"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
siapa kah orang itu?
Setelah beberapa menit hening, Hamzah akhirnya membuka percakapan dengan suara pelan namun penuh perhatian, "Nak, maafkan anak Om ya. Gimana keadaan kamu sekarang? Udah mendingan, kan?" Wajahnya terlihat jelas mengkhawatirkan.
Pemuda yang terbaring di hadapannya tersenyum tipis, meski matanya masih menyiratkan rasa sakit.
"Om nggak usah khawatir. Aku udah nggak papa kok, Om. Cuma butuh istirahat sedikit lagi." Suaranya terdengar lemah, tapi ia berusaha menunjukkan ketegaran.
Hamzah mengangguk perlahan, tatapannya penuh dengan rasa bersalah. "Om tahu kamu kuat, tapi Om tetap nggak bisa tenang kalau ninggalin kamu sendirian di sini," ucapnya tulus.
Nathaniel, pemuda itu, menghela napas sejenak sebelum menjawab. "Om, beneran nggak apa-apa. Kalau Om mau pulang, nggak papa kok. Temen-temen aku juga bakal nemenin di sini nanti," katanya mencoba meyakinkan.
Hamzah terdiam sejenak, matanya menatap Nathan dengan kagum dan penuh haru. "Makasih ya, Nak. Kamu anak yang luar biasa. Ngomong-ngomong, siapa namamu, Nak? Om belum sempat nanya."
Pemuda itu tersenyum kecil, meski tampak kelelahan. "Nathaniel El-Ghara, Om. Panggil aja Nathan."
Hamzah tersenyum hangat, mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya.
"Hmm... nama yang bagus. Cocok sama orangnya, ganteng dan tangguh," ucap Hamzah sambil mengangguk-angguk. Namun, pikirannya seolah tertahan pada sesuatu. "Tapi... nama itu familiar sekali. Seperti pernah Om dengar di suatu tempat..."
Sebelum Hamzah sempat menyambungkan pikirannya, Haifa yang berdiri di sampingnya menepuk pelan lengannya.
"Abiy, udahlah. Banyak kok orang yang namanya mirip. Kita pulang aja, ya. Kasihan Nathan butuh istirahat," bisiknya lembut, berusaha mengalihkan perhatian Hamzah.
Hamzah akhirnya mengangguk pelan, meski matanya masih menyiratkan rasa penasaran yang belum terjawab.
"Istirahat yang cukup, ya, Nak. Kalau ada apa-apa, langsung kabari Om. Jangan sungkan, ya."
Nathan mengangguk perlahan, senyum tipisnya masih terlihat meski tubuhnya tampak lelah. "Terima kasih, Om. Hati-hati di jalan."
Hamzah berjalan keluar bersama Haifa, namun pikirannya terus dihantui oleh nama Nathaniel.
Nama yang terasa seperti potongan puzzle yang belum lengkap, menyimpan kisah yang tak pernah ia duga.
...----------------...
Setelah keluar dari rumah sakit, Haifa mengikuti langkah Abi menuju parkiran. Namun, perhatiannya tiba-tiba tertuju pada seseorang yang terlihat berdiri di dekat mobil.
Sosok itu begitu familiar, dan Haifa hampir tak percaya dengan penglihatannya.
"Hmmm... apa itu Gus Zayn Ibrahim? Masya Allah, kalau benar, ternyata beliau jauh lebih tampan dibandingkan di foto-foto di media sosial," batinnya berbisik kagum, sembari tetap mencoba bersikap tenang.
Ia menatapnya beberapa detik sebelum suara Abiy membuyarkan lamunannya.
"Haifa? Ayo masuk mobil, Nak. Nanti kita jenguk Nathan lagi," panggil Hamzah seraya membuka pintu mobil.
Haifa mengangguk cepat, meskipun pikirannya masih tertinggal di tempat itu.
Di dalam mobil, ia melipat tangan di dada, memandang ke luar jendela sambil menghela napas.
"Abiy ngapain sih tiba-tiba ngajak Haifa ke Malang? Biasanya kalau urusan bisnis, Haifa nggak pernah diajak," protesnya, sedikit cemberut.
Hamzah tersenyum tipis, melirik putrinya dari sudut mata. "Kan Abiy mau ngajak Haifa jalan-jalan juga. Sekalian nanti kita mampir ke Pondok Pesantren Darul-Ihsan, tempat teman Abiy, Kiai Ibrahim."
Haifa mendadak membelalakkan mata, tubuhnya menegang. "Kiai Ibrahim?!" serunya tak bisa menyembunyikan keterkejutan.
Hamzah mengerutkan kening, bingung dengan reaksi putrinya. "Iya, kenapa? Kamu kenal?"
Haifa segera tersadar, berusaha menutupi kegugupannya dengan senyum kecil. "Hehe... nggak apa-apa, Biy. Cuma kaget aja."
Hamzah mengangguk pelan, meski tatapannya menunjukkan sedikit rasa penasaran. Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Haifa mengalihkan pembicaraan.
"Biy, itu resto kelihatannya enak banget! Yuk makan di situ aja. Tadi Haifa mau ke sana, tapi keburu ketabrak Nathan, hehe." Ucapannya diselingi tawa kecil, mencoba mencairkan suasana.
Hamzah tergelak, sambil menggelengkan kepala. "Untung aja Nathan nggak marah sama kamu. Kalau dia marah, Abi biarin aja, hahaha!" jawabnya sambil menjahili Haifa.
"Ih, Abi kok gitu sih! Dasar," Haifa mendengus, meskipun bibirnya melengkung dalam senyuman kecil.
Hamzah menghentikan mobil di depan restoran yang dimaksud. "Yaudah, ayo makan enak! Perut Abi udah keroncongan nih!" katanya bersemangat.
Haifa tersenyum lebar, mengikuti Abi masuk ke restoran. Momen-momen kecil seperti ini membuatnya sadar bahwa meskipun keluarganya sibuk, kasih sayang Abi selalu terasa nyata.
Keluarga Haifa memang termasuk terpandang di kalangan menengah ke atas. Hamzah Al-Asadi, ayahnya, adalah seorang pebisnis sukses sekaligus doktor di bidang agama.
Ibunya, Shofiah, adalah sosok independen yang mengelola jaringan perusahaan pakaian muslimah dengan brand Az-Zahra, yang kini memiliki banyak cabang.
Sementara itu, Haifa Az-Zahra Harasta, anak semata wayang mereka, adalah mahasiswa berprestasi yang sudah menghafal 30 juz Al-Qur’an sejak usia 12 tahun, saat masih menempuh pendidikan di pesantren.
Kini, di usia 19 tahun, Haifa tak hanya aktif di dunia akademik, tetapi juga membantu ibunya mempromosikan pakaian muslimah yang elegan dan syar’i.
Namun, di balik semua prestasi itu, Haifa tetap seorang gadis biasa yang terkadang merasa terbebani oleh harapan tinggi orang di sekitarnya.
Perjalanan ke Malang kali ini, meski awalnya terasa biasa saja, perlahan mulai menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang menunggunya.