NovelToon NovelToon
Raja Arlan

Raja Arlan

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Dunia Lain / Fantasi Isekai
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: BigMan

Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.

Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.

Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.

Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.

Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 21 - Aku, Sebagai Rael dan Promosi Bulan Merah

Langit biru bersih membentang di atas ibu kota Kerajaan Argandia, seolah ikut merayakan kemeriahan yang tak biasa.

Spanduk-spanduk kerajaan melambai tinggi di sepanjang jalan-jalan utama. Wangi manisan madu dan daging panggang memenuhi udara, bercampur dengan suara tawa anak-anak dan pekikan para pedagang yang menjajakan cinderamata bertema turnamen.

Arena Algarian—lingkaran raksasa dari batu putih dengan ukiran naga di setiap tiangnya—berdiri megah di pusat kota, seperti singgasana para dewa yang turun ke dunia fana.

Tribun-tribun penuh, para bangsawan duduk di kursi kehormatan mereka, berdampingan dengan utusan asing, para petinggi dari kerajaan tetangga, dan tentu saja rakyat biasa yang memadati setiap celah.

Sang Raja, Argus De Liones Hart, berdiri di atas mimbar perak, mengenakan jubah merah marun yang menyapu lantai. Di sampingnya, para penasihat, jenderal, dan perwakilan bangsawan berdiri khidmat. Beberapa dari mereka tampak saling berbisik, matanya melirik ke arah kursi kosong yang seharusnya ditempati sang pangeran.

“Rakyat Argandia,” suara Argus menggema melalui sihir penguat suara. “Hari ini bukan hanya tentang keberanian dan kekuatan, tetapi tentang harapan masa depan kita. Turnamen ini adalah simbol dari kerja keras dan semangat juang rakyat kita. Kepada semua peserta, bertarunglah dengan kehormatan.”

Sorak sorai mengguncang arena.

Namun, di antara tepuk tangan itu—ada suara-suara kecil lain yang menyelinap di antara kerumunan bangsawan.

“Katanya… Pangeran Arlan mulai membentuk pasukan elit pribadi?”

“Aku dengar dia tidak lagi terlihat lemah seperti dulu. Apa itu hanya rumor?”

“Hmph, mungkin trik politik Raja Argus saja. Atau... mungkin bocah itu menyembunyikan taringnya selama ini?”

Salah satu tawa ringan datang dari seorang gadis muda duduk anggun di antara bangsawan dari Kerajaan Arveria. Putri Kayla, rambut pirangnya tersusun dalam kepangan rumit, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu.

“Pangeran Arlan…” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan pribadi. “Katanya dia dulu lemah, tak bisa berjalan… Tapi sekarang membentuk pasukan elit?”

Ia tersenyum samar, ujung jarinya menyentuh bibir seolah menyimpan rahasia.

“Aku belum pernah melihat wajahnya… Tapi rumor tentangnya jauh lebih menarik dari seratus pria tampan. Seperti bayangan yang tak bisa disentuh, tapi terus menghantui pikiran…”

Matanya melirik kursi kosong di sisi Raja Argus.

“Dan hari ini… aku ingin tahu, seberapa nyata sosok yang selama ini hanya hidup dalam cerita.”

Sementara itu…

Di kejauhan, tepat di atas atap salah satu gedung tinggi yang menghadap ke arena, seseorang berdiri membelakangi matahari pagi. Tudung hitam menutupi wajahnya, hanya siluetnya yang tampak kontras dengan cahaya keemasan yang menguar.

Suara bisik-bisik muncul dari warga yang melihatnya.

“Itu siapa?”

“Apa dia peserta?”

“Matanya... menatap arena itu seperti sedang mengukur medan perang.”

Rael.

Ia tak bergerak, hanya memandang ke bawah. Matanya mengamati satu persatu wajah di tengah keramaian—mencari… menilai.

Lalu terdengar gemuruh dari arena.

Duel pembuka dimulai.

Saniel vs Luther Cavilan.

Saniel tampil dengan aura tenang, mengenakan zirah ringan khas penyihir, sedangkan Luther—rambut pirangnya berkilau di bawah matahari—menyeringai penuh percaya diri, pedangnya memancarkan kilatan sihir Api.

“Kalau kau menangis, aku bisa sediakan saputangan, Saniel,” ejek Luther.

Saniel hanya mengangguk pelan. “Tak perlu. Aku sudah menyiapkan peti mati untukmu.”

Tebasan pertama menyambar. Suara dentingan logam dan percikan sihir menggetarkan udara. Gerakan Saniel sehalus air, menghindar, membalas, menciptakan irama pertarungan yang seperti tarian.

Dari kejauhan, Rael memperhatikan.

“Mereka berkembang cepat. Tapi masih terlalu bergantung pada teknik. Mereka belum membayangkan bahwa pertempuran nyata tak pernah seindah arena...”

Lalu, saat duel mencapai klimaks—saat kedua peserta saling menghunus serangan terakhir mereka—udara di tengah arena tiba-tiba bergetar.

Cahaya biru kehijauan menyilaukan, lalu…

BOOM!

Sosok berjubah hitam muncul di tengah debu yang berputar. Tudungnya masih menutupi wajah, jubahnya berkibar dramatis oleh angin sihir yang belum sepenuhnya menghilang.

Penonton terdiam. Tak ada suara. Tak ada gerakan.

Seseorang berbisik, “Itu… siapa?”

Sosok itu mengangkat dagunya.

Suara dalam dan tenang, namun penuh tekanan.

“Terlalu banyak pahlawan palsu yang mencuri panggung. Sudah saatnya… bayangan menunjukkan taringnya.”

Tangannya bergerak pelan, menunjuk ke arah tribun kerajaan.

“Hari ini… Aku—Rael Sang Bayangan Malam—mengambil bagian dalam permainan kalian. Beri aku lawan yang layak!”

Sebelum penonton sempat menghirup napas—bayangan lain melesat dari tribun.

Ledakan tekanan sihir mendahului sosok yang jatuh seperti meteorit dari langit.

BOOM!

Tanah retak. Debu membumbung. Dan dari balik asap, seorang wanita berdiri dengan sikap tegas.

Zirah merah dengan guratan perak. Simbol bulan sabit menyala samar di bahu kiri. Sir Kaela, komandan Bulan Merah.

“I-Itu Kaela?! Dia… dia muncul sendiri?!”

“Pasukan Elit milik Pangeran Arlan? Itu nyata?!”

“Apa Arlan mengirim mereka diam-diam ke sini?!”

Kaela berdiri tegak, pandangannya tak gentar menatap Rael.

“Kau siapa pun itu, tak bisa seenaknya menodai arena suci turnamen. Jubah hitammu... menyembunyikan niat buruk.”

Rael diam sejenak. Lalu—gumam lirih lolos dari balik tudungnya, hanya bisa didengar oleh segelintir yang peka.

“Kenapa… kenapa kau yang datang sih, Kaela…”

Tapi ia tak menunjukkan ekspresi. Dalam diamnya, pikiran Arlan bergerak cepat.

"Tunggu... ini bisa kupakai. Kaela adalah simbol kekuatan Bulan Merah. Jika ia terlihat bisa menahan sihirku… publikasi Bulan Merah akan meledak. Bagus."

Rael melangkah maju, dan Kaela... Ia tak membuang waktu. Ia melesat ke depan, Langkah Petir: Garis Merah!

Sebuah jejak kilat merah menyayat arena saat ia menerjang Rael. Kecepatan itu—lebih cepat dari mata biasa.

Rael mengangkat satu tangan, “Perisai Angin—Sekat Dimensi.”

Cahaya hijau melingkar di depannya, dan CLANG!—Kaela menabrak perisai itu. Ledakan angin melemparnya mundur beberapa meter, tapi ia mendarat mulus dan meluncur kembali.

“Kau cukup cepat, mister bayangan… Tapi bisakah kau menangani ini?”

Kaela mengangkat pedangnya tinggi, dan mengaktifkan Gravitas Cut: Form Kedua—Tebasan Tenggelam!

Pedangnya diselimuti aura merah gelap, dan setiap gerakan menyeret gravitasi di sekitarnya. Tanah terangkat. Debu melayang lambat.

Sihir gravitasi? Dia sudah sejauh ini?! Rael mengerutkan kening, tapi tangannya tetap santai.

Rael mengangkat dua jari, lalu menjentikkan.

“Rantai Kosmik—Konstelasi Terbalik.”

Dari langit muncul belasan rantai sihir biru yang menyilang membentuk pola bintang, masing-masing menjulur ke arah Kaela. Suaranya menggema, seperti lonceng yang memecah dimensi.

CRAAASSHH!

Rantai-rantai itu melesat ke bawah, namun Kaela—dengan teriakan perang—melompat di antara sela-selanya dan menebas satu persatu sambil memutar tubuh.

Dia menukik langsung ke arah Rael.

Rael mengangkat tangan lagi, dan kali ini… sebuah lingkaran sihir hitam muncul di udara. “Khatulistiwa Bayangan: Cermin Nol.”

Serangan Kaela menghantam… dan tubuh Rael menguap, berubah jadi bayangan yang mengalir ke belakangnya.

“Ilusi? Tidak… perpindahan dimensi…”

Kaela membalik, tapi sudah terlambat. Rael muncul di belakangnya, telapak tangan menempel di udara kosong:

“Ledakan Kekosongan.”

BOOM!

Satu ledakan bola sihir meledak ke segala arah, menciptakan lubang hampa di tengah arena. Penonton berteriak. Gelombang energi menyapu ke segala penjuru seperti badai.

Namun, di detik terakhir—Rael mengubah arah sihirnya, membuat ledakan hanya menyapu udara.

Kaela terhuyung, pakaiannya sedikit robek, tapi tetap berdiri. Napasnya berat.

"Apa dia… menahan serangannya?"

Rael melangkah pelan, tak mendekat terlalu cepat. Aura misteriusnya terus berdenyut.

“Kenapa kau tak gunakan pedang sihirmu yang sebenarnya, Kaela?”

Kaela menyipitkan mata.

“Kau tahu namaku… Tapi aku tidak tahu siapa kau. Bayangan macam apa yang tahu taktik internalku?”

Rael tersenyum tipis.

"Ups. Sedikit keceplosan."

Kaela lalu mengangkat pedangnya—aktifkan Mode Final: Petir Merah, Fase Kedua!

Petir membalut tubuhnya. Urat-urat di tanah retak. Suhu udara meningkat. Ujung rambutnya naik karena medan listrik.

“Kalau kau tak berhenti, aku akan menghancurkanmu!”

Rael hanya diam, lalu mengangkat satu tangan.

“Mantra Larangan: Neraka Angin Biru—Tarian Empat Arah.”

Empat lingkaran sihir muncul mengelilinginya, masing-masing berputar membentuk angin biru yang melengkung tajam—setajam pedang.

Mereka saling menerjang. Kaela menebas satu lingkaran, meledakkannya. Rael muncul dari sisi kanan, melemparkan sihir berbentuk tombak ke arahnya. Kaela memutar, menangkap tombak sihir itu dengan tangannya, meski lengannya berdarah.

Dia lalu menerjang, membelah dua arena. Pedangnya bersinar merah terang, dan Rael terlihat seakan akan tertembus…

Namun…

SRETT!

Serangan itu hanya menebas bayangan. Rael sudah tak ada.

Suaranya terdengar dari atas arena:

“Cukup untuk hari ini. Tujuanku bukan menang. Hanya ingin dunia… mulai bertanya.”

“Siapa kami? Apa kami? Dan… seberapa jauh bayangan bisa menjangkau?”

“Kami adalah Bayangan Malam.”

“Dan malam belum datang.”

Rael menghilang dalam kabut hitam yang membentuk bintang segi enam di langit arena.

Sorakan meledak.

“BULAN MERAH! BULAN MERAH!!”

“HIDUP SIR KAELA!! HIDUP!!”

“Mereka… Mereka penjaga Arlan! Mereka nyata!”

Kaela berdiri di tengah arena. Diam. Tapi jantungnya berdetak cepat.

"Tadi itu… tak ada niat membunuh sama sekali. Tapi kenapa aku merasa seperti sedang… diuji?"

Debu perlahan mereda. Rael—atau lebih tepatnya Arlan—menghilang dalam pusaran bayangan terakhirnya, meninggalkan siluet samar yang memudar seperti asap tersapu angin.

Di tengah keheningan yang menegangkan, suara komentator mendadak terdengar gemetar, nyaris tak percaya.

“T-Tunggu sebentar… Apakah itu…?”

Sorotan mata ribuan penonton mengikuti arah telunjuk komentator yang kini menunjuk ke salah satu kursi terhormat di tribun kerajaan—kursi yang sejak tadi kosong.

Di sana, duduk dengan tenang dan anggun… Pangeran Arlan De Liones Argus.

Rambutnya yang rapi tergerai lembut di bawah sinar matahari, matanya tajam namun lembut, wajahnya bersih dan tegap, mengenakan pakaian biru gelap dengan aksen perak—pakaian resmi yang dirancang khusus untuk sang pangeran yang katanya tak lagi bisa berjalan.

Namun di hadapan mereka sekarang…

Dia duduk tegak.

Tersenyum pelan.

Tangannya terlipat di atas lututnya dengan penuh wibawa.

Tanpa ada yang menyadari kapan atau bagaimana ia masuk.

Suara komentator membuncah. “PANGERAN ARLAN TELAH HADIR!! DIA… DIA ADA DI SINI!!”

Seperti gelombang badai, suara sorak-sorai mengguncang seluruh arena.

“Pangeran Arlan!”

“Hidup Pangeran Arlan!”

Para rakyat bangkit berdiri, berseru penuh emosi. Beberapa bahkan menangis. Bagi mereka, ini bukan sekadar kehadiran seorang bangsawan. Ini adalah mukjizat.

Para bangsawan pun mulai berdiri satu per satu, wajah-wajah mereka tercengang, tidak sedikit yang tercengang karena baru pertama kali melihat sang pangeran secara langsung dalam kondisi sehat dan gagah.

Putri Kayla dari Arveria tersenyum lebar, napasnya tertahan. “Jadi… Itu… Dia... Dia kah Pangeran Arlan?!”

Jenderal Raegard memandang Arlan dengan mulut setengah terbuka. “Kapan dia masuk…? Bahkan aku tak merasakan pergerakan mana…”

Sementara itu, di atas mimbar tertinggi, Raja Argus berdiri kaku selama beberapa detik. Mata tuanya melebar, lalu perlahan… berubah menjadi senyuman hangat, begitu dalam, begitu tulus.

“Anakku… Kau akhirnya memilih untuk muncul di hadapan rakyatmu…” bisiknya, sebelum ia mengangkat tangan dan memberi hormat kepada sang putra mahkota.

Arlan mengangguk pelan dari kursinya—satu anggukan sederhana yang membuat sorakan rakyat makin membahana.

Dan di dalam hatinya… Arlan berpikir sambil tersenyum tipis.

“Langkah pertama promosi Bulan Merah… sukses besar.”

"... Dan, Bayangan Malam, satu-satunya kata yang terlintas di benakku tadi... Cukup keren sih. Tapi, ya... Tadi cukup sukses."

Arlan tersenyum...

1
budiman_tulungagung
satu bab satu mawar 🌹
Big Man: Wahh.. thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
budiman_tulungagung
ayo up lagi lebih semangat
Big Man: Siap.. Mksh kak..
total 1 replies
R AN L
di tunggu kelanjutannya
Big Man: Siap kak.. lagi ditulis ya...
total 1 replies
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
Big Man: thanks kak..
total 1 replies
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
👍🌟👍🏻🌟👍
y@y@
👍🏿⭐👍🏻⭐👍🏿
y@y@
🌟👍👍🏻👍🌟
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏿👍🏻👍🏿⭐
y@y@
⭐👍🏻👍👍🏻⭐
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
y@y@
👍🏻⭐👍⭐👍🏻
y@y@
🌟👍🏿👍👍🏿🌟
y@y@
⭐👍🏻👍👍🏻⭐
y@y@
👍🏿🌟👍🌟👍🏿
y@y@
👍🏻⭐👍⭐👍🏻
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!