--Balas dendam terbaik adalah dengan menjadi pemenang sejati--
Setelah dicampakkan ayahnya dan diputus status sebagai Tuan Muda saat usia delapan tahun karena kutukan, Xavier bangkit sebagai sisi yang berbeda setelah dewasa. Mengusung nama besar Blood dengan menjadi panglima perang sejati dan pebisnis andal di kekaisaran.
Namun ... pada akhir dia tetaplah sampah!
---Ekslusif di NOVELTOON---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ɛpɪsoʊd 2
Balthazar De Jongh baru turun dari mobilnya. Menapak halaman rumah dengan langkah-langkah lebar, perangai rusuhnya seperti baru pulang dari kelahi. Dari wajahnya, mood lelaki berumur ini jelas sedang tidak baik-baik saja.
“Kau pulang, Suamiku?” Esmera menyambut dari dua anak tangga terakhir, lalu benar-benar turun.
Balthazar tidak menjawab. Dasi pita di lehernya lekas dilucut lalu dicengkram dalam genggaman sembari jalan. Esmera mengikutinya dari belakang. Sofa di ruang tengah dipilih Balthazar untuk mengempas tubuh bersandar di sana.
“Apa ada masalah di istana?" tanya Esmera lagi, mengambil posisi duduk bersebrang dengan Balthazar tersekat meja dengan vas berisi serangkai bunga gerbera di tengah-tengah.
Tatapan keruh Balthazar terdorong ke wajah istrinya, lalu menceritakan singkat sebab kekesalannya, “Anak itu semakin sombong. Dia bahkan tidak menyapa ayahnya sendiri dalam pertemuan istana di depan Yang Mulia dan semua petinggi yang hadir.”
Mendengar jawaban itu, Esmera sedikit merasa lucu, terkikik sampai menuai pelototan mata Balthazar.
“Apa yang kau tertawakan?” tanya Balthazar tak paham.
“Kenapa harus marah? Bukankah memang begitu baiknya?” kata Esmera ringan sekali.
“Maksudmu?!”
Esmera menjawab, “Orang akan menganggap kesombongannya juga bentuk kedurhakaan terhadap ayahnya sendiri. Namanya akan memburuk karena hal kecil. Bukankah itu bagus untuk menjatuhkan anak terkutukmu itu, Suamiku?”
Balthazar De Jongh terperangkap di wajah istrinya sembari berpikir, lalu menimpal, “Kau benar, Esme.” Seringainya muncul, pertanda perasaannya mulai membaik.
...----------------...
Lima hari Xavier berkutat dengan semua tugas terkait bisnis yang digeluti.
Sampai sebuah surat datang dari tangan Luhde yang dibawa seorang kurir beberapa saat lalu.
“Surat dari istana, Tuan Muda.”
Segel Kaisar terpampang jelas di dasar amplop berwarna merah dengan tali emas yang kini ada di tangan Xavier.
Semua tahu bahwa Xavier tak tinggal bersama keluarganya, termasuk pihak istana. Alasan yang tersebar adalah karena Xavier memilih mengasingkan diri terkait kutukan yang dideritanya. Sebagian benar, sebagian besarnya adalah salah.
Xavier membuka amplop itu lalu membaca. Pasang mata merahnya bergulir menyapu semua huruf yang ditulis sekretaris Kaisar di kertas pucat yang dilebarkan.
Jangan lupa datang ke istana di waktu yang disebutkan. Yang Mulia Kaisar akan menepati janjinya tentang hadiah kemenangan perang yang akan diberikan khusus untuk Kapten Blood, secara resmi di depan para petinggi.
Hanya satu paragraf singkat. Bisa melalui panggilan telepon, tapi itu pemberitahuan resmi.
Xavier langsung mengempas kertas itu ke atas meja dengan raut sedikit kesal.
“Kenapa dipercepat? Bukankah waktu liburku seminggu penuh? Ckk!”
Luhde mendengar tapi tak menyela masalah itu, hanya sedikit inisiatif, “Saya akan minta Proka siapkan mobil.” Dia sangat tahu, meski wajahnya kesal, Xavier tidak akan mengabaikan perintah Kaisar begitu saja.
“Ya. Dan cepatlah kembali, bantu aku memasang lilitan kain.”
“Baik, Tuan Muda.” Luhde berlalu dari ruangan setelah membuat anggukan singkat.
Kursi kerja dan segala dokumen akhirnya dicampakkan Xavier untuk beranjak. Naik ke kamarnya untuk memilih baju.
Tak lama Luhde kembali muncul sesaat setelah Xavier melepaskan pakaian di seluruh tubuh.
Tanpa basa-basi, pria yang usianya sepuluh tahun di atas Xavier itu langsung menggamit kasa putih panjang di atas ranjang yang sudah disediakan sang tuan muda.
Xavier merentang kedua tangan ke samping dengan sikap tegak, siap dibaluti kasa.
Lilitan demi lilitan dilakukan Luhde untuk membalut sekujur badan tuan mudanya yang ungu kehitaman dengan serat kulit sedikit kasar, demi menyamarkan bau kutukan yang menyengat dari balik tubuh yang dari bentuk sebenarnya sangat sempurna.
Tidak terlalu tebal seperti mumi.
“Selesai, Tuan Muda.”
Setelan akhir dengan dasi khas sudah terpasang.
Xavier sudah sangat gagah.
Rambutnya yang selalu rapi disisir habis ke belakang, menonjolkan kening licin tanpa komedo dan papiloma.
Malam hari yang dituju Xavier pun tiba.
Mobil Rolls Royce yang membawanya sudah sampai di parkiran istana.
Proka--sang supir kepercayaan ikut masuk ke dalam, tidak mencemaskan mobil tuannya yang sudah dijaga pihak istana.
Sampai di aula utama.
Xavier cukup terkejut, bukan hanya orang-orang yang ada dalam kepalanya yang dihadirkan di kesempatan ini, melainkan juga dari rakyat-rakyat terpilih mendapat undangan, mereka cukup banyak.
Dengan langkah tegap dan gagah, Xavier menapaki karpet biru yang memanjang menuju singgasana, Proka menyisi ke satu bagian berbaur dengan barisan rakyat.
Kaisar Bjorn Philaret sudah duduk dengan kewibawaan di tempatnya. Di kanan sedikit bawah dari kursi agungnya, Ratu Jennefit duduk dengan gaun biru kemuliaan. Pangeran Arion duduk di seberang ibunya. Tidak ada Maleca, seorang selir tidak akan diikutsertakan kecuali itu acara keluarga saja, adalah syarat dari Ratu Jennefit saat Bjorn memutuskan menikahi putri Kerajaan Mervas dari timur kekaisaran itu.
“Hormat pada Yang Mulia Kaisar," Xavier menghadap, menunjukkan sikap yang sudah ditetapkan sebagai aturan pemberian hormat pada Kaisar.
“Selamat datang, Kapten Blood.”
Kapten Blood, diketahui adalah julukan Xavier di medan perang, tapi sebenarnya bukan. Akan jelas seiring mengalirnya jalan cerita.
Xavier menegakkan badan setelah hormatnya diterima Kaisar.
Di sisi kanan deretan para petinggi istana, Balthazar beraut kecut.
Siapa yang akan peduli kecuali mereka penyebar rumor.
“Putramu nampak sangat sempurna, Duke," kata seorang duke tua yang berdiri di samping Balthazar dengan suara pelan.
“Tentu saja. Dia anakku," jawab Balthazar, percaya diri namun hanya di muka, dalam hati jelas menampik.
“Bagus sekali, Anda nampak sempurna menjadi ayah seorang putra terkutuk. Ckk, mengharukan.”
Mata Balthazar langsung melotot, tapi tidak menoleh pada lawan bicara yang mencibirnya secara halus. “Sial!”
Sekarang dia tak yakin ucapan istrinya tentang tuduhan anak durhaka untuk Xavier adalah benar. Yang ada justru dirinya yang mendapat cacian konyol.
“Seharusnya aku tidak berkata sebangga itu mengakui dia sebagai anakku.”
Tidak ada percakapan lagi.
Janji Kaisar akan segera dikumandangkan.
Bisik-bisik di barisan para bangsawan mulai terdengar. Apa yang akan diberikan Kaisar Philaret pada panglima perang terhebat di kekaisaran yang dipimpinnya.
Desas-desus tersebar, bahwa separuh daerah Utara akan dijadikan sebagai hadiah jika seorang panglima berhasil menumpas para penjajah.
Kebenarannya akan terjawab sesaat lagi.
Dan ....
“Kapten Blood, panglima dan ksatria terhebat kekaisaran Zorg, terima kasih telah mempersembahkan kemenangan dan mengembalikan Utara ke tangan kita semua. Dengan ini, aku Bjorn Philaret sebagai Kaisar Zorg ke-8, menghadiahkan padamu ....”
Semua menunggu dengan penasaran yang sangat pekat.
Sialnya, Bjorn dengan senyumnya malah senang bermain-main dengan membuat sesi jeda seperti itu, padahal semua orang sudah tak sabar.
Sampai akhir ....
“Aku hadiahkan padamu ... Grim Hills di ujung selatan, perbatasan Kerajaan Arwen. Kau bisa memiliki kuasa di sana secara penuh.”
Keadaan langsung gaduh, saling lempar komentar terjadi seperti kicau ratusan burung meminta makan.
“Grim Hills?!”
Dari namanya saja sudah bermakna suram.
Xavier diam, ekspresinya tidak terbaca semua orang. Hanya dalam hatinya tersenyum kecut, “Inilah alasan kenapa aku malas berharap banyak. Sejak kematian Kaisar Eugen, tidak ada lagi Philaret yang loyal.”
Semua tahu, Grim Hills adalah wilayah mati dengan pabrik-pabrik dan pertambangan yang sudah usang, tidak lagi beroprasi sejak kematian kaisar sebelum Bjorn. Lahan pertanian yang tidak menjanjikan kesuburan, tidak ada kehidupan layak untuk manusia.
Puas membiarkan semua orang bergaduh ria tentang hadiah itu, tangan Kaisar naik ke atas, meminta semua orang berhenti saling bicara.
“Aku belum selesai!”
Sontak semua diam dan kembali fokus pada lelaki itu.
“Selain Grim Hills, masih ada satu hadiah lain yang akan aku berikan pada Panglima.”
Mata Xavier mencuat naik, namun masih merunduk dengan hormatnya.
Hadiah lainnya?
“Apa itu, Yang Mulia?” Sampai seorang melontar ketidaksabaran, dari kursi rakyat biasa.
Kaisar tersenyum, melempar tatapan pada semua orang.
Dan ....
“Putri Ashiana! Hadiah bonusnya adalah keponakanku, Putri Ashiana!”
Lebih mengejutkan dari hadiah sehamparan Grim Hills yang gersang itu.
Putri Ashiana memang seorang putri, tapi dia putri dengan kerusakan mental----Putri gila.
Di tangan Xavier, berubah menjadi tanah mematikan ( untuk musuh2nya )...
/Drool//Drool//Drool/