Kiana hanya mencintai Dio selama sembilan tahun lamanya, sejak ia SMA. Ia bahkan rela menjalani pernikahan dengan cinta sepihak selama tiga tahun. Tetap disisi Dio ketika laki-laki itu selalu berlari kepada Rosa, masa lalunya.
Tapi nyatanya, kisah jatuh bangun mencintai sendirian itu akan menemui lelahnya juga.
Seperti hari itu, ketika Kiana yang sedang hamil muda merasakan morning sickness yang parah, meminta Dio untuk tetap di sisinya. Sayangnya, Dio tetap memprioritaskan Rosa. Sampai akhirnya, ketika laki-laki itu sibuk di apartemen Rosa, Kiana mengalami keguguran.
Bagi Kiana, langit sudah runtuh. Kehilangan bayi yang begitu dicintainya, menjadi satu tanda bahwa Dio tetaplah Dio, laki-laki yang tidak akan pernah dicapainya. Sekuat apapun bertahan. Oleh karena itu, Kiana menyerah dan mereka resmi bercerai.
Tapi itu hanya dua tahun setelah keduanya bercerai, ketika takdir mempertemukan mereka lagi. Dan kata pertama yang Dio ucapkan adalah,
"Kia, ayo kita menikah lagi."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana_Noona, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Dalam kehidupan Arshaan, ia tak pernah seyakin itu menginginkan sesuatu. Semua yang ada di hadapannya sudah tersedia tanpa perlu berusaha. Hidup nyaman, keluarga penuh cinta, penampilan yang rupawan mendukung kehidupan sosial yang turut pula menyenangkan.
Ia tidak pernah berpayah-payah memperjuangkan hal-hal tertentu.
Kecuali kini, satu hal saja.
Kiana ayu Ardhiona.
Arshaan tidak bisa mengatakan bahwa ia jatuh cinta pada pandangan pertama selayaknya dalam roman picisan. Sebab saat menjadi supir taksi online gadungannya, ia hanya melihat Kiana sebatas ... kasihan, mungkin?
Ia tahu bahwa perempuan yang naik ke mobilnya adalah istri Dionata Dierja. Seseorang yang seharusnya masih menjadi teman andai tak pernah terjadi hal buruk di masa lalu. Arshaan pun dapat mudah menebak, hal apa yang membuat perempuan itu menangis.
Dio – Rosa.
Rosa – Dio.
Dua hal yang akan selalu berkaitan.
Lantas setelah pertemuannya kembali di kantor, Arshaan menemukan dirinya begitu senang menggoda Kiana. Ekspresinya yang kesal, cemberut, terbahak-bahak, tak percaya, meledek ah ... semuanya, Arshaan jadi suka.
Arshaan suka keberadaan Kiana di sekitarnya.
Dan malam ini, ketika matanya melihat dengan jelas bagaimana Dio dan Kiana beradu argument hingga laki-laki itu mencium paksa Kiana –yang notabene istrinya, Arshaan juga turut berang. Ciuman sebelah pihak yang memaksa, berlandaskan emosi dan amarah.
Ia ingin maju, menarik Kiana dan membawa jauh. Nyatanya, ia tidak melakukan hal tersebut. Bukan apa-apa, ia terlalu sadar posisinya. Dalam hal tertentu, itu jelas akan berakhir rumit. Dengan berbagai rumor, memengaruhi kehidupan pekerjaannya nanti.
Hal itu terasa memusingkan baginya, bahkan ketika pagi datang menjelang. Arshaan yang tertidur pukul 3 pagi –karena kesulitan tidur memikirkan soal Kiana – akhirnya terlambat bangun. Ia baru selesai membersihkan diri ketika peserta gathering lainnya sudah sibuk di meja makan untuk memulai sarapan.
Ia bisa melihat Kiana yang berwajah kuyu. Senyumnya saat berbicara dengan Jehan dan Stevi terasa palsu. Matanya pun sembab. Ia bahkan duduk jauh bersebrangan dengan Dio. Hal yang terasa tak wajar bagi suami istri yang belum lama menikah, di mana harusnya sedang hangat-hangatnya.
"Pak Arshaan, sini," panggil Jehan saat melihat Arshaan sedikit kebingungan mencari tempat duduk.
Laki-laki itu mendekat. Sempat beradu pandang dengan Kiana sesaat, namun perempuan itu memilih menekuri piring kembali.
"Kesiangan ya Pak?" tanya Jehan, basa-basi.
"Puncak dingin sih, jadi enak buat tidur." Arshaan tertawa, matanya melirik kearah Kiana. "Acara hari ini padat, 'kan? Kalau kamu kurang enak badan, nanti aku ambilin vitamin punyaku."
Arshaan jelas mengatakan itu pada Kiana, meski tanpa menyebut namanya. Membuat Jehan segera melirik kearah Dio di seberang meja yang menatap mereka lekat.
"Makasih, tapi aku baik-baik aja kok."
Arshaan mengangguk. Melahap roti lapisnya sekali gigit lalu meletakkan sisanya di piring. Ia menyesap kopi sebelum bangkit.
"Tunggu sebentar."
Ia berlalu sebentar, kembali ke kamarnya. Tak berselang lama, Arshaan kembali dengan sesuatu di tangannya.
"Ini, vitaminnya."
Kiana memandang Arshaan. Sekalipun mereka duduk berbataskan Jehan yang berada di tengah-tengah, keduanya sesaat bersitatap. Kiana menggumamkan terima kasih dan laki-laki itu hanya tersenyum menggoda seperti biasanya.
Dio tak bereaksi. Ia hanya asik dengan ponsel dan kopinya. Membiarkan pandangan Kiana yang seolah ingin tahu reaksinya berakhir kecewa.
Setelah sarapan, semua peserta gathering berkumpul. Mereka dibagi beberapa tim untuk melakukan perlombaan, diantaranya Rope Course (high rope activities –kegiatan tali tinggi), bakiak, pipa bocor, estafet air, spider web, menara air dan terakhir rafting (arung jeram).
Arshaan bisa melihat, Kiana jelas menghindari Dio. Sebab saat dirinya harus satu kelompok dengan Dio, ia terkesan menolak. Arshaan sendiri sih merasa senang, sebab ia juga masuk ke dalam kelompok yang sama dengan perempuan itu. Terkait Dio yang ikutan gathering, sepertinya Arshaan tahu alasannya. Karena Kiana, tentu saja. Padahal Dio tipe yang tidak suka permainan-permainan semacam ini.
Arshaan, Dio, Kiana, Pak Romi, Jehan dan Mona.
Mereka satu tim.
Tim yang kacau.
Saat mereka bermain estafet air, Dio yang duduk di bagian paling depan –tepat di depan Arshaan – terlihat sangat sengaja mengguyurkan air pada tubuh Arshaan. Dalihnya sih karena tidak bisa melihat, namun Arshaan tahu bahwa itu pasti karena vitamin yang ia berikan pada Kiana.
Atau saat permainan menara air. Sudah jelas, mengisi air di ember yang disangga oleh kaki mereka adalah hal yang mudah. Pemenangnya saja ditentukan seberapa cepat air terisi dan seberapa lama menara bertahan. Tapi Arshaan memang niatnya balas dendam. Ia tidak mengisi ember tersebut dengan air, melainkan sengaja ditumpah-tumpahkan kearah Dio agar laki-laki itu juga basah kuyup seperti dirinya.
Semuanya kacau, semua permainan yang tim mereka ikut kacau. Mereka tidak sekalipun menang sebab sejatinya mereka berdua –Dio dan Arshaan– hanya ingin saling mengalahkan satu sama lain.
Jehan sih tertawa puas menyaksikan dua orang aneh yang saling bersaing tersebut. Namun Kiana jelas pusing. Entah apa tujuan mereka, yang jelas mereka benar-benar kacau.
Sampai di kegiatan terakhir, rafting. Kiana yang kesulitan memakai helm perlengkapan arung jeram tersebut tiba-tiba tertegun saat tangan Dio berusaha membantunya.
Wajar!
Seharusnya.
Suami membantu isterinya.
Namun Kiana jelas masih merasakan sakit hati efek perbuatan Dio semalam. Ia justru memilih meminta bantuan pada Arshaan yang berdiri cukup jauh darinya. Pemandangan yang bisa membuat siapapun yang berada di sana tercengang. Jehan dan Mona bahkan saling berpandangan.
"Kamu hati-hati."
Dio menepuk pundak Kiana dan menyuruh perempuan itu untuk berhati-hati. Ia duduk di belakang, bersama pemandu, Arshaan dan Pak Romi. Sedangkan Kiana duduk di depan bersama Jehan dan Mona.
Arung jeram sebagai penutup kegiatan mereka rasanya benar-benar menyenangkan. Kiana menikmati tiap momen menegangkan saat perahu karet mereka menabrak batu, atau saat arusnya deras hingga momen-momen mereka terjatuh dari perahu karet yang terbalik.
Kiana tertawa.
Ia terlihat melepaskan semua yang mengganggu pikirannya.
Dan pemandangan itu jelas tak luput dari tatapan dua manusia; Dio dan Arshaan.
Setelah selesai semua kegiatan, mereka kembali lagi ke vila. Sibuk berganti pakaian dan menyiapkan diri untuk acara barbeque sebagai puncak acara.
Kiana masuk ke dalam kamarnya tepat saat Dio ternyata sudah berada di sana lebih dulu. Laki-laki itu sudah mandi dan berganti pakaian. Ia sepertinya langsung bergegas setelah acara arung jeram selesai, tanpa berkumpul dengan yang lainnya lebih dulu.
"Kamu pucat banget. Nggak enak badan?"
Kiana menghentikan langkahnya menuju kamar mandi. "Aku baik-baik aja."
"Kamu besok pulang sama aku."
"Nggak."
"Kenapa?"
"Aku pulang sama yang lain aja."
"Aku cuma khawatir kamu kecapean."
"Aku masih marah sama kamu, jadi aku nggak mau dekat-dekat kamu."
Kiana berlalu menuju kamar mandi. Ia meninggalkan Dio dengan usapan kasar di rambutnya. Ia frustasi, jelas. Ia tidak tahu mengapa setiap kali mereka berdua bertengkar, Dio sangat tidak nyaman. Padahal seharusnya, biasa saja, 'kan?
Kiana memang istrinya, tapi hatinya masih soal Rosa.
Seharusnya marahnya Kiana hanya angin lalu.
Tapi mengapa Dio selalu merasa terganggu?
Kiana muncul sekitar 20 menit kemudian, sudah berpakaian lengkap. Ia duduk di hadapan cermin dan mulai sibuk dengan skincare-nya.
Tiba-tiba Dio mendekat. Melepaskan gulungan handuk kecil di rambut Kiana, meraih hair dryer kemudian.
"Aku bisa sendiri," protes Kiana. Ia masih berbicara dengan nada jutek pada suaminya.
"Pasti lama."
Pada akhirnya Kiana menyerah. Membiarkan Dio membantu mengeringkan rambutnya.
Dio masih diam saat tangannya sibuk bekerja. Helaian rambut Kiana yang basah, kulit lehernya yang terlihat sangat putih, dan wangi dari shampoo yang menguar tiba-tiba memberikan efek aneh. Ia mendehem, menetralisirnya. Sialnya, tetap saja perasaannya bertingkah.
"Aku minta maaf untuk semua hal yang aku lakukan semalam."
Kiana tak merespon. Ia diam dengan sunscreen di tangan.
"Aku sudah melakukan hal yang kurang ajar."
Kiana masih diam.
"Kamu pasti benci sama aku. Aku rasa itu memang seharusnya." Dio tiba-tiba meletakkan hair dryer dan meletakkan dagunya di bahu Kiana. Kedua tangannya melingkari tubuh Kiana, memeluk.
Kiana terkejut namun tetap memilih diam.
"Kamu boleh marah sama aku, tapi jangan sakit. Sekarang kamu kecapean, jadi besok kita pulang duluan."
Kiana belum menjawab ketika Dio justru mencium puncak kepala Kiana dan bergegas pergi. Membuat perempuan itu menatap bingung pantulan dirinya di cermin. Ia bahkan tidak tahu apakah bisa melanjutkan aksi diamnya bila Dio melakukan hal seperti tadi.
^^^
KLIK LIKENYA DONGGGG
trlmbat.... sangat trlmbat Dio.... & km pun tak pntas mndapatkn maaf...