Krystal Berliana Zourist, si badgirl bermasalah dengan sejuta kejutan dalam hidupnya yang ia sebut dengan istilah kesialan. Salah satu kesialan yang paling mengejutkan dalam hidupnya adalah terpaksa menikah di usia 18 tahun dengan laki-laki yang sama sekali belum pernah ia temui sebelumnya.
Kesialan dalam hidupnya berlanjut ketika ia juga harus di tendang masuk ke Cakrawala High School - sekolah dengan asrama di dalamnya. Dan di tempat itu lah, kisah Krystal yang sesungguhnya baru di mulai.
Bersama cowok tampan berwajah triplek, si kulkas berjalan, si ketua osis menyebalkan. Namun dengan sejuta pesona yang memikat. Dan yang lucunya adalah suami sah Krystal. Devano Sebastian Harvey, putra tunggal dari seorang mafia blasteran Italia.
Wah, bagaimana kisah selanjutnya antara Krystal dan Devano.
Yuk ikuti kisahnya.
Jangan lupa Like, Komen, Subscribe, Vote, dan Hadiah biar Author tambah semangat.
Salam dari Author. 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Icut Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 9 : DIJODOHIN?!
"Apa? Jadi sejak dua hari yang lalu dai sudah di Indonesia?!"
"Maaf, Tuan."
Darrel menghela nafasnya kasar. Lalu menyandarkan tubuhnya pada kursi kebesarannya. Anaknya satu itu memang tidak pernah bisa ditebak. Tiga hari yang lalu putranya itu baru saja mendatanginya di Italia dan mengamuk karena menganggap Darrel mengingkari janji yang telah dibuat 13 tahun silam.
Benar-benar tidak terkendali, hingga Darrel pun rasanya tidak berdaya jika putranya itu sudah marah. Alhasil mau tidak mau ia terpaksa meninggalkan semua urusannya di Itali, demi agar putranya itu tidak nekad membakar seluruh penjuru dunia jika keinginannya tidak dituruti.
Yang sialnya keinginan putra tunggalnya ini cukup berat untuk di wujudkan. Karena ia harus berhadapan dengan William Zourist--- sahabatnya semasa sekolah yang koneksinya juga tidak main-main di dunia bisnis.
"Untuk apa dia ke Indonesia secepat itu?" Tanya Darrel pada James--- bodyguard mencakup asisten pribadi putranya itu.
"Kenapa? Kau di suruhnya untuk tutup mulut dari saya? Iya?!" Cecar Darrel, saat James hanya diam dan menunduk.
"Maaf, Tuan."
Darrel mendengus kasar. Tidak lama setelahnya pintu ruangan kerjanya terbuka secara sepihak, tanpa ketukan terlebih dahulu. Dan siapa lagi manusia yang berani melakukan itu pada mafia tingkat tinggai seperti Darrel, jika bukan putranya sendiri.
"Tidak semua urusanku harus kamu tahu, Dad." Suara dingin itu terdengar memenuhi ruangan sang Daddy.
Untuk beberapa menit Daddy Darrel hanya memperhatikan putranya itu yang sudah duduk di sofa, lalu memerintahkan James untuk keluar. Meninggalkannya hanya berdua dengan putra laknatnya itu.
"Kalau begitu silahkan kamu urus semuanya dengan William! Janga libatkan Daddy lagi!" Ketus Daddy Darrel, merasa tersinggung.
"Kecuali untuk yang satu ini." Ujar sang putra dingin.
Daddy Darrel mendesah pelan.
"Daddy harap kamu tidak melakukannya lagi." Lirih Daddy Darrel. Pikirannya mendadak berkecambuk.
"Langkah ke depannya tergantung dengan usaha Daddy sekarang. Kalau Daddy gagal, maka aku akan memakai cara aku sendiri." Sepasang mata coklat itu memandang Daddy Darrel kian dingin.
"Kau gila!" Dengus Daddy Darrel.
"Dari siapa lagi aku mendapatkan kegilaan ini, hm? Kalau bukan dari kamu, Dad." Katanya santai.
Benar juga.
Daddy Darrel menghela nafas nafas berat.
"Nanti malam. Daddy sudah mengatur jadwal makan malam bersama Zourist Family. Datanglah!"
Tidak ada gunanya ia berdebat dengan putranya ini. Ujung-ujungnya tetap ia yang akan kalah.
Sebuah senyuman miring hadir di wajah tampan keturunan Harvey itu. Senyuman miring yang menggambarkan kepuasan disana. Menghela nafas, lalu berdiri dari duduknya.
"*Oke. Thanks you, Dad*. Aku akan kembali bersekolah di sini. Dan jangan tanya kenapa."
"Terserah kau! Dasar otoriter!" Dengus Daddy Darrel.
Putranya itu satu tahun yang lalu memutuskan untuk pindah ke Los Angeles tanpa alasan yang jelas. Lalu sekarang ingin kembali menetap di Indonesia juga tanpa alasan. Daddy Darrel sudah seperti bukan berperan Ayah lagi. Melainkan asisten pribadi yang seenaknya disuruh-suruh oleh putranya itu.
Pintu ruangannya kembali tertutup. Daddy Darrel kembali menghela nafas. Ingatannya kembali melayang pada percakapannya dengan William Zourist.
Apakah ia sudah mengambil keputusan yang benar?
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Serius dia masukin narkoba ke hoodie lo?" Anggukan Krystal membuat Carletta mengumpat kasar. "Bangsat! Benar-benar nyari mati tu orang."
"Terus gimana?" Giliran Sasa yang bertanya khawatir.
"Gimana apanya? Lo nggak bisa lihat muka gue sekarang, hah?! Pakek nanya lagi." Ketus Krystal diakhiri dengan dengusan.
"Sekarang rencana lo apa?" Tanya Carletta.
Krystal menghela nafasnya panjang dengan sorot mata lurus ke depan. Krystal sekarang duduk di atas atap mobil milik Sasa dengan kedua kaki yang ditekuk, bersandar pada punggung Carletta yang melakukan hal yang sama. Sementara Sasa duduk miring di bangku kemudia, menghadap keluar dengan pintu mobil yang sengaja dibiarkan terbuka.
Setelah pertengkaran dengan sang Papa tadi padi, Krystal memang menghubungi Carletta dan Sasa untuk menemaninya keluar mencari angin. Sehingga kedua gadis itu terpaksa membolos dari sekolah.
"Ck! Nggak tahu deh. Yang jelas gue harus dapatin si kaparat Aldi. Gue nggak akan bisa mati dengan tenang sebelum ngelihat tu manusia satu menderita di hadapan gue." Ujar Krystal penuh emosi tertahan.
"Kalau itu lo tenang aka. Gue juga lagi nyari jejak tu orang sekarang. Dia ngilang lagi dan kemungkinan kali ini akan cukup lama kita menemukannya. Karena dia tahu lo masih ngejar dia." Ujar Carletta.
Krystal menghela nafas.
"Saran gue Krys, mending lo sudahi aa deh perang sama bokap lo itu. Karena ujung-ujungnya tetap lo yang babak belur. Lama-lama tu muka cantik lo gepeng tahu nggak, di pukulin terus." Ujar Sasa.
Krystal mendengus.
"Bodo! Mau gue mati sekalipun di tangan dia. Gue nggak akan pernah mau ngaku kalah atau mengalah. Sorry, ya."
"Tuh sifat lo yang kayak gini yang bikin gue males. Susah di bilangin, bebal, keras kepala, berontak terus. Licin kayak belut."
"Biarin!"
Sasa hanya membalas dengan dengusan kali ini. Bertepatan dengan suara dering ponsel milik Krystal terdengar.
"Ya, Bi? Ngapain? Ya udah aku pulang sekarang." Panggilan terputus.
"Kenapa?" Tanya Carletta saat Krystal melompat turun.
"Bi Asri nyuruh gue pulang."
Keduanya mengangguk, lantas mobil melaju meninggalkan pinggir jalan yang sepi itu dengan Sasa yang menyetir.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Dinner?!"
"Iya, Non. Tuan nitip ini tadi untuk Non pakai nanti malam."
Krystal dengan bingung menerima paper bag yang bertulisan 'DIOR' itu dari tangan Bi Asi. Mengintip ke dalamnya, terlihat sebuah dress hitam yang pastinya bagus. Ya iyalah, orang merek terkenal kok.
"Dinner apaan?! Keluarga aja berantakan sok-sok an dinner. Ck! Nggak ah Bi aku nggak mau datang. Balikin aja nih dressnya."
"Jangan gitu, Non. Nanti kalau Tuan marah gimana?"
"Apa yang wah dari dia marah-marah, Bi? Tiap hari juga kerjaan dia tarik urat terus sama aku."
"Justru itu, Non. Bibi udah cukup serangan jantung ngelihat pertengkaran Non sama Tuan dari semalam. Kalau berantem lagi, di jamin Bibi serangan jantung beneran habis ini."
Ucapan Bi Asri di sambut tawa sumbang dari Krystal, seakan apa yang wanita lansia itu ucapkan adalah sebuah lelucon.
Tapi serius, Krystal sangat malas jika harus menghadiri dinner itu karena pastinya Mama Ambar juga akan ikut datang. Malas jika harus duduk satu meja.
"Non Krys datang aja dulu nanti malam. Jangan ngebantah Tuan besar lagi." Ujar Bi Asri lembut, mengelus lembut kepala Krystal.
"Ck! Tapi malas banget, Bi. Apalagi harus satu meja sama jalang itu." Krystal berdecak sebal.
"Iya Bibi tahu. Tapi nggak ada salahnya Non Krys datang dulu. Sebentar juga nggak papa. Asal yang Tuan lihat Non Krys datang."
Huft. Krystal mengangguk, meski terpaksa. Bukan karena Krystal takut dengan amukan sang Papa. Tidak, sama sekali tidak. Tolong dicatat! Digebuki oleh sang Papa adalah hal yang sudah biasa untuk Krystal, sudah makanan sehari-hari nya sejak Mama Eliza meninggal. Namun, ia hanya sedang tidak mood berdebat dengan sang Papa sejak kejadian tadi pagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di sinilah sekarang Krystal berakhir. Sebuah restoran bintang lima. Apa Krystal bilang, Papa William pasti mengajak serta Mama Ambar dalam dinner ini. Wanita itu sedang berjalan dengan mengamit lengan Papa William. Semenara Krystal berjalan di belakang keduanya mengenakan dress hitam diatas lutut.
Tiba di sebuah ruangan VIP, Krystal cukup heran melihat ada lima kursi yang saling berhadapan disana. Dan entah kenapa perasaan Krystal mulai tidak enak. Ia mulai merasakan jika ini bukanlah sekedar dinner biasa. Pasalnya, Papa William terlihat berbincang dengan seseorang lewat telepon. Seperti memang sedang menunggu kedatangan orang lain di ruangan VIP itu.
Krystal melirik pada Papa William, sepertinya sang Papa tengah merencanakan sesuatu yang tidak dirinya ketahui. Hati nurani dan otak Krystal mulai bekerjasama dan menginterupsi nya untuk segera kabur dari ruangan ini sebelum terlambat.
Pintu terbuka, ada dua orang pelayan pria masuk dengan membawa troli hidangan makan malam.
"Duduk!"
Belum juga sempat berdiri, suara rendah dan dingin sang Papa sudah memerintah Krystal untuk kembali duduk. Belum lagi tatapan tajam sang Papa.
"Jangan pikir kamu bisa kabur. Kamu lihat sendiri bahwa disekeliling restoran ini sudah di jaga ketat dengan puluhan bodyguard." Ujar Papa William.
Sial! Krystal semakin yakin jika ini bukanlah dinner biasa. Jika hanya sekedar dinner keluarga. Kenapa juga di sekeliling restoran ini harus dijaga ketat dengan bodyguard?
"*William kampret!" Batin Krystal*.
Tak berselang lama setelahnya, seorang pria seusia Papa William datang dan bergabung di meja mereka. Pria itu sama-sama memiliki rahang tegas seperti Papa William, bahkan jika dilihat-lihat sangarnya juga sama.
"Aku tidak menyangka jika putri mu sudah sangat besar." Ujar Daddy Darrelian Harvey mengulas senyum nya ke arah Krystal.
Setelah bersalaman dengan Papa William dan juga Mama Ambar.
"Ya, watu memang cepat berlalu. Ini Krystal putriku." Ujar Papa William, ia tahu kata terakhirnya akan mendapatkan atensi tajam dari sang putri.
"Halo, Krystal. Kamu masih ingat, Om?" Daddy Darrel mengulurkan tangan yang disambut malas oleh Krystal.
"Tidak." Ujar Krystal datar, terang-terangan.
Daddy Darrel tertawa bersama dengan Papa William yang mengulas senyumnya.
"Tidak apa-apa, memang saat itu kamu masih sangat kecil. Namun, cantiknya tetap saja sama."
"Dimana dia?" Papa William mengalihkan pembicaraan.
"Dia siapa? Pa! Siapa?! Papa nggak ngerencanain hal aneh-aneh kan ke aku?!" Krystal lebih dulu menyela Daddy Darrel. Menatap tajam pada sang Papa yang tidak menjawab.
"Krystal! Jaga volume suara kamu!" Papa William memperingati dengan tegas.
"Ya maanya Papa jawab! Ini acara apa?!" Desak Krystal. Karena sekarang pikirannya mulai melayang kemana-mana. Termasuk satu kata yang memenuhi kepalanya sekarang.
Tidak, tidak mungkin dia akan dijodohkan bukan?
"Kamu tidak memberitahunya perihal perjodohan ini?"
*Damnt it*!
Pertanyaan Daddy Darrel pada Papa William membuat Krystal membulatkan matanya, terkejut.
"APA?! DIJODOHIN?!" Pekik Krystal. Gila saja.
"Begini lebih dramatis, bukan?" Sahut Papa William yang disambut tawa oleh Daddy Darrel.
Papa William beralih menatap Krystal.
"Iya, kamu akan Papa jodohkan dengan anak Om Darrel. Tenang saja, dia seusia kamu 18 tahun, tampan, berkharisma dan pastinya mapan karena pewaris satu-satunya Harvey's Corp."
Krystal membelalak saat selsai mendengar penjelasan Papa William. Dijodohkan? Dengan orang yang bahkan Krystal tidak pernah kenal? Gila saja! Dia masih belum setidak laku itu ya, sampai harus di jodohkan segala!
"AKU NGGAK MAU!" Tolak Krystal tegas.
"Duduk! Papa nggak nanya keputusan kamu." Ujar Papa William dingin.
"Pa! Papa nggak bisa kayak gini dong! Di jodohin! Lalu menikah, itu bukan masalah sepele! Aku masih 18 tahun!" Kata Krystal.
"Papa tahu yang terbaik untuk kamu, Krystal!!" Desis Papa William.
BRAK!
Krystal menggebrak meja, menatap sang Papa tajam dengan nafas memburu. Membuat Mama Ambar yang duduk di sebelahnya terkejut.
"Papa nggak pernah tau apa yang terbaik buat aku!" Desis Krystal, lantas beranjak meninggalkan ruangan tersebut.
"Krystal! Dengerin Papa dulu, Krystal!!!" Papa William mengejar langkah lebar sang putri.
"APA?!" Bentak Krystal berbalik menatap nyalang ke arah sang Papa. Nafasnya memburu.
Beruntung ini masih disekitaran VIP, sehingga tidak akan ada pengunjung yang mendengarkan.
"Papa ngelakuin ini semua supaya kamu tidak semakin terjerumus ke pergaulan bebas. Itu saja."
"TERUS PA! TERUS! KATAKAN SEMUANYA! APALAGI YANG TERBAIK BUAT AKU MENURUT PAPA, HAH? KATAKAN!! APALAGI?!" Jerit Krystal begitu keras.
"Capek, Pa. Krystal capek dengan semua keegoisan Papa tahu nggak." Suara Krystal berubah memelan. Dadanya naik turun. Baru tadi pagi, sekarang ia harus bersitegang lagi dengan sang Papa.
"Semua yang menurut Papa terbaik itu. Selalu salah di mata aku!" Desis Krystal.
"Terserah apa kata kamu. Papa sudah mengambil keputusan. Kamu, akan tetap Papa nikahkan dengan anak Om Darrel. Kamu setuju atau nggak sama sekali, Papa tidak peduli!" Ujar Papa William penuh ketegasan.
Krystal tersenyum miring.
"Coba paksa aku, kalau memang Papa bisa." Ia kembali berbalik untuk pergi.
"Kalau kamu menolaknya. tidak akan ada perawatan lagi untuk Keyzia."
Degh!
Langkah Krystal seketika terhenti. Kedua tangannya terkepal erat.
"Bersiaplah untuk melihat dia terbujur kaku dihadapan kamu."
Krystal memutar poros tubuhnya, menatap sang Papa yang kini di wajahnya hanya ada keangkuhan. Bahkan saat mengatakannya pun, seperti tidak ada beban sama sekali.
"Saya baru tahu, ada orang tua sebajingan seperti Anda, Tuan William Zourist." Ujar Krystal datar, air mata kembali menganak sungadi di kelopak matanya. Berusaha ia tahan untuk tidak jatuh lagi.
Menangis di hadapan manusia tidak berhati seperti William Zourist hanyalah sebuah kesia-siaan saja.
"Kamu tahu, di dunia ini apapun yang telah rusak, tidak akan ada artinya lagi, meski diperbaiki hingga ratusan kali pun. Sebutannya, tetap saja barang rusak." Ujar Papa William tak kalah datar.
Detik berikutnya tawa getir itu lolos di bibir putrinya yang bergetar. Ia tertawa, tapi matanya menangis. Dalam sehari, hatinya sudah di hancurkan remukkan berulangkali oleh sang Papa kandung sendiri.
"*I hate you*!