Andai .... kata yang sering kali diucapkan di saat semua sudah berlalu. Di saat hal yang kita ingin gapain tersandung kenyataan dan takdir yang tidak bisa terelakan. Kadang aku berpikir andai saja waktu itu ibuku tidak meninggal, apakah aku masih bisa bersamanya? ataukah justru jika ibuku hidup kala itu aku bahkan tidak akan pernah dekat dengannya.
Ahhh ... mau bagaimana lagi, aku hanyalah sebuah wayang dari sang dalang maha kuasa. Mengikuti alur cerita tanpa tau akhirnya akan seperti apa.
Kini, aku hanya harus menikmati apa yang tertinggal dari masa-masa yang indah itu. Bukan berarti hari ini tidak indah, hanya saja hari akan terasa lebih cerah jika awan mendung itu sedikit saja pergi dari langitku yang tidak luas ini. Tapi setidaknya awan itu kadang melindungiku dari teriknya matahari yang mungkin saja membuatku terbakar. Hahaha lucu sekali. Aku bahkan kadang mencaci tapi selalu bersyukur atas apa yang aku caci dan aku sesali.
Hai, aku Ara. Mau tau kisahku seperti apa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mamah Mput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia baru
"Ara, mama dan papa akan pergi ke luar kota selama tiga hari. Kamu baik-baik ya di sini."
"Iya, Mah. Kan Ara udah biasa ditinggal, jadi mama gak usah khawatir. Ada kakak sama Abang juga."
"Katanya Abang juga mau pergi, dia mau cek lokasi buat acara pernikahan nya nanti."
"Memangnya jauh?"
"Iya, kita akan mengadakan pernikahan mereka di luar kota. Suzy mau pernikahan nya intimate wedding. Jadi lagi nyari tempat yang pas."
"Owh, lama juga?"
"Nggak tau, paling dua atau tiga hari."
"Oke. Ara sekolah dulu ya, Mah."
"Uang kamu masih ada? Kalau habis minta papa transfer ya." ucap mama sedikit berteriak karena aku sudah berlari keluar dari rumah.
"Ayo, Abang buru-buru harus jemput Suzy."
"Ya udah aku sama kakak aja berangkatnya."
"Kamu gak tau kalau Alan pergi sejak subuh tadi? Katanya dia ada urusan kerjaan keluar kota."
"Ih, kenapa semua orang pergi sih? Ara sama siapa di rumah?"
"Kan ada nenek, ada bibi juga. Udah, ayo naik nanti kamu telat."
Dengan wajah yang ditekuk, aku masuk ke dalam mobil Bryan.
[Kenapa pergi gak bilang-bilang?😡]
Tidak dibaca. Ceklis dua abu-abu. Aku semakin kesal dibuatnya.
Sepertinya hari ini hari yang buruk untukku. Mama dan papa pergi, Bryan pun sama. Ditambah lagi Alan yang pergi tanpa pamit.
Selama pelajaran berlangsung, emosiku belum juga reda. Sampai jam istirahat kedua, aku mendapat pesan.
[Pulang jam berapa? Aku menunggu di depan sekolah]
Emosiku seketika lenyap mendapatkan pesan darinya. Meski begitu, aku tetap menunjukkan rasa marah pada Alan.
[Gak tau. Aku mau pulang bareng Rahes aja. Lagi keluar kota bukan?]
[Lakukan saja kalau kamu mau temen kamu itu babak belur.]
"Waduh, ya jangan lah. Anak orang masa mau dihajar."
Setelah makan bakso di kantin bersama Ayumi, aku bertemu dengan pak Galih.
"Boleh saya bicara dengan Ara berdua saja?" ucapnya sambil melihat Ayumi dan Hilda bergantian.
"I-iya, Pak. Silakan." Ayumi dan Hilda pergi menuju kelas.
"Bapak mau bicara apa? Sebentar lagi jam terakhir masuk, Pak."
"Tenang saja, guru nya ijin gak bisa masuk. Boleh saya bicara sebentar? Tentunya tidak di sini."
"Oh, oke."
Kami duduk di bangku pinggir sekolah di bawah pohon kersen yang rindang. Angin sepoi-sepoi mengusap lembut wajahku. Anak rambutku perlahan menutupi sebagian pipi dan mataku.
"Kamu sangat mirip ya sama mendiang."
"Kan anaknya, Pak."
"Hahaha. Kamu benar."
"Bapak teman deket ibu ya?"
Dia mengangguk sambil meremas kedua tangannya. Tatapannya lurus ke depan seolah sedang membayangkan sesuatu.
"Apa ibu saya orang baik, Pak?"
"Ya, sangat baik. Itulah kenapa saya sangat mencintainya."
Apa? Cinta?
"Bapak mantan ibu saya ya?" tanyaku polos.
"Bukan."
"Katanya cinta, tapi kok bukan mantan juga? Bapak gak pernah nyatain perasaan bapak sama ibu? Apa ditolak?"
Dia menghela nafas dalam-dalam. "Saya suaminya, Ara."
Deg!
Tubuhku terasa lemas dan kaku. Apa yang dia ucapkan membuatku terasa disambar petir di siang bolong.
"Apa itu, itu artinya ..."
"Ya, saya ayah kandung kamu."
Dhuarrrrr!
Petir itu terasa nyata bagiku meski cuaca saat itu cerah dan tenang.
"Jangan takut, Ara. Saya tidak bermaksud apa-apa, saya juga tidak akan menggangu kamu dan keluarga baru kamu. Saya datang ke sini hanya ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja."
"Saya baik, Pak, sebelum kita bicara."
Dia tersenyum meski bibirnya bergetar. Matanya sendu dan berkaca-kaca.
"Saya permisi, Pak."
"Tunggu, Ara. Ada yang ingin saya berikan sama kamu."
"Tidak perlu, Pak."
"Ini barang milik ibu kamu."
Langkahku terhenti seketika. Dia berjalan dan berdiri di hadapanku saat ini.
"Ini cincin pernikahan kami. Saya harap kamu bisa menyimpannya. Maaf jika saya membuat kamu terkejut, dan --"
"Terimakasih."
Aku meraih cincin yang ada di tangan nya dengan kasar, lalu segera pergi meninggalkan pak Galih.
Kepalaku terasa sangat berat. Aku tidak berpikir sama sekali. Bahkan aku mengabaikan Ayumi, Hilda dan juga Rahes. Aku berjalan terus lurus ke depan setelah bel kepulangan berbunyi.
Tidak peduli Ayumi dan Hilda terus bertanya, aku terus melangkah mengikuti kaki ini tanpa tahu arah.
"Sayang, tunggu!" Sebuah tangan berhasil menghentikan langkah kakiku dan membuat aku sadar. Aku melihat sekeliling dan ternyata sudah berada jauh dari sekolah.
"Kamu kenapa?" tanya Alan sedikit marah. Mungkin dia cemas.
Aku menggelengkan kepala pelan.
"Ayo kita pergi." Tanpa menolak, aku mengikuti Alan begitu saja. Dia membawaku ke mana, aku tidak perduli.
Rupanya dia membawaku ke rumah di mana aku bersembunyi dari eyang waktu itu. Yang Alan bilang jika ini adalah rumahku.
"Istirahat ya."
Aku mengangguk, lalu pergi menuju kamar. Setelah menyimpan tas, aku duduk di kursi yang ada di depan meja rias. Aku pandangi cincin dari pak Galih yang katanya itu cincin pernikahan ibu.
Cantik. Cincin itu sangat cantik meski terlihat sudah usang. Aku mencobanya di jari manis dan ternyata pas.
"Apa sebaiknya biarkan saja di jariku?"
Ku angkat tanganku dan kulihat baik-baik cincin tersebut.
"Ternyata memang cantik. Sebaiknya aku pakai saja sampai ada seseorang yang akan menyematkan cincin lain di jari ini."
Siapa sangka bahwa ternyata aku masih memiliki keluarga selain nenek. Aku pikir aku adalah yatim piatu, ternyata tidak.
"Kenapa nenek bilang jika ayah sudah meninggal? Kenapa keberadaan ayah disembunyikan oleh nenek dan keluarga ibu?"
Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di dalam kepalaku, hingga mata ini terasa lelah dan tertidur.
Samar-samar aku mencium aroma makanan yang sangat menggugah selera. perutku yang mudah sekali merasa lapar, berbunyi. Perlahan aku membuka mata dan melihat jam tangan. Rupanya sudah malam.
Setelah mandi dan berganti pakaian, aku keluar dari kamar. Rupanya aroma makanan tadi berasal dari masakan yang Alan masak.
"Udah bangun, sayang?"
"Hmmm," gumamku sambil memeluk Alan dari belakang. Dia sedang menyiapkan piring di meja makan.
"Apa apa, hmm? Manja banget pacarku ini." Alan memutar badannya hingga kami saling berhadapan. Aku memeluk nya dengan erat.
"Kenapa, Sayang?"
Aku menggelengkan kepala dalam dekapan tubuhnya. Untuk saat ini dia adalah tempat ternyaman untukku.
"Oke, jangan cerita kalau kamu belum siap."
Setelah merasa sedikit tenang, aku melepas pelukannya.
Alan mencium keningku dengan lembut, lalu dia mengajakku makan malam.
"Gimana? Enak?"
"Enak."
"Makan yang banyak biar punya tenaga untuk cerita."
"Tidak sekarang tapi."
"Gak apa-apa, aku tidak memaksa. Tenangkan saja dirimu dulu. Tapi jika ada orang yang berani membuat kamu sedih atau menyakiti kamu, maka dia akan berhadapan denganku."
Alan terlihat santai, nada bicaranya pun rendah. Hanya saja dari cara dia memotong makanan, dia jelas sangat kesal.
"Tidak ada hubungannya dengan orang lain, Kak. Ini murni karena aku merasa sedang sedih."
"Baiklah. Nanti juga akan ketahuan sendiri."
Aku tidak tahu haruskah aku menceritakan tentang pak Galih padanya, atau tidak. Untuk sementara biarkan saja dulu karena aku sendiri masih tidak percaya dengan kenyataan yang baru saja aku ketahui.