Andreas Wilton sudah terlahir dingin karena kejamnya kehidupan yang membuatnya tidak mengerti soal kasih sayang.
Ketika Andreas mendengar berita jika adik tirinya akan menikah, Andreas diam-diam menculik mempelai wanita dan membawa perempuan tersebut ke dalam mansion -nya.
Andreas berniat menyiksa wanita yang paling disayang oleh anak dari istri kedua ayahnya itu, Andreas ingin melihat penderitaan yang akan dirasakan oleh orang-orang yang sudah merenggut kebahagiaannya dan mendiang sang ibu.
Namun, wanita yang dia culik justru memberikan kehangatan dan cinta yang selama ini tidak pernah dia rasakan.
“Kenapa kau peduli padaku? Kenapa kau menangis saat aku sakit? Padahal aku sudah membuat hidupmu seperti neraka yang mengerikan”
Akankah Andreas melanjutkan niat buruknya dan melepas wanita tersebut suatu saat nanti?
Follow instagramm : @iraurah
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iraurah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perhatian atau Permainan?
Cahaya lembut menerobos dari sela-sela tirai putih yang tersampir rapi di jendela besar di sisi kiri ruangan. Aroma bunga lavender samar tercium, menguar dari lilin aromaterapi yang menyala redup di sudut kamar. Dindingnya berwarna krem hangat, dihiasi lukisan klasik dan cermin berbingkai emas. Ruangan itu begitu tenang, damai, dan asing.
Perlahan, kelopak mata Mistiza bergerak. Napasnya pelan, nyaris tak terdengar, seakan tubuhnya masih ragu untuk sepenuhnya sadar dari dunia gelap yang tadi membelenggunya. Jemarinya bergerak perlahan, menggeliat seiring detak jantung yang mulai stabil. Dengan lirih, keluhan pelan lolos dari bibirnya saat kepalanya terasa nyeri seperti dipukul benda tumpul.
“Auhh…”
Ia membuka matanya dengan perlahan, pupilnya menyempit karena cahaya yang menerpa langsung. Pandangannya kabur sejenak sebelum akhirnya mulai jelas. Mistiza terdiam, memandang sekeliling ruangan dengan kebingungan yang nyata. Ia tidak berada di gudang kumuh seperti sebelumnya. Tidak juga di ruang bawah yang lembab dan menakutkan. Yang dilihatnya kini adalah kamar dengan ranjang empuk, sprei bersih, serta furnitur bergaya klasik yang tampak mahal.
Ia mengerjap beberapa kali, mencoba mencerna keberadaannya. Sebuah rasa asing menjalari dadanya. Panik kecil mulai menyusup perlahan.
Saat mencoba bangkit, tangan kanannya mendadak tertahan. Ia menoleh dan mendapati selang infus tertanam di punggung tangannya. Cairan bening menetes perlahan dari botol yang tergantung di tiang logam di samping ranjang.
Perlahan ia menyentuh dahinya yang berdenyut. Ia berusaha mengingat sesuatu… apa pun itu.
Namun kepalanya hanya memberikan bayangan samar—seperti tangisan, rasa sakit, sebuah suara lelaki, dan rasa malu yang begitu mendalam. Begitu kejadian tersebut terlintas di kepalanya Mistiza langsung terbelalak sambil menutup mulutnya yang terbuka. Ia mengingat sebagian kejadian, dia menangis, berteriak, sambil memohon kepada Andreas.
“Astaga! Apa aku—” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar.
Tubuhnya menegang. Ia segera menunduk, menatap tubuhnya dengan cemas. Gaun pengantin—yang telah dirusak dengan kejam oleh Andreas—sudah tidak ada. Sebagai gantinya, kini ia mengenakan gaun putih sederhana, berbahan lembut dan ringan, namun tetap menutup tubuhnya dengan sopan. Dress itu bersih dan rapi, seperti baru dikenakan.
Jantung Mistiza berdegup lebih cepat. Ia tidak mengingat bagaimana ia bisa berganti pakaian. Wajahnya memucat saat pikirannya dipenuhi kemungkinan-kemungkinan buruk.
Apakah Andreas yang memakaikan ini? Atau seseorang lainnya? Apa yang sebenarnya terjadi setelah aku tak sadarkan diri...?
Pertanyaan-pertanyaan itu menari-nari dalam benaknya tanpa jawaban. Ia mencoba duduk dengan pelan, tangan kanannya menahan tubuh, sementara tangan kirinya bergerak hati-hati karena infus.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan dari pintu membuat tubuh Mistiza terlonjak kecil. Sebelum sempat ia menjawab, pintu terbuka perlahan, dan seorang pelayan wanita masuk dengan nampan di tangannya. Pelayan itu mengenakan seragam rapi, berwarna hitam-putih, rambutnya disanggul sederhana, wajahnya tampak lembut dan penuh sopan santun.
Begitu melihat Mistiza telah terbangun, pelayan itu tersenyum ramah dan menunduk sedikit.
“Selamat siang, Nona. Saya membawa makan siang Anda. Semoga Anda merasa lebih baik,” ucapnya dengan suara lembut.
Mistiza terdiam, matanya mengamati pelayan itu dari kepala hingga kaki. Wajah pelayan itu tidak menunjukkan ancaman apa pun, namun Mistiza tetap memasang kewaspadaan. Ia mengangkat sedikit tubuhnya agar dapat bersandar pada bantal.
Pelayan meletakkan mangkuk dan gelas di meja kecil tepat disamping ranjang.
“Maaf sebelumnya, boleh aku bertanya?” Seru Mistiza membuat pelayan itu kembali menegakkan badannya.
“Ya, Nona?”
“Apakah… aku masih berada di kediaman Andreas?” tanyanya dengan suara serak dan ragu.
Pelayan itu mengangguk dengan tenang. “Ya, Nona. Anda masih di kediaman Tuan Andreas. Namun kini Anda berada di kamar tamu lantai atas, bukan lagi di ruang bawah.”
“Kenapa aku dipindahkan ke sini?” tanya Mistiza lagi, kali ini dengan nada yang sedikit lebih kuat, meski tubuhnya masih lemas.
“Setelah Anda diperiksa oleh dokter, Tuan Andreas memerintahkan agar Anda dibawa ke kamar ini agar bisa beristirahat dengan nyaman sebab Anda perlu suasana yang lebih tenang untuk pemulihan.”
Mistiza menunduk pelan. Ada perasaan ganjil dalam dadanya. Ia tidak bisa memahami perubahan sikap Andreas. Lelaki itu—yang sebelumnya begitu kejam dan tanpa belas kasih—tiba-tiba memerintahkan agar ia dirawat dengan baik?
Kenapa? Apa karena rasa bersalah? Atau ini bagian dari permainan barunya? Mungkin benar jika dia tak ingin membuatku langsung m*ti begitu saja, dia tak ingin aku melewati permainan yang akan dia lakukan untuk menghabisi ku.
“Siapa… siapa yang memakaikan baju ini padaku?” tanyanya lagi, kali ini dengan raut wajah tegang.
Pelayan itu tampak sedikit terkejut, namun tetap tenang saat menjawab. “Saya yang menggantikan pakaian Anda, Nona. Dokter mengatakan bahwa Anda membutuhkan baju yang bersih dan nyaman. Dan… Tuan Andreas memerintahkan agar hanya pelayan wanita yang menyentuh Anda.”
Mata Mistiza melebar sedikit, namun rasa lega samar menyelinap dalam dirinya. Meski begitu, rasa tak percaya masih bercokol erat. Ia mengangguk kecil, lalu kembali menatap makanan yang diletakkan di atas meja kecil di samping ranjang.
“Nona, saya tahu ini pasti sangat membingungkan untuk Anda… Tapi percayalah, jika Anda menurut dengan perintah Tuan maka setidaknya Anda akan baik-baik saja.” pelayan itu berbicara dengan nada menenangkan.
Mistiza hanya menatapnya dalam diam. Entah kenapa, ada sesuatu dalam tatapan dan suara pelayan itu yang terasa tulus. Namun ia tidak berani begitu saja mempercayai siapa pun di rumah ini.
“Apakah Andreas… masih ada di rumah?” tanyanya akhirnya.
“Tidak, Nona. Tuan Andreas telah berangkat ke kantor sejak pagi”
“K-kalau begitu bolehkah aku meminjam ponsel mu atau bisa tunjukkan telpon rumah disini? Aku harus menghubungi seseorang!” Pinta Mistiza dengan polosnya mencari kesempatan selagi tidak ada Andreas disini.
Seketika pelayan menunduk. “Maaf Nona, kami tidak berani untuk itu. Bukan kami tidak kasihan pada Anda, tetapi jika kami membiarkan Anda maka kami pasti yang akan menjadi bulan-bulanan Tuan Andreas”
Mistiza menghela napas berat, bisa-bisanya dia tidak kepikiran sampai kesana. Dia juga tidak mau mengorbankan seseorang demi kepentingannya sendiri.
Ruangan itu terasa terlalu hening sekarang. Kepalanya masih terasa berat, namun pikirannya mulai berjalan cepat, mencari cara untuk memahami semua yang sedang terjadi.
“Maaf….” Lirih Mistiza merasa bersalah.
“Tidak apa-apa, Nona! Saya akan menunggu di luar, jika Anda membutuhkan sesuatu, Nona,” katanya lembut sebelum melangkah keluar dan menutup pintu pelan.
Begitu pintu tertutup, Mistiza kembali menatap sekeliling ruangan. Ia belum pernah masuk ke kamar seperti ini—begitu bersih, harum, dan hangat. Namun baginya, semua keindahan ini terasa semu, seperti topeng dari tragedi yang masih membekas kuat di ingatannya.
Disana Mistiza mulai menangis, meratapi nasibnya yang selalu penuh kesialan, dia makin terisak begitu wajah sang calon suami terlintas, andai saja Ryan datang dan menyelamatkannya disini seperti yang dikatakan Andreas kemarin, bahwa itu tidak mungkin.
“Hiksss….. Ryan….. Tolong Aku…..”
come cari tau masa sekelas anda yg power full ga bisa kan ga lucu