkiri jika ia terlalu meremehkan misinya kali ini karena menganggap jika target mereka hanyalah bandit biasa.
Namun, nyatanya tidak. Lawan mereka yang sebenarnya adalah mantan jenderal perang kerajaan Shoushen yang tentu saja memiliki pengalaman bertarung melebihi siapapun.
Mata Wu Ruoxi beralih ke arah puteranya yang masih menyaksikan semuanya dari kejauhan. Ia sedikit sedih karena harus memperlihatkan sisi lemahnya sebagai ibu di hadapan Wu Shen, tapi sekarang bukan saatnya untuk memikirkan hal itu.
"Aku akan memotong lidahmu dan membakar mu hidup-hidup karena telah membunuh seluruh bawahanku, Wu Ruoxi!" seru Gong Cheng sambil menyeringai.
Wu Ruoxi mulai memasang kuda-kudanya. "Mari kita lihat apakah kau bisa melakukannya tanpa kehilangan nyawamu..." ucap Wu Ruoxi sambil tersenyum, berusaha terlihat kuat di hadapan putera kesayangannya itu.
'Lihat baik-baik Shen'er, ibu akan mengajarkanmu arti pertarungan yang sesungguhnya...' batin Wu Ruoxi sambil menatap Wu Shen yang berada di sisi belakang Gong Cheng.
"Kau memang tangguh sebagai wanita, tapi..." Mata Gong Cheng melirik kearah belakang, tepatnya menatap Wu Shen. "Aku akan mulai dari mencongkel mata anak itu."
Wu Ruoxi membelalak kaget. Namun, sebelum dia bereaksi, Gong Cheng sudah bergerak seperti gemuruh gempa yang sangat dahsyat. Dalam sekejap mata, Gong Cheng sudah berada di belakang Wu Shen, tangannya mencengkram tubuh kecil Wu Shen.
Gong Cheng menyeringai.
“Teruslah bermain api, dan aku akan menghancurkan leher bocah ini seperti ranting kering.”
Wu Ruoxi berdiri terpaku. Kakinya tidak bisa bergerak, bahkan untuk sekadar melangkah satu jengkal ke depan. Matanya gemetar, bukan karena takut pada Gong Cheng, tapi karena apa yang dilihatnya kini mencabik jiwanya.
‘Shen’er…'
Ia menggertakkan gigi. Hatinya retak.
‘Kenapa aku membawamu ke sini? Kenapa aku begitu keras kepala? Kenapa aku ingin sekali memperlihatkan kekuatanku di depanmu…?’
Wu Ruoxi menunduk. Bahunya bergetar. Tangannya mengepal, tapi tak lagi kuat. Aura api yang biasanya menyala terang di sekitarnya, kini meredup.
Suaminya, Wu Guan, sudah memperingatinya untuk tidak membawa Wu Shen dalam misi kali ini, mengingat bahaya yang mungkin bisa meningkat kapan saja.
Namun, Wu Ruoxi mengesampingkan bahaya itu, dia hanya ingin anaknya melihat seberapa hebat dirinya dalam bertarung. Ia ingin mengambil perhatian Wu Shen, agar dia tahu jika ibunya adalah wanita yang hebat.
Namun sekarang, ia mulai menyesal atas keegoisannya sendiri.
“Menyerah saja, Wu Ruoxi,” Gong Cheng menyeringai. “Tak ada lagi yang bisa kau lakukan. Jika kau bergerak, bocah ini—”
Gong Cheng terhenti ketika merasakan sesuatu yang aneh semenjak dia menyandera Wu Shen.
Bocah dalam genggamannya itu… tidak menangis. Tidak gemetar. Bahkan… sedang tersenyum?
Wu Shen menatap ibunya dari balik bahu Gong Cheng. Mata jernih itu bersinar lembut, penuh keyakinan.
“Ibu…” katanya pelan.
Wu Ruoxi mendongak, masih dengan mata berkaca-kaca.
“Seorang pejuang… harus tetap berdiri. Apapun yang terjadi.” Wu Shen menarik napas. “Kita tidak boleh menyerah apapun yang terjadi, bahkan di ujung kematian.”
Wu Ruoxi membeku.
Itu bukan kalimat seperti yang diucapkan oleh anak kecil pada umumnya. Itu… adalah suara seorang prajurit.
Gong Cheng mencibir. “Mulutmu besar untuk seseorang yang akan aku hancurkan…”
Namun, sebelum ia bisa menyelesaikan ancamannya—
ZRAAAAK!
Sebuah kilat menyambar dari atas gua, cahaya kuning keemasan memekik di udara bagaikan tombak para dewa. Suhu di ruangan tak berubah, tapi tekanannya… meningkat berkali-kali lipat.