Ellara, gadis 17 tahun yang ceria dan penuh impian, hidup dalam keluarga yang retak. Perselingkuhan ayahnya seperti bom yang meledakkan kehidupan mereka. Ibunya, yang selama ini menjadi pendamping setia, terkena gangguan mental karena pengkhianatan sang suami bertahun tahun dan memerlukan perawatan.
Ellara merasa kesepian, sakit, dan kehilangan arah. Dia berubah menjadi gadis nakal, mencari perhatian dengan cara-cara tidak konvensional: membolos sekolah, berdebat dengan guru, dan melakukan aksi protes juga suka keluyuran balap liar. Namun, di balik kesan bebasnya, dia menyembunyikan luka yang terus membara.
Dia kuat, dia tegar, dia tidak punya beban sama sekali. itu yang orang pikirkan tentangnya. Namun tidak ada yang tahu luka Ellara sedalam apa, karena gadis cantik itu sangat pandai menyembunyikan luka.
Akankah Ellara menemukan kekuatan untuk menghadapi kenyataan? Akankah dia menemukan jalan keluar dari kesakitan dan kehilangan?
follow ig: h_berkarya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaluBerkarya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dia Luna, istri papa
Ellara menatap dua orang yang kini duduk pada sofa yang ada di depannya. Atmosfer di ruangan itu terasa sedikit mencengkam, sedari tadi baik Papa Morgan maupun Ellara belum ada yang mulai pembicaraan.
“Apa kita akan tetap diam di sini sampai pagi?” singgung Ellara dengan suara datarnya. Papa Morgan merubah posisi duduknya, menatap Ellara.
“Dia Luna, istri Papa” ujar Papa Morgan pelan. Pria itu memperhatikan raut wajah putrinya, melihat bagaimana reaksi Ellara.
Sementara mama Luna tersenyum tipis, senang sekali pria itu tanpa ragu menyebutnya sebagai istri. Tidak salah, ini adalah hal yang dia tunggu tunggu, waktu di mana sang suami memperkenalkannya sebagai istri.
Jangan tanya gimana perasaan Ellara, dia syok dan tidak percaya atas apa yang dia dengar. Ya, dia tahu papanya memang memiliki selingkuhan selama ini, dia tahu mereka juga sudah menikah, tapi yang membuat Ellara tak habis pikir adalah, bagaimana pria itu dengan berani membawa jalang ke rumah ini, rumah besar Copper .
Ellara meremas tangannya kuat, menahan emosi yang hampir meledak. Mata gadis itu menatap ke arah Mama Luna, pemandangan yang begitu membuat Ellara muak, saat dua orang di depannya tanpa tahu malu saling rangkul.
“Istri?” Ulang Ellara dengan suara tertahan, di anggguki oleh Papa Morgan.
“Lalu, bagaimana dengan Mama saya? Anda menganggap Mama saya apa?” suaranya tampak bergetar, menahan air mata yang hampir saja lolos dari matanya.
“Anda menganggap mama saya apa, jawab!” kali ini, suara Ellara naik satu oktaf. Dia meraih vas bunga yang ada di meja tersebut, meletakkannya dengan kasar hingga menciptakan suara yang nyaring dan berakhir meja pecah.
“dan Anda..” Jari telunjuknya terangkat, menunjuk ke arah Mama Luna yang tampak biasa saja, tidak peduli dengan reaksi Ellara.
“Bagaimana bisa seorang wanita begitu santainya masuk rumah orang lain? Apa anda tidak punya urat malu?” gadis itu terkekeh pelan, kepalanya menggeleng tak percaya.
“Tidak salah, sekali jalang maka akan tetap jalang. Dan sifat jalang adalah murahan dan suka menjual diri” maki Ellara pada Mama Luna.
“Ellara! Jaga mulut kamu!” kali ini Papa Morgan yang membentak gadis itu. Dia tidak Terima istrinya di katai jalang oleh anaknya.
Mendengar pembelaan itu, Ellara tertawa sinis.
“Anda membelanya?”
“kamu keterlaluan Ellara, kamu tidak punya so—“
“berhenti mengajariku soal sopan santun! Yang tidak punya sopan santun itu Anda. Tanpa tahu malunya Anda membawa seorang pelacur di rumah ini, di mana letak sopan santun Anda?” tegas Ellara memotong kalimat Papa Morgan.
“Ellara, aku bukan pelacur. Aku istri Papa kamu, aku ada di sini karena memang itu adalah keharusan!” kali ini, Mama Luna ikut menimpali dengan santai.
“cih, di rumah ini masih ada Mama saya jika anda lupa!”
“Tapi faktanya Mama kamu ada di rumah sakit jiwa kan?” timpal Mama Luna dengan senyum mengejek. Bicara soal Mamanya tentu membuat Ellara naik pitam. Sejak tadi dia berusaha mengontrol emosinya, tapi kali ini sudah tidak bisa lagi.
Mengambil serpihan kaca, Ellara melemparkannya ke arah Mama Luna hingga wanita itu sedikit memekik.
“Apa yang kamu lakukan, Ellara! Hentikan!!” Papa Morgan mencegah gadis itu, dia berdiri menghadang, membawa tubuh sangat istri untuk ada di belakangnya.
“Awas! Aku ingin membunuhnya, wanita sialan!” pekik Ellara berontak. Papa Morgan reflek mendorong tubuh putrinya membuat Ellara terhuyung dan jatuh. Tangan yang dia gunakan u tuk menjadi tumpuan kini terkena serpihan kaca, menciptakan beberapa luka di tangan gadis itu.
“A-anda mendorongku?” ujar Ellara lirih sembari berusaha bangkit. Dia merintih kesakitan, tangannya mengeluarkan darah yang cukup banyak.
“Ella, maaf. Maafkan papa sayang, papa tidak bermaksud untuk—“
“Lepas!!!” bentak Ellara menjauhkan tubuh papa Morgan yang ingin mendekapnya.
Melihat itu, Papa Morgan ikut gemetaran. Dia tidak bermaksud mendorong putrinya. Itu adalah gerakan yang dia sendiri tidak rencanakan.
.
.
Suara keributan di ruang tamu membangunkan Bibi Lastri serta Bi ima. Mereka berdua berlari ke arah depan, melihat apa yang terjadi.
Gegas Bi Lastri berlari ke arah Ellara, memastikan kondisi gadis itu.
“sudah Non, besok pagi baru lanjut. Bibir coba lihat dulu tangannya” ujar Bibi Lastri.
“Lepas Bi, Aku belum selesai. Aku mau membunuh wanita jalang itu! Dia—“
“Iya- iya Bibi tau, tapi jangan sekarang Non. Lihat tangan Nona berdarah. Bibi obatin dulu lukanya ya, masih ada hari besok untuk buat masalah sama mereka” busuk Bibi Lastri di telinga Ellara, membuat gadis itu kini terdiam.
Dia tidak lagi bersuara, tapi tetap menatap dua orang di depannya dengan sorot tajam.
Ellara mengikuti Bibi Lastri yang membawanya ke arah meja makan. Duduk di meja makan, Bibi Lastri berlari ke dalam kamar untuk mengambil kotak obat, sementara Ellara hanya diam dengan tatapan tak terbacanya.
Luka di tangan gadis itu seolah hal biasa untuk Ellara. Dia tidak meringis, tampangnya biasa saja seolah tidak terjadi apa apa, padahal darah dari tangannya terus mengalir.
“Astaga, lukanya ternyata sebanyak ini Non” Bibi Lastri bergidik melihat serpihan kaca yang masih tertempel di tangan Ellara. Ellara tak menanggapinya sama sekali, gadis itu hanya diam dan terus menatap nyaman ke arah depan.
Entah apa yang ada di pikirannya, tapi hal itu membuat Bibi Lastri merasa sedih. Dia lebih baik melihat Ellara yang nakal di banding melihat kerapuhan gadis itu.
“tahan ya Non, ini mungkin akan sangat sakit” ujar Bibi Lastri saat hendak mencabut serpihan kaca itu. Seperti biasa, Ellara tak bergeming.
Dia bahkan seolah tak merasakan apa pun saat satu persatu Bibi Lastri mecabut serpihannya. Wanita tua itu saja menahan nafas saat mencabutnya, tapi tidak dengan Ellara.
Ekspresi datar gadis itu patut di acung jempol. Hanya sesekali pandangan Ellara tertuju pada dua orang yang masih ada di tempat tadi.
“sudah Non” ujar Bibi Lastri setelah mengobati dan memasang perban di tangan Ellara.
“makasih Bibi” gadis itu bersuara pelan sembari memperhatikan tangannya. Bibi Lastri hanya tersenyum lembut, sentara Bi ima sedang memanasi makanan.
“Nona mau makan dulu?” tanya Bi ima menghampiri Ellara. Gadis itu menggeleng, kemudian bangkit dari kursinya. Dia kini hendak menuju kamarnya.
“Non- Non aku belum selesai bicara” Ellara tidak peduli lagi dengan teriakan Bibi Lastri. Dia hanya ingin cepat cepat sampai di kamarnya untuk menenangkan diri.
Tepat di depan kamar, Ellara bergerak untuk membuka heandle pintu.
“Eh, perasaan tadi tidak di kunci,” bukan gadis itu heran. Dia mencari kunci kamar di saku jaketnya, mulai membuka pintu.
Ceklek~~
Ellara mematung di depan pintu. Dia mengepal tangannya kuat saat melihat sebuah objek yang begitu membuat amarahnya kembali naik.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...