Shanna Viarsa Darmawan melakukan kesalahan besar dengan menyerahkan kehormatannya pada Rivan Andrea Wiratama. Kepercayaannya yang begitu besar setelah tiga tahun berpacaran berakhir dengan pengkhianatan. Rivan meninggalkannya begitu saja, memaksa Shanna menanggung segalanya seorang diri. Namun, di balik luka itu, takdir justru mempertemukannya dengan Damian Alexander Wiratama—paman Rivan, adik kandung dari ibu Rivan, Mega Wiratama.
Di tengah keputusasaan, Damian menjadi satu-satunya harapan Shanna untuk menyelamatkan hidupnya. Tapi apa yang akan ia temui? Uluran tangan, atau justru penolakan yang semakin menghancurkannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black moonlight, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepulangan Julian
Damian melangkah cepat menaiki tangga menuju lantai dua. Begitu sampai di depan kamar Rivan yang masih terkunci dari luar, ia mengetuk pintu dua kali.
"Van, aku sudah antar Shanna pulang ke rumahnya."
Hening sejenak sebelum suara Rivan terdengar dari balik pintu.
"Gimana keadaannya, Om?" Suaranya terdengar penuh kekhawatiran.
"Dia sudah lebih baik," jawab Damian.
Dari balik pintu, terdengar helaan napas lega.
"Makasih, Om. Makasih banyak. Aku beneran nggak tahu harus gimana kalau Om nggak ada."
"Aku nggak masalah, Van. Tapi yang aku pertanyakan sekarang… Shanna dan bayi dalam kandungannya, mau kamu gimana?"
Hening lagi. Damian tahu pertanyaan ini tidak mudah bagi Rivan.
"Aku nggak tahu, Om… Aku bingung. Besok Ayah pulang, dan kalau aku masih di sini, aku pasti akan dipaksa pergi. Aku harus pergi sebelum Ayah sampai."
Damian mengusap wajahnya dengan kasar, frustrasi dengan pemikiran keponakannya.
"Van, jangan memperumit hidupmu dan hidup Shanna. Kalau kamu sampai kabur, nyawa mereka taruhannya."
Rivan terdiam lama sebelum akhirnya berbisik pelan, "Gimana cara aku bisa lindungin mereka, Om? Apa aku harus pergi menuruti keinginan Bunda?"
"Kamu yang paling tahu seberapa nekat orang tua kamu, Van. Maaf kalau aku terdengar kejam, tapi lebih baik mengorbankan bayi yang bahkan belum lahir dibandingkan kehilangan mereka berdua."
"Tapi, Om..."
"Pikirkan baik-baik, Van. Selagi kamu berpikir, aku akan mengawasi Shanna." Jawaban Damian terdengar tenang, seolah berusaha meyakinkan Rivan.
Setelahnya, Damian melangkah pergi menuju kamarnya. Kepalanya dipenuhi pikiran yang membuatnya semakin lelah. Ia sebenarnya tidak ingin terlalu ikut campur—ini bukan urusannya, bukan dia yang menghamili gadis itu. Tapi masalah ini menyangkut harga diri dan nama baik keluarga.
Di tempat lain, Shanna menatap langit-langit kamarnya. Tak pernah terbayangkan dalam hidupnya bahwa ia akan mengandung di usia muda. Sekalipun dengan Rivan, lelaki yang dicintainya.
Ia bertanya-tanya, bagaimana semua ini bisa terjadi? Mengapa Rivan bisa segegabah itu?
Namun, Shanna sadar ia tak bisa terus menangisi keadaannya. Ia harus segera mencari jalan keluar—dengan atau tanpa bantuan Rivan.
"Sialan kamu, Van..." keluhnya, air mata mengalir di pipinya.
Pagi harinya, suara mobil memasuki halaman rumah. Damian yang sedang duduk di ruang tengah segera bangkit dan berjalan menuju jendela.
Dari balik tirai, ia melihat sebuah mobil asing berhenti di depan rumah.
"Ah, itu pasti Julian," gumamnya.
Ia ingat bahwa Julian mengambil penerbangan malam. Seharusnya, pagi ini ia sudah sampai.
Benar saja, pintu mobil terbuka dan seorang pria bertubuh tegap turun. Wajahnya lelah, tapi sorot matanya tajam dan penuh amarah.
"Kak, suami kamu sudah sampai," panggil Damian dengan nada agak tinggi.
Mega segera bergegas keluar untuk menyambut suaminya. Raut wajah Julian sulit ditebak—antara lelah, marah, dan kecewa bercampur menjadi satu. Wajar saja, ia harus kembali dari luar negeri secara mendadak di tengah jadwal kerja yang padat karena ulah anak semata wayangnya.
Begitu memasuki rumah, Julian langsung bertanya tanpa basa-basi, "Di mana anak itu, Bun?"
"Di kamar. Aku menguncinya sejak kemarin," jawab Mega.
Tanpa menunggu lebih lama, Julian menaiki tangga dengan langkah lebar.
"Rivan!" panggilnya keras.
Jantung Rivan berdegup kencang. Matilah aku... gumamnya dalam hati.
Damian buru-buru menyusul ke atas dan menghadang Julian sebelum ia membuka pintu kamar Rivan.
"Tenang dulu, Kak. Jangan terbawa emosi. Kita bicara baik-baik, oke?"
"Dia anakku, aku harus mendidiknya!" suara Julian penuh tekanan.
"Aku mengerti, Kak. Tapi sekarang bukan waktunya. Kalau Kakak mau Rivan pergi dengan sukarela, jangan buat dia makin tertekan."
Julian menarik napas panjang, mencoba meredam emosinya.
"Baiklah," katanya akhirnya.
Dari bawah, terdengar suara Rendra memanggil.
"Julian, Damian, turun sekarang."
"Iya, Yah," jawab Damian cepat.
Julian membuang napas kasar sebelum akhirnya menuruni tangga, diikuti Damian di belakangnya.
Di ruang tamu, Rendra sudah duduk dengan ekspresi dingin. Ia menatap Julian tajam.
"Duduk," perintahnya.
Julian menurut, duduk di sofa berhadapan dengan Rendra. Mega duduk di samping suaminya.
"Maaf, Yah. Saya belum sempat menyapa. Saya tadi terlalu emosi. Saya hanya ingin bertemu dengan Rivan," ucap Julian dengan nada lebih tenang, mencoba menghormati mertuanya.
"Ayah kira kamu sudah lupa caranya menghormati keluarga ini," balas Rendra, suaranya berat.
Julian menundukkan kepala sedikit. "Tentu tidak, Yah. Sekali lagi, saya minta maaf."
Rendra menghela napas. "Baiklah… Sekarang, kita bahas hal yang lebih serius. Jadi, apa yang mau kamu lakukan dengan Rivan?"
Julian langsung menjawab tanpa ragu. "Keputusan kami sudah bulat. Kami akan membawa Rivan keluar negeri."
Rendra menatapnya lama sebelum bertanya, "Jadi kamu akan mengajarkan anakmu untuk lari dari tanggung jawab?"
Julian mengeraskan rahangnya. "Saya hanya ingin menyelamatkan masa depan mereka berdua, Yah. Saya dengar gadis itu mahasiswa berprestasi. Kita bisa menyelamatkan hidupnya dengan menggugurkan kandungannya. Kalau dia tetap mempertahankan bayi itu, kemungkinan besar dia tidak bisa melanjutkan pendidikannya. Bukan kah itu lebih menyedihkan? Kami tetap akan bertanggung jawab. Saya akan membiayai perawatannya dan memberikan kompensasi."
"Benar, Yah. Kandungannya baru satu bulan, masih legal untuk digugurkan secara hukum," tambah Mega, berusaha meyakinkan.
Damian menghela napas dalam. Ia sudah menduga ini yang akan terjadi.
Rendra, yang sejak tadi diam, akhirnya bersandar ke sofa dan menatap Julian dengan tajam.
"Kalian berdua sudah sepakat menggugurkan bayi itu?" tanyanya pelan, tapi penuh tekanan.
Julian mengangguk mantap. "Itu jalan terbaik, Yah. Demi masa depan semua orang."
Mega menegang. "Yah, kami tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Shanna masih muda, masa depannya akan hancur jika dia melahirkan anak itu. Belum lagi tekanan sosial yang akan dia hadapi. Keluarganya juga pasti akan kesulitan. Bayi ini tidak akan membawa kebaikan untuk siapa pun."
Rendra mendengus, ekspresinya semakin dingin. "Aku tidak akan ikut campur dalam keputusan kalian terhadap Rivan. Tapi jangan sampai kalian menghancurkan hidup anak lain demi menyelamatkan hidup anak kalian. Camkan itu!" suaranya tegas, penuh peringatan.
"Tentu, Yah. Kami tidak akan sekejam itu. Kami akan bernegosiasi dengan baik dengan Shanna dan keluarganya," jawab Mega dengan nada meyakinkan.
Damian terkekeh kecil. Negosiasi dengan baik? Ah, dia sudah terlalu mengenal kakak dan kakak iparnya. Mana mungkin mereka benar-benar bersikap baik? Mereka pasti akan memilih cara tercepat—entah itu adil atau tidak. Yang penting bagi mereka, mereka menang.
"Kau bicara seolah tak ada yang tahu sifat aslimu," Damian akhirnya buka suara, nada suaranya terdengar sarkastik. Ia bangkit dari duduknya, merasa pembicaraan ini tak lebih dari lelucon.
Baginya, keterlibatannya dalam masalah ini sudah cukup. Sekarang Julian sudah ada di sini, dia yang seharusnya mengurus Rivan.
"Aku sudah cukup ikut campur. Mulai sekarang, kalian bisa urus sendiri anak kalian. Selama yang kalian lakukan tidak menghancurkan nama keluarga ini, aku tidak peduli," ucapnya sebelum melangkah pergi, meninggalkan ruangan tanpa sedikit pun keinginan untuk menoleh ke belakang.