Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 7
Pak Robert menatap Anjani dengan penuh pengertian. "Kalau kamu sudah membuat keputusan dan membutuhkan bantuan, jangan ragu untuk menghubungi saya. Saya siap membantu kapan saja."
Anjani hanya mengangguk pelan. Dalam hatinya, ia sangat berterima kasih atas kebaikan Pak Robert, tetapi ia juga tidak ingin terlalu bergantung pada orang lain.
"Kamu ada HP?" tanya Pak Robert. "Simpan nomor saya, jadi kalau butuh sesuatu, kamu bisa langsung menghubungi saya."
Anjani menggeleng pelan, sedikit ragu untuk mengakui kenyataan pahit dalam hidupnya. "Saya... tidak punya HP, Pak."
Pak Robert dan Rose saling bertatapan, terlihat terkejut sekaligus sedih mendengar jawaban itu. "Boro-boro HP," lanjut Anjani dengan senyum miris, "untuk kebutuhan yang lebih kecil saja, saya sering kesulitan."
Rose menggenggam tangan Anjani dengan lembut. "Nak, bagaimana kalau kami membantumu? Tidak perlu sungkan..."
Namun, Anjani menggeleng lagi. "Terima kasih, Bu, Pak. Tapi saya belum tahu apa yang harus saya lakukan nanti."
Setelah berbicara dengan Anjani, Pak Robert merasa iba melihat kondisinya yang masih lemah setelah kecelakaan. Ia tidak tahu banyak tentang kehidupan rumah tangga atau kondisi finansial Anjani dan Adrian, tetapi dari cara Anjani berbicara, ia bisa merasakan ada banyak hal yang dipendam gadis itu.
Saat William datang menjenguknya di rumah sakit, Pak Robert langsung menyampaikan permintaannya. "William, nanti saat kamu kesini lagi, belikan satu HP untuk Anjani."
William mengernyit, sedikit terkejut. "HP? Untuk Anjani?"
Pak Robert mengangguk. "Iya. Aku tidak tahu bagaimana kehidupan rumah tangganya, tapi tadi dia bilang kalau dia bahkan tidak punya HP untuk sekadar berkomunikasi. Setidaknya, dengan ini dia bisa lebih mudah mencari bantuan jika butuh sesuatu."
William terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Papi. Aku akan belikan untuknya."
Rose yang mendengar itu ikut tersenyum. "Baguslah. Setidaknya dia tidak akan merasa sendirian."
William hanya mengangguk, tetapi dalam hati, ia mulai bertanya-tanya tentang Anjani. Bagaimana mungkin seorang di zaman sekarang tidak memiliki HP? .
Sore itu, Pak Robert akhirnya diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Saat Wiliam datang menjenguk, ia menyerahkan sebuah HP baru kepada ayahnya.
Namun, Pak Robert malah menyodorkan HP itu kembali kepadanya. "William, papi minta tolong. Serahkan HP ini pada Anjani. Masukkan nomor papi di dalamnya, jadi kalau dia butuh sesuatu, dia bisa langsung menghubungi papi."
William mengernyit, sedikit bingung. "Kenapa papi sendiri tidak memberikannya?"
Pak Robert tersenyum lembut. "Anjani sedang berada di ruangan lain sekarang. Lagi pula, papi tidak ingin membuatnya merasa sungkan. Kalau kamu yang menyerahkan, dia mungkin akan lebih mudah menerimanya."
Kemudian, Pak Robert merogoh sakunya dan mengeluarkan sebuah kartu ATM. "Ini juga. Berikan pada Anjaani untuk kebutuhannya. Papi merasa dia sedang dalam kesulitan."
William menatap kartu itu sejenak, lalu menoleh ke arah pintu ruangan tempat Anjani dirawat. Ia tidak tahu pasti masalah apa yang dihadapi wanita itu, tetapi jika ayahnya sampai meminta hal ini, berarti keadaannya tidak baik-baik saja.
Dengan sedikit ragu, William mengangguk. "Baik, Papi. Aku akan memberikannya pada Anjani."
Setelah berbicara sebentar lagi dengan ayahnya, William berjalan menuju ruangan tempat Anjani dirawat. Dalam hatinya, ia mulai bertanya-tanya—apa yang sebenarnya terjadi dalam hidup wanita itu?
Ketukan pelan terdengar di pintu ruangan Anjani. Ia yang tengah duduk di tepi ranjang segera menoleh.
"Masuk," katanya singkat.
Pintu terbuka perlahan, dan seorang pria tinggi berambut coklat masuk ke dalam. Anjani langsung bengong melihat sosok yang baru pertama kali ini datang ke kamarnya.
Pria itu berdiri tegak di dekat pintu, menatapnya dengan ekspresi tenang. "Anjani, kan?" suaranya terdengar dalam dan berwibawa.
Anjani mengerutkan kening, merasa aneh karena pria itu tahu namanya. "Iya, saya Anjani... Anda siapa?" tanyanya ragu.
Pria itu berjalan lebih dekat. "Saya William, anak Pak Robert," katanya singkat.
Anjani mengangguk pelan, kini mengerti hubungan pria itu dengan Pak Robert. Namun, ia tetap bingung kenapa Wiliam tiba-tiba datang menemuinya.
Tanpa banyak basa-basi, Wiliam mengeluarkan sebuah kotak berisi HP dari sakunya dan menyerahkannya pada Anjani. "Ini untukmu. Papi menyuruhku memberikannya. Beliau ingin kamu bisa menghubunginya kapan saja jika butuh sesuatu."
Anjani terdiam, menatap HP itu dengan perasaan campur aduk. Ia tidak menyangka Pak Robert begitu perhatian padanya.
Tak hanya itu, William juga meletakkan sebuah amplop di meja samping tempat tidur. "Dan ini... ada sesuatu yang bisa membantumu."
Anjani menatap amplop itu dengan ragu. "Apa ini?"
William menatapnya serius. "Papi merasa kamu sedang dalam kesulitan, dan ini adalah bentuk bantuan dari beliau. Kamu tidak perlu sungkan."
Anjani menggigit bibirnya, hatinya terasa berat menerima kebaikan ini. Namun, melihat kesungguhan di mata Wiliam, ia tahu bahwa menolak pun tidak akan ada gunanya. Dengan tangan gemetar, ia menerima HP itu.
"Terima kasih..." suaranya nyaris berbisik.
William hanya mengangguk kecil sebelum berbalik untuk pergi. Namun, sebelum melangkah keluar, ia menoleh sebentar dan berkata, "Kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk menghubungi Papi."
Setelah itu, ia pun pergi, meninggalkan Anjani yang masih tertegun di tempatnya, memandangi HP dan amplop di tangannya.
Tak lama setelah Wiliam pergi, pintu kembali diketuk. Kali ini, Pak Robert, Rose, dan William masuk ke ruangan Anjani.
"Anjani, kami ingin pamit," ujar Pak Robert dengan senyum lembut. "Kami sudah diizinkan pulang, dan kamu juga akan segera pulang, kan?"
Anjani mengangguk pelan. "Iya, Pak. Saya juga sudah diperbolehkan pulang."
Rose menatapnya dengan khawatir. "Apa kamu sudah punya rencana akan ke mana setelah keluar dari rumah sakit?"
Anjani terdiam sejenak. Ia ingin menjawab jujur bahwa ia belum tahu harus kemana, tapi ia tidak ingin merepotkan mereka. Maka, ia hanya tersenyum samar. "Saya bisa mengurus diri sendiri, Bu."
Pak Robert saling bertukar pandang dengan istrinya, lalu menatap Anjani dengan penuh perhatian. "Kami bisa mengantarmu pulang kalau kamu mau. Tidak perlu sungkan."
Anjani menggeleng tegas. "Terima kasih, Pak. Tapi saya bisa pulang sendiri."
William yang sejak tadi diam kini ikut berbicara. "Kamu yakin?"
Anjani menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Saya yakin."
Melihat keteguhan Anjani, Pak Robert menghela nafas dan mengangguk pasrah. "Baiklah. Tapi jika kamu butuh sesuatu, jangan ragu untuk menghubungi kami. Nomor kami sudah ada di HP-mu."
Rose mengelus tangan Anjani dengan lembut. "Jaga dirimu baik-baik, ya."
Anjani tersenyum tipis. "Terima kasih, Bapak."
Setelah itu, keluarga Pak Robert pun meninggalkan ruangan, meninggalkan Anjani sendiri dengan pikirannya. Ia menghela nafas panjang.
Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Adrian tiba di kamar rawat Anjani. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh harap saat menatap istrinya yang masih duduk di tepi ranjang rumah sakit.
"Anjani, ayo kita pulang," ujar Adrian dengan suara lembut, mencoba meyakinkan istrinya.
Anjani menoleh sekilas, lalu kembali menunduk. "Aku tidak mau pulang ke rumah itu lagi, Adrian."
Adrian terkejut, tapi ia segera duduk di sampingnya. "Kenapa? Itu rumah kita. Kamu harus pulang."
Anjani menggeleng, suaranya dingin. "Itu bukan rumahku. Aku tidak akan kembali ke tempat di mana aku selalu dihina dan disakiti."
Adrian terdiam. Ia tahu betul apa yang dimaksud Anjani. Selama ini, ibunya dan Dita memang memperlakukan Anjani dengan buruk. Namun, ia tidak ingin menyerah begitu saja.
"Aku janji, aku akan berubah, Anjani. Aku akan melindungimu dari Mama dan Dita. Aku akan berusaha memperbaiki semuanya. Tolong beri aku kesempatan," Adrian memohon dengan tulus.
Anjani menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, tapi hatinya sudah terlalu lelah. "Adrian, aku kehilangan anak kita. Aku tidak bisa berpura-pura semuanya baik-baik saja."
Adrian menggenggam tangan Anjani, berharap bisa meyakinkannya. "Aku tahu aku salah. Tapi aku ingin kita mulai lagi dari awal. Aku benar-benar ingin memperbaiki rumah tangga kita."
Anjani menarik napas panjang. Ada banyak emosi dalam dirinya—marah, sedih, kecewa, dan lelah. Ia tidak tahu apakah ia masih bisa percaya pada Adrian.
"Aku butuh waktu," jawabnya akhirnya. "Jangan paksa aku sekarang."
Adrian mengangguk pelan. "Baik, aku akan menunggu. Tapi tolong, pulanglah bersamaku."
Anjani menatap Adrian lama, mencoba mencari jawaban di dalam hatinya. Apakah ia harus memberi kesempatan lagi?
Anjani menarik napas panjang, berusaha menekan perasaannya. Akhirnya, ia menyerah dan mengikuti Adrian pulang. Sepanjang perjalanan, hatinya dipenuhi keraguan, tapi ia memilih diam.
Begitu sampai di rumah, pemandangan yang sudah ia duga pun terpampang di depan matanya. Bu Rina dan Dita sedang duduk santai di depan TV, tertawa-tawa menikmati acara kesukaan mereka. Rumah itu berantakan—baju berserakan di sofa, piring kotor menumpuk di meja, dan lantai penuh remah makanan.
Anjani hanya bisa menggelengkan kepala, menahan diri agar tidak berkomentar.
Begitu melihat Anjani masuk, Bu Rina mendengus sinis. "Wah, akhirnya pulang juga. Kupikir betah di rumah sakit."
Dita ikut menimpali dengan suara manja, "Iya, pulangnya lama banget. Jangan-jangan biar dikasih perhatian lebih ya?"
Anjani tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk berdebat. Adrian yang berdiri di sampingnya mengepalkan tangan, tapi ia memilih menahan diri.
"Anjani baru pulang, jangan mulai lagi," kata Adrian dengan nada peringatan.
Bu Rina hanya melirik sekilas lalu kembali fokus pada TV. "Ya sudah, cepat masuk ke kamar. Jangan harap ada yang melayani. Kalau lapar, masak sendiri."
Anjani menatap Adrian sekilas sebelum melangkah masuk ke kamarnya. Di dalam, ia duduk di tepi ranjang, merasakan kelelahan yang luar biasa. Hatinya berteriak ingin pergi dari rumah ini, tapi ia tahu—untuk saat ini, ia belum punya pilihan.
Pagi itu, drama rumah tangga kembali dimulai. Anjani terbangun dengan tubuh masih terasa lelah, tapi ia segera bangkit dan menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri. Setelah selesai, ia berjalan ke dapur dengan niat memasak sesuatu, karena semalam ia sangat lapar dan belum makan dengan baik.
Namun, begitu membuka kulkas, ia terkejut. Kulkas kosong melompong. Tidak ada bahan makanan yang bisa dimasak, bahkan sebutir telur pun tidak ada.
Anjani menghela napas, berusaha menenangkan diri. Ia tahu ini bukan kebetulan. Selama ia dirawat di rumah sakit, tidak ada yang peduli untuk mengisi ulang persediaan makanan di rumah ini.
Saat ia masih berdiri di depan kulkas, Dita datang dengan wajah malas. "Kenapa diem di situ? Mau masak?" tanyanya sambil menguap.
"Iya, tapi kulkas kosong. Tidak ada yang belanja?" Anjani bertanya dengan nada datar.
Dita malah tertawa sinis. "Ya belanja lah kalau mau makan. Jangan ngarep orang lain nyediain buat kamu."
Anjani menatap Dita, tapi memilih untuk tidak membalas. Ia sudah terbiasa diperlakukan seperti ini.
Tak lama, Bu Rina muncul dari ruang tengah, mendengar percakapan mereka. "Kalau lapar, ya beli sendiri. Jangan manja, di rumah ini semua orang tahu diri. Masa tinggal di sini tapi nyusahin terus?" katanya dengan nada tinggi.
Anjani mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Ia ingin membalas, ingin mengatakan bahwa dirinya bukan beban, tapi ia tahu percuma.
Dengan langkah tegas, ia mengambil dompetnya dan beranjak keluar untuk membeli bahan makanan sendiri. Namun, dalam hati, ia berjanji—ini akan menjadi pagi terakhir di mana ia diperlakukan seperti ini.
Anjani keluar rumah dengan menggunakan motor yang biasa dipakai Adrian untuk bekerja,menahan rasa sakit yang masih terasa.. Dengan hati yang masih dipenuhi rasa kesal, ia melaju menuju ATM terdekat.
Sesampainya disana, ia mengeluarkan kartu ATM yang diberikan Pak Robert kepadanya. Dengan ragu, ia memasukkan kartu itu dan mengecek saldo.
Matanya langsung melebar. Satu miliar rupiah.
Tangannya sedikit gemetar saat menatap angka yang tertera di layar. Ia tidak pernah melihat uang sebanyak ini dalam rekening pribadinya. Untuk sesaat, ia merasa bingung dan bertanya-tanya, Kenapa Pak Robert memberikan uang sebanyak ini padanya? Apakah beliau merasa iba?
Namun, ia segera membuang perasaan bingung itu. Sekarang, yang paling penting adalah memenuhi kebutuhannya sendiri. Dengan cepat, ia menarik sejumlah uang untuk belanja bahan makanan.
Setelah selesai, ia melanjutkan perjalanan ke pasar swalayan terdekat. Dalam hati, ia mulai berpikir—dengan uang sebanyak ini, mungkin ia bisa melakukan sesuatu untuk mengubah hidupnya.
Saat Anjani mendorong troli belanjaannya menuju kasir, ia mendengar suara yang tidak asing. Beberapa ibu-ibu tetangganya sedang berbisik-bisik di dekat rak camilan, lalu salah satu dari mereka mendekatinya dengan ekspresi sinis.
"Wah, mantu Bu Rina akhirnya belanja juga? Kirain nggak pernah ke pasar. Jangan-jangan selama ini cuma numpang makan di rumah mertua?" ujar wanita itu dengan nada merendahkan.
Anjani tertegun, lalu menoleh ke arah ibu itu. Namun, sebelum ia bisa berkata apapun, ibu itu melanjutkan dengan nada lebih tajam, "Kasihan Bu Rina, punya menantu pemalas dan pelit. Katanya nggak pernah beliin apa-apa buat mertua. Udah tinggal di rumah orang, eh, nggak tahu diri!"
Anjani merasakan dadanya sesak. Fitnah itu begitu menusuk. Sejak awal, ia sudah menerima perlakuan buruk dari mertua dan iparnya, dan kini tetangga ikut menjelek-jelekkan dirinya tanpa tahu kebenarannya.
tetapi ia menahan emosinya. "Saya memang nggak banyak bicara, tapi bukan berarti saya nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi," ucapnya dengan tenang, tapi tajam.
Ibu itu melirik Anjani dengan sinis sebelum tertawa kecil. "Ya udah deh, kita lihat aja sampai kapan kamu bisa bertahan di rumah itu."
Anjani tidak menggubris lagi. Setelah membayar belanjaannya, ia segera pergi dari sana. Tapi hatinya masih terasa panas. Kenapa orang-orang begitu mudah menilainya tanpa tahu apa yang sebenarnya ia alami?
hrs berani lawan lahhh