Rumah sudah kokoh berdiri, kendaraan terparkir rapi, tabungan yang cukup. Setelah kehidupan mereka menjadi mapan, Arya justru meminta izin untuk menikah lagi. Istri mana yang akan terima?
Raya memilih bercerai dan berjuang untuk kehidupan barunya bersama sang putri.
Mampukah, Raya memberikan kehidupan yang lebih baik bagi putrinya? Apalagi, sang mantan suami hadir seperti teror untuknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Egha sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2. Sambutan tidak bersahabat
Raya memilih pulang di rumah orang tuanya, karena ia tidak memiliki tujuan. Paling tidak, ia bisa berteduh beberapa hari, sambil berpikir kemana ia akan melangkah. Rumah orang tuanya berada di perbatasan kota. Raya harus naik bus, untuk menghemat biaya.
Sepanjang jalan, ia terus menangis tanpa suara. Air matanya bercucuran, seperti keran air. Sakit hati, marah dan kecewa, bercampur menjadi satu dan mengaduk-aduk perasaannya. Kenapa pernikahan yang sudah lama terjalin, seolah tidak ada apa-apanya? Kenapa semua usaha dan pengorbanan seolah tidak terhitung olehnya?
1 jam perjalanan, akhirnya Raya tiba. Ia menarik koper dengan susah payah, apalagi posisi sambil menggendong anak.
"Kak, kok bawa banyak barang?" tanya sang adik, yang membantu membawa koper dan tas.
"Ibu mana?" tanya Raya, mengalihkan pembicaraan.
"Didalam."
Ibu Raya yang tengah mencuci piring, kaget melihat putrinya, yang tiba-tiba pulang tanpa pemberitahuan. Dan biasanya, Raya hanya akan pulang saat hari raya tiba.
"Nak, kok tiba-tiba pulang, tidak bilang-bilang?" Ibu memperhatikan barang bawaan Raya yang tidak wajar. Seperti orang yang akan pindah rumah. "Wajahmu kenapa bengkak begitu?"
"Aku lapar, Bu." Raya mengalihkan pembicaraan. Ia lelah dan tidak ingin berbicara saat ini.
"Ya, ampun. Kamu jauh-jauh kemari dan belum makan. Ayo, duduk." Ibu memanggil putranya, yang sibuk memasukkan koper dalam kamar. "Rafi, ambil adekmu, Nak. Kakak kamu mau makan."
"Iya, Bu."
Raya makan dengan lahap, karena diatas meja terhidang makanan favoritnya. Ada tahu, tempe goreng, lalapan dan sambal. Tidak ketinggalan ikan asin yang paling the best.
"Pelan-pelan, Nak." Ibu mengambil segelas air dan meletakkan diatas meja. "Kamu makan dulu, ibu mau lanjut mencuci."
Raya mengangguk. Entah mengapa, setelah tiba dirumah sang ibu perasaannya langsung tenang. Sakit hatinya, pun perlahan berkurang sedikit demi sedikit.
"Nak, ceritakan apa yang terjadi? Ibu tahu pasti ada sesuatu, kamu tiba-tiba pulang," tanya Ibu yang kembali duduk, saat Raya baru selesai makan.
Raya tidak langsung menjawab. Ia duduk kembali, lalu menghela napas panjang.
"Mas Arya, menceraikanku, Bu." Tanpa permisi, air mata Raya meluncur. Ia tertunduk, sembari terisak.
"Ap... apa?" Ibu shock. Seperti ada petir yang tiba-tiba menyambar tanpa adanya hujan. "Kalian ada masalah apa?"
"Mas Arya berselingkuh dan mau menikah lagi. Aku tidak sudi di madu," tangis Raya pecah yang sedari tadi ia tahan.
Ibu langsung bangkit menarik tangan putrinya. "Ayo, bangun. Temui suamimu. Katakan, kau tidak ingin bercerai."
"Ibu." Raya melotot.
"Kenapa? Kau harus berpikir, Nak. Ini bukan tentang mu saja tapi tentang anakmu. Dia masih kecil, dia butuh ayahnya."
"Ibu, tolong. Aku tidak bisa. Karena, Lily masih kecil, maka suatu hari dia pasti akan mengerti."
"Raya," bentak ibu, "Apa sulitnya di madu? Kamu hanya perlu ikhlas dan menutup mata. Daripada kamu hidup menjanda dan menjadi gunjingan orang."
"Apa bedanya, Bu? Apa selama ini ibu tidak pernah digosipkan tetangga, karena ibu mau di madu? Paling tidak, menjadi janda tidak akan membuatku sakit hati."
Sang ibu terduduk kembali. Ia terisak karena nasib Sang putri yang ternyata tidak jauh beda darinya. Apa ini karma atau takdir yang tidak adil bagi mereka?
"Kamu tahu, kenapa ibu mau di madu?" Ibu menatap Raya dengan kedua mata yang berenang. "Itu karena kalian masih kecil dan masih butuh biaya. Ibu tidak mau, kalian diejek disekolah karena tidak punya ayah dan ibu juga tidak mau kalian hidup susah."
"Maaf, Bu. Tapi, Raya tidak sekuat Ibu. Aku tidak sanggup harus menahan sakit hati."
"Ibu tahu, ibu mengerti. Tapi, pikirkan anakmu. Selagi dia belum mengerti apa-apa, kamu harus memperbaikinya."
"Keputusan Raya sudah bulat, Bu. Mas Arya sudah menjatuhkan talak dan Raya tidak mau mengemis."
"Raya." Suara Ibu kembali meninggi. "Apa yang akan kau lakukan dengan masa depan anakmu?"
"Bu, tolong! Jangan memaksaku. Aku bisa mencari kerja."
"Kau mau mencari kerja dengan ijazah SMA? Siapa yang akan memperkerjakanmu di zaman sekarang ini? Padahal kau punya suami seorang manajer. Sakit karena di madu, tidak seberapa dengan kau hidup susah."
"Ibu," teriak Raya, yang sudah tahan, "Uang bisa dicari, tapi tidak dengan harga diriku!"
Plak.
"Jadi, kau menganggap ibu tidak punya harga diri karena mau menerima keputusan ayahmu?"
"Jangan membohongi diri ibu sendiri. Aku tahu ibu menangis setiap malam. Aku tahu ibu menyumpahi mereka setiap saat. Daripada hidup seperti itu, lebih baik berpisah." Raya menghapus wajahnya yang basah.
"Yah, ibu memang menangis. Ibu bahkan menyumpahi mereka. Lalu, apa? Kau tahu betul, kenapa ibu mau melakukan."
"Bu, tolong sadarlah. Ibu bertahan hanya karena sebuah nafkah yang tidak seberapa. Ibu bahkan harus mengemis berminggu-minggu dan mendengarkan hinaan ayah setiap kali memberikannya. Aku tidak mau hidup seperti itu."
Ibu seperti terpukul dengan ucapan anaknya. Ia terduduk lesu dan terdiam. Semua yang dikatakan Raya, seakan membuka pikirannya.
"Bu, tolong. Raya hanya ingin menjalani hidup dengan tenang, tanpa harus meneteskan air mata setiap saat. Mas Arya berkata akan adil kepada kami. Tapi, aku tidak akan percaya. Ibu tahu kenapa? Karena janji seperti itu hanya sementara. Satu tahun, mungkin iya. Tapi tidak dengan tahun-tahun berikutnya."
"Anakku, kenapa hidupmu seperti ini?" Ibu kembali menangis dengan pilu.
"Ibu, aku baik-baik saja. Aku yakin bisa melalui ini." Raya memeluk ibunya dan ikut menangis.
Setelah keduanya cukup tenang. Raya membereskan piring diatas meja dan langsung mencucinya. Sementara, ibu masih menatap anaknya.
"Lalu, apa yang akan kamu lakukan, Nak?" tanya Ibu dengan isakan yang masih terdengar.
"Aku akan cari kontrakkan dan cari pekerjaan, Bu."
"Kalau begitu, biar ibu yang menjaga Lily disini."
Raya berhenti sejenak dan menatap ibunya. "Tidak usah, Bu. Aku bisa sendiri."
"Jangan, Nak. Kali ini, dengarkan ibu. Bagaimana kamu bisa bekerja dengan membawa bayi? Menggunakan ijazah SMA saja, kamu masih harus untung-untungan. Biar ibu yang jaga Lily, agar kamu bebas bekerja. Kamu bisa menjenguknya kalau libur. Percaya sama ibu, Nak."
"Aku percaya sama Ibu. Tapi, Ibu akan terlalu lelah."
"Lelah, apanya? Ada adik kamu yang membantu ibu."
"Aku akan memikirkannya, Bu."
"Ya sudah, cepat selesaikan dan kamu istirahat. Lily, biar ibu yang jaga."
Tenang dan damai, meski hati masih terlalu sakit untuk mengingatnya. Apalagi, Raya merasa dibuang seperti barang yang sudah rusak dan tidak dibutuhkan lagi. Itu yang paling ia tidak terima. Meski Arya meminta maaf, tapi itu tidak cukup untuk menambal, apalagi menyembuhkan luka.
🍁🍁🍁
tidak mau memperjuangkan raya
bntar lg km ketemu sm laki2 yg tulus yg mampu bahagiakan km.
plg suka crita klo perempuannya tangguh & kuat