Lulu, seorang yatim piatu yang rela menerima pernikahan kontrak yang diajukan Atthara, demi tanah panti asuhan yang selama ini ia tinggali.
Lulu yang memerlukan perlindungan serta finasial dan Atthara yang memerlukan tameng, merasa pernikahan kontrak mereka saling menguntungkan, sampai kejadian yang tidak terduga terjadi. “Kamu harus bertanggung jawab!”
Kebencian, penyesalan, suka, saling ketertarikan mewarnai kesepakatan mereka. Bagaimana hubungan keduanya selanjutnya? Apakah keduanya bisa keluar dari zona saling menguntungkan?
Note: Hallo semuanya.. ini adalah novel author yang kesenian kalinya. Semoga para pembaca suka..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Bernegosiasi
Pukul 2 pagi, Lulu bangun dan melaksanakan sholat malam sebelum melakukan kegiatannya di dapur. Begitu di dapur, tangannya sudah lincah berperang dengan bahan dan peralatan masak. Tubuhnya seolah sudah terbiasa bergerak cepat sehingga dalam waktu satu jam ia sudah menyelesaikan persiapan 4 jenis kue.
Pertama, Lulu membuat kulit dadar gulung dengan dua teflon sekaligus. Di sela-sela membuat kulit, Lulu juga memanggang sarang semut yang dicetak di loyang 5 cm. Satu jam kemudian, kulit dadar gulung telah diselesaikan lanjut mencetak kulit pai. Begitu sarang semut selesai, kulit pai masuk ke dalam oven. Menunggu kulit pai setengah matang, Lulu mengerjakan adonan brownis. Ketika kulit pai keluar dari oven, Lulu mengipasinya agar tidak terlalu panas. Pie brownis sudah masuk kedalam oven, Lulu menggoreng pisang raja dengan mentega untuk isian dadar gulung. Ia menyelesaikannya bersamaan dengan pie brownis yang matang.
Sebelum melanjutkan sisanya, Lulu membangunkan adik-adiknya untuk melaksanakan sholat subuh. Selesai sholat subuh, Lulu meminta tenaga pembantu untuk menyiapkan sarapan untuk anak-anak di dapur yang ada diluar. Sedangkan anak-anak mengaji dengan salah satu tenaga pembantu sebelum bersiap untuk berangkat sekolah.
“Apa ada yang bisa Ibu bantu?” tanya Ibu Asih ditemani salah satu tenaga pembantu, Ningsih.
“Bungkus pie dan sarang semut, Bu.” Jawab Lulu yang sudah mulai menggulung dadar gulung.
Lulu mengambilkan bungkus pie dan sarang semut lalu menyerahkannya kepada Ningsih. Kemudian melanjutkan menggulung dadar gulung yang sekalian ia bungkus untuk menghemat waktu. Satu jam kemudian, dadar gulung selesai dan yang terakhir adalah corndog. Adonan yang ia diamkan beberapa jam yang lalu sudah mengembang sempurna. Tusuk sosis, gulung adonan dan balur tepung panir, goreng, sampai semuanya selesai pukul 6.30.
“Sudah selesai semua ini, Mbak.” Kata Ningsih.
“Tolong susun di box seperti biasa, ya?”
“Siap, Mbak.”
Ningsih Menyusun pie menjadi 2 box, sarang semut 3 box dan dadar gulung 2 box. Sampai sekitar setengah 8, semuanya sudah siap diantar. Lulu pergi mandi lebih dulu sebelum mengantarkan kuenya. Dibantu Ningsih, Lulu memasang tas obrok di motornya. Setelah terpasang ia Menyusun box kuenya dan berpamitan dengan Ibu Asih.
Tepat pukul 8, Lulu sampai di cafe. Melihat Lulu datang dengan tas obrok, pemilik café menyambutnya dengan senyuman ceria. Pasalnya dengan adanya kue dari Lulu, pelanggan di cafenya semakin ramai.
“Coba kamu bisa setiap hari seperti ini, Lu!” kata pemilik café sembari memberikan hasil penjualan kemarin.
“Tidak janji, Kak.”
“Apa kamu tidak ingin mengajari anak-anak untuk membantumu? Atau kamu tidak kepikiran bayar pembantu gitu?”
“Anak-anak harus fokus sekolah, Kak. Untuk pembantu, aku tidak ada uang untuk membayarnya. Kakak tahu sendiri, keuangan di panti sedang seret.”
“Benar juga! Ya sudah, sebisa kamu saja.” Lulu mengangguk dan berpamitan.
“Siapa itu?” tanya seorang laki-laki setelah Lulu pergi.
“Lulu, anaknya pemilik panti yang ada diujung jalan.” Jawab pemilik café.
“Sudah lama berjualan kue?”
“Sudah sejak dia SMP. Dulu ibunya yang membuat kue, tapi sekarang dia yang melanjutkan karena ibunya di kursi roda. Apa masnya tertarik?”
“Tidak. Dia masih anak-anak.”
“Dia sudah berumur 20 tahun, bukan anak-anak lagi!”
“Benarkah?” laki-laki itu terlihat tidak percaya.
Setelah membayar sarapan dan kopinya, laki-laki itu masuk kedalam mobil dan hilang dari pandangan pemilik toko.
Lulu yang masih berbelanja bahan kue dan kebutuhan dapur, mendapatkan telepon dari Ningsih yang menyuruhnya segera pulang karena pemilik tanah sudah datang. Segera Lulu menyudahi belanjanya dan kembali pulang. Butuh waktu setengah jam untuknya sampai di panti.
“Orangnya menunggu di teras samping, Mbak!” seru Ningsih saat Lulu baru saja memarkirkan motor.
“Tolong keluarkan box kuenya, ya?” ningsih mengangguk.
Sebelum menemui pemilik tanah, Lulu pergi ke dapur untuk menyiapkan minum dan menata kue yang sengaja ia sisakan di piring, lalu menyuguhkannya.
“Kamu anak pemilik panti?” tanya pemilik tanah.
“Iya, Pak. Saya Lulu.”
“Apakah aku setua itu?” Lulu bingung dengan pertanyaan laki-laki yang ada dihadapannya.
Ia memberanikan diri untuk mendongak dan melilhat penampilan pemilik tanah. Laki-laki tinggi tegap sekitar umur 25 atau 27 tahun. Sadar laki-laki itu juga menatapnya, Lulu kembali menundukkan wajahnya dan meminta maaf.
“Maaf, Kak.”
“Itu lebih baik.” Kata laki-laki itu dengan puas.
“Bawahanku mengatakan kamu ingin bernegosiasi denganku. Apakah kamu punya sesuatu yang bisa menggantikan tanah ini?” tanya pemilik tanah.
“Saya tidak punya apa-apa, Kak. Tetapi saya ingin mengajukan kontrak sewa.”
“Maksud kamu?”
“Sebagai ganti penggusuran, saya akan membayar sewa tanah perbulannya.”
“Berapa yang akan kamu bayarkan?”
“Dilihat dari lokasi, harga rata-rata penyewaan 27 juta rupiah setahunnya. Jadi, saya akan membayar sewa sebanyak 2,5 juta perbulannya. 2/3 dari tanah ini juga masih bisa digunakan sebagai lahan tebu seperti rencana awal Anda.”
“Pintar juga dia!” batin pemilik tanah.
“Apakah ada jaminan kamu bisa membayar 2,5 juta perbulannya? Dilihat dari pekerjaanmu, sepertinya itu tidak mungkin!”
“Anda tahu pekerjaan saya?” tanya Lulu bingung.
“Menjual kue di café dekat pertigaan depan.” Jawab pemilik tanah yang seketika membuat Lulu terkejut.
Dalam hati, Lulu mencoba untuk tetap tenang. Mudah bagi mereka yang memiliki uang untuk mencari informasi tentangnya.
“Saya bisa menyisihkan uang 50-100 ribu rupiah per harinya, jadi tidak ada masalah untuk membayar 2,5 juta rupiah perbulannya.”
“Oh ya? Tapi sayangnya, uang itu tidak sebanding dengan pendapatan kebun tebu yang bisa dipanen dalam waktu kurang dari setahun.
Lulu tidak bisa membantah. Apa yang dikatakan pemilik tanah memang benar. Pendapatan kebun tebu lebih banyak dibandingkan sewa yang ia berikan. Harga tebu 1 tonnya dikisaran harga 690 ribu rupiah, jika dalam satu hektar menghasilkan 150ton tebu, 103,5 juta rupiah sudah ada ditangan. Jika dikurangkan dengan biaya perawatan dan modal awal, nilainya masih melebihi 27 juta rupiah kurang dari setahun.
Pemilik tanah melihat Lulu yang hanya diam, menebak jika di otak Lulu sudah memikirkan kalkulasi apa yang ia katakan. Laki-laki itu tersenyum, kala sebuah ide gila muncul di otaknya.
“Kamu bisa saja tetap menempati bangunan dan tanah ini tanpa harus membayar sewa.” Lulu mendongak tidak percaya.
“Tapi, ada syarat yang harus kamu penuhi!”