Mencari Daddy Sugar? Oh no!
Vina Rijayani, mahasiswi 21 tahun, diperhadapkan pada ekonomi sulit, serba berkekurangan ini dan itu. Selain dirinya, ia harus menafkahi dua adiknya yang masih sangat tanggung.
Bimo, presdir kaya dan tampan, menawarkan segala kenyamanan hidup, asal bersedia menjadi seorang sugar baby baginya.
Akankah Vina menerima tawaran Bimo? Yuk, ikuti kisahnya di SUGAR DATING!
Kisah ini hanya fantasi author semata😍
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Payang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Tunggakan
"Vina Rijayani!"
Aku yang duduk paling belakang dan sibuk membaca diktat buru-buru mendongak, begitu mendengar namaku dipanggil oleh bu Suryani, dosen mata kuliah Manajemen Perpajakan.
"Iya, saya bu," sahutku menatap kearahnya.
"Pak dekan memanggilmu, buruan!" perintahnya.
"Baik bu," Aku bangkit dari duduk.
"Napa lo dicari sama pak dekan ganteng?" tanya Mirna, temanku sejak SMU.
"Entahlah, gue juga belum tau. Paling juga urusan duit, kan gue belom bayar SPP," jawabku tersenyum hambar.
Mirna tertegun, tidak bisa berkata-kata bila urusan duit. Ingin menolong, dirinya pun sebelas dua belas denganku, sama-sama ekonomi sulit, bisa kuliah saja adalah anugerah bagi kami yang berasal dari keluarga pas-pasan.
"Tunggu apalagi Vina!" nyaring bu Suryani mengagetkanku dan Mirna, mengundang atensi seisi kelas tertuju pada kami berdua.
"I-iya bu, saya kesana sekarang," aku tergagap saking kagetnya.
"Elu sih!" omelku pada Mirna sambil berlalu, tapi temanku hanya terkikik. Begitulah kami, selalu berusaha saling memahami satu sama lain, tidak mudah mengambil hati.
...***...
"Kapan kamu bisa melunasi SPP-mu Vina?" pak Murdiono, sang dekan fakultas akuntansi menatapku datar.
"Bapak terpaksa mengambil alih tugas bu bendahara yang sudah angkat tangan menagih keterlambatan uang SPP-mu."
"Mohon beri saya waktu lagi pak, saya akan berusaha mencari uang dan membayarnya."
"Kapan pastinya?" kejar pak Murdiono.
"Saya tidak bisa memastikannya pak, tapi saya tetap berusaha," ucapku tertunduk.
Untuk saat ini, aku sangat bingung harus menjawab apa, aku benar-benar pusing memikirkan bagaimana caranya membayar tunggakan SPP-ku itu, sementara aku tidak memegang uang sepeserpun.
Samar kudengar dekanku itu mendesah berat.
"Tadi pagi, saya dipanggil oleh rektor karena masalahmu ini Vina. Selama tiga tahun kamu kuliah dikampus ini, kamu sudah menunggak lima semester, dan pak rektor hanya memberimu kesempatan sampai akhir bulan ini saja. Kalau tidak, kamu terpaksa harus DO (drop out) dari kampus ini. Jika tidak demikian, mahasiswa lainnya pasti akan berlaku sama sepertimu."
"Tapi pak, waktu hingga akhir bulan tinggal empat hari lagi. Bagaimana caranya saya bisa mencari uang dua puluh juta dalam waktu singkat?" aku menatap frustrasi pada dekan yang tidak kalah frustrasinya denganku.
"Kamu cukup membayar dua belas juta saja Vina, karena yang dua semesternya sudah saya bantu," ungkap pak Murdiono yang nampak terpaksa mengatakan yang sebenarnya.
"Pak Murdiono membantu saya?" aku langsung berkaca-kaca.
"Terima kasih pak, saya akan berusaha menggantinya juga," aku menghapus genangan airmata diujung kelopak mataku.
"Kamu tidak perlu memikirkannya, saya ikhlas membantu. Fikirkan saja bagaimana caranya kamu membayar tunggakan yang tiga semester itu. Jika tidak, pihak universitas terpaksa mengambil tindakan tegas, mengeluarkanmu dari kampus," tegas dekanku itu.
Aku terenyuh, merasakan kebaikan hati sang dekanku itu.
Akhirnya aku tahu, alasan kenapa dua hari lalu seorang ibu yang mengaku isteri dari pak Murdiono datang mendampratku didepan rumah kontrakanku.
Ternyata dekanku itu membantuku dengan diam-diam tanpa aku ketahui.
"Dasar perempuan murahan! Hanya berbekal kecantikan, menggoda suamiku untuk membayar uang kuliah. Kerja oi, kerja!" teriaknya waktu itu, tentu saja aku yang baru pulang kerja serabutan merasa malu, para tetangga ikut nimbrung dan menjadi penonton.
"Jangan harap kamu bisa menikmati uang suamiku lagi! Aku sudah menjatah jajan dan uang bahan bakar mobilnya hanya seimprit, tidak ada yang bisa ia bagi buatmu lagi!" lanjutnya masih berteriak.
"Maafkan saya pak, bila sudah menyusahkan bapak," ucapku merasa sedih. Tidak aku lupakan kebaikan dekanku itu, suatu hari nanti aku harus membalas budinya, walau aku tahu hutang budi tidak akan pernah bisa dibayar.
VINA RIJAYANI.
...***...
"Kak Vina, kami laper..." Vaniza, adik perempuanku yang berusia enam tahun menghampiriku yang baru saja selesai mengganti pakaian.
VANIZA WIJAYANI
"Sebentar ya sayang, kakak akan masak mie instan dulu untuk kita makan sore ini," ucapku lembut, mengingat semua persediaan sudah habis, hanya bersisa dua bungkus mie instan yang kusimpan dalam wadah penyimpanan beras.
'Mie instannya sudah habis dimakan aku dan kak Vino siang tadi kak," sahut adik perempuanku itu.
Vino yang berdiri disebelahku mengangguk membenarkan ucapan Vaniza.
VINO NUNO SEBASTIAN
"Sebentar ya adik-adik kakak yang pintar, tunggu disini dulu. Kakak akan ke warung bibi Anggi sebentar. Vino, ajak Vaniza kekamar, segera ganti seragam kalian ya, jangan sampai kotor, karena besok masih harus digunakan untuk kesekolah."
Kedua adikku itu menurut.
Aku bergegas pergi, begitu melihat keduanya sudah masuk kedalam kamar mereka.
"Bibi--"
"Apa! ngutang lagi?" ketus bibi Anggi, kakak dari ayahku, memotong ucapanku.
ANGGI
"Iya bi, satu papan tempe, seliter beras, dan seikat kangkung, besok Vina bayar ya bi," pintaku memberanikan diri.
"Tidak bisa! Enak saja ngutang terus, yang dulu aja belum kamu bayar. Yang ada bibi bakal bangkrut kalau kamu ngutang terus!" sambil menunjuk-nunjuk wajahku.
"Kamu memiliki wajah yang cantik, kenapa tidak ngangkang saja cari om-om kaya supaya tidak ngutang terus setiap hari?! Ekonomi sulit saja belagu! Sok-sok'an kuliah, dasar pemalas kamu! Kamu dan adik-adikmu jadi beban saja!"
Aku tertunduk pilu, ucapan bibi Anggi mengingatkanku pada pria jahat yang mengucapkan kata-kata yang serupa seperti bibi.
"Ya Tuhan jeng... jeng... ingat, itu keponakanmu jeng, mereka anak yatim piatu, wajib dibantu jeng," ucap satu ibu merasa prihatin, menyaksikan bagaiman bibi berucap kasar dan tak pantas padaku.
"Tidak usah sok baik! Bude Romlah bisa bilang begitu, karena tidak mengalami nasib seperti saya! Coba kalau diposisi seperti saya, yang terus-terusan digerogoti oleh mereka, apa bude Romlah masih bisa bilang begitu?!" bibi kian kesal, ucapan sesama penjual sayuran dan sembako itu sontak membuat darah tingginya kumat.
Wanita yang dipanggil bude Romlah itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Seisi pasar memang sudah mengenal pembawaan bibi Anggi yang kasar dan mudah marah itu.
"Nduk, kesini aja sama bude," panggilnya lembut padaku.
Aku yang sedari tadi diam karena malu menjadi pusat perhatian sebagian besar orang dipasar tetap mendekat, mengesampingkan rasa maluku mengingat wajah-wajah lapar kedua adikku yang menunggu dirumah.
"Ini seliter beras, satu papan tempe, sekantong tahu, sekilo telur, dua ikat kangkung."
"Banyak sekali bude," aku terpana tak percaya, melihat barang-barang yang disebutkan bude Romlah ditumpuk didepanku.
"Besok aku bayar ya bude," ucapku terharu menatap bude Romlah, mataku berkaca saking bahagianya, bisa meredakan lapar adik-adiku dirumah.
"Sudah, nggak usah dibayar nduk, bude ikhlas. Bawa sana, adik-adikmu pasti sudah menunggu," ucapnya lembut, menyodorkan semua pemberiannya yang sudah ia masukan ke kantong plastik.
"Terima kasih banyak bude," ucapku hampir menangis, lalu bergegas pergi, melewati beberapa orang yang menatapku dengan berbagai ekspresi.
...***...
Bimo menatap lengannya yang masih meninggalkan lebam membiru, hasil upayanya melindungi gadis pencari kerja yang jatuh kedalam lift yang sengaja ia tekan tombol pembuka pintunya agar bisa jatuh bersama gadis itu.
Kenyalnya buah dada masih terasa hangat sampai sekarang, tidak bisa ia lupakan.
BIMO HARDI DINATA
❤️(Monggo-monggo mas'e atau mba'e yang tadi mau getok si Bimo, dipersilahkan🤭🤭)❤️
📞"Tania, siapa nama gadis yang merusak pintu ruanganku beberapa hari lalu?" tanya Bimo.
📞"Vina Rijayani, tuan."
📞"Cari, dan bawa dia menghadapku. Dia harus mengganti daun pintu kesayanganku!"
📞"Baik tuan."
"Jangan harap kamu bisa lari dariku, sugar baby..." desisnya.
Bersambung...✍️
✍️Pesan moral : Bantulah anak yatim piatu😎
dirimu mau berendam sambil minum atau gimana/Drowsy//Drowsy//Drowsy/
. Arvian.. bukan Alvian.. di atas ada beberapa alvian aku oleng benerann... 🙈🙈🙈