Prang!!!
Seeeeettt!!
Hujan deras menyelimuti malam ketika Hawa Harper mendapati sebuah mobil mewah terguling di jalan sepi. Di balik kaca pecah, ia melihat seorang pria terluka parah dan seorang anak kecil menangis ketakutan. Dengan jantung berdebar, Hawa mendekat.
“Jangan sentuh aku!” suara pria itu serak namun tajam, meski darah mengalir di wajahnya.
“Tuan, Anda butuh bantuan! Anak Anda—dia tidak akan selamat kalau kita menunggu!” Hawa bersikeras, melawan ketakutannya.
Pria itu tertawa kecil, penuh getir. “Kau pikir aku percaya pada orang asing? Kalau kau tahu siapa aku, kau pasti lari, bukan menolong.”
Tatapan Hawa ragu, namun ia tetap berdiri di sana. “Kalau aku lari, apa itu akan menyelamatkan nyawa anak Anda? Apa Anda tega melihat dia mati di sini?”
Ancaman kematian anaknya di depan mata membuat seorang mafia berdarah dingin, tak punya pilihan. Tapi keputusan menerima bantuan Hawa membuka pintu ke bahaya yang lebih besar.
Apakah Hawa akan marah saat tahu kebenarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Cerita Emma
Malam terakhir di Dubai menjadi momen yang sangat berarti bagi Emma. Setelah seharian penuh bermain di wahana yang menghibur, Emma tampak lebih ceria dari sebelumnya. Tawa dan canda memenuhi hari itu, terutama karena kehadiran Harrison dan Hawa yang selalu berada di sisinya.
Namun, malam itu tidak hanya menjadi momen kebahagiaan, tetapi juga awal dari pengungkapan perasaan terdalam Emma.
Saat kembali ke hotel, Emma berjalan di antara Harrison dan Hawa dengan langkah riang. Tangannya menggenggam erat tangan Hawa, sementara Harrison memandang putrinya dengan senyuman lembut.
"Papa," kata Emma tiba-tiba ketika mereka hampir sampai di lobi hotel.
"Ya, sayang?"
Emma menatap Harrison dengan wajah polos tapi penuh kebahagiaan. "Terima kasih sudah membuat liburan ini jadi yang terbaik. Aku merasa punya keluarga yang utuh."
Harrison tertegun, matanya sedikit melembut mendengar kata-kata itu. Hawa, di sisi lain, merasa ada sesuatu yang bergejolak di hatinya. Ia tersenyum kecil, mencoba menutupi rasa haru yang muncul tiba-tiba.
"Emma, kau memang selalu memiliki keluarga," jawab Harrison dengan suara rendah. "Papa dan Kak Hawa selalu ada untukmu."
Hawa menambahkan, "Dan aku akan selalu di sini untukmu, Emma."
Ucapan itu membuat Emma melompat kecil, lalu memeluk Hawa erat. "Kak Hawa, aku senang kau ada di sini. Jangan pernah pergi, ya?"
Hawa mengangguk sambil mengusap rambut Emma dengan lembut. "Aku janji, Emma. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."
Ares, yang menyaksikan pemandangan itu dari kejauhan, tersenyum tipis. Ia jarang melihat Harrison tersenyum selebar itu. Momen ini benar-benar berbeda, penuh kehangatan dan kebahagiaan.
Setelah tiba di hotel, Emma meminta Hawa untuk tetap bersamanya di kamar. Hawa dengan senang hati setuju. Setelah Emma selesai mandi dan bersiap tidur, mereka berdua duduk di tempat tidur, berbincang ringan.
"Emma," tanya Hawa sambil mengusap pipi gadis kecil itu. "Bagaimana liburanmu? Apa kau senang?"
Emma mengangguk dengan semangat. "Senang sekali! Aku tidak akan melupakan liburan ini. Papa, Kak Hawa, semuanya sempurna!"
Namun, raut wajah Emma berubah sedikit suram. Ia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "Tapi... ada sesuatu yang aku tidak suka."
Hawa menatapnya dengan lembut. "Apa itu, sayang? Kau bisa cerita pada Kak Hawa."
Emma menundukkan kepalanya, tampak ragu untuk berbicara. Tapi akhirnya, ia mulai mengungkapkan isi hatinya.
"Itu... tentang Ibu Ella," bisiknya pelan.
Hawa sedikit terkejut, tapi ia tetap tenang. "Apa yang terjadi, Emma? Ceritakan padaku."
Emma mengangkat wajahnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Dua tahun lalu, aku mendengar semua yang terjadi antara Papa dan Ibu Ella. Mereka bertengkar hebat. Aku masih ingat setiap kata yang mereka ucapkan."
Hawa menggenggam tangan Emma, memberi isyarat bahwa ia siap mendengarkan.
"Ibu Ella datang setelah lima tahun pergi. Aku pikir dia datang untuk meminta maaf, tapi ternyata tidak. Dia hanya ingin kembali tinggal bersama kami. Papa tidak setuju, dia bilang Ibu Ella sudah meninggalkan kami terlalu lama."
Emma terisak kecil, tapi ia tetap melanjutkan ceritanya. "Aku ingat bagaimana Papa melindungiku waktu itu. Ibu Ella mencoba membawaku pergi, tapi dia melakukannya dengan kasar. Aku ketakutan. Papa sampai harus menahannya agar dia tidak menyentuhku."
Hawa merasa hatinya remuk mendengar cerita itu. Ia menarik Emma ke dalam pelukannya, membiarkan gadis kecil itu menangis di dadanya.
"Itulah kenapa aku tidak ingin melihatnya lagi," lanjut Emma sambil terisak. "Dia tidak peduli padaku. Dia hanya peduli pada dirinya sendiri."
Hawa mengusap punggung Emma dengan lembut. "Emma, dengarkan Kak Hawa. Kau tidak perlu takut lagi. Kak Hawa akan selalu ada untuk melindungimu. Tidak ada yang akan menyakitimu lagi."
Emma mengangguk pelan, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Hawa.
Setelah Emma tertidur, Hawa tetap duduk di sisi ranjang, memandang wajah polos gadis kecil itu. Perasaan lembut dan hangat mengalir di hatinya. Tidak pernah terbayang sebelumnya bahwa ia akan merasa sangat dekat dengan seorang anak kecil, seperti ia dan Emma telah mengenal satu sama lain seumur hidup.
Pintu kamar terbuka perlahan, dan Harrison muncul dengan langkah tenang. Ia berhenti sejenak di ambang pintu, melihat Hawa yang masih duduk di sana.
"Dia sudah tidur?" bisik Harrison, suaranya rendah namun penuh perhatian.
Hawa menoleh dan mengangguk. "Dia lelah sekali setelah bermain seharian. Tapi dia tidur dengan senyuman."
Harrison melangkah masuk, berdiri di sisi lain ranjang sambil menatap putrinya yang terlelap. "Emma… sudah lama tidak terlihat sebahagia ini."
Hawa menatap Harrison dengan lembut. "Dia gadis kecil yang luar biasa. Meski banyak hal yang telah dia lalui, dia tetap penuh cinta dan harapan."
Harrison menarik napas panjang dan menatap Hawa. "Itu karena kau. Kehadiranmu membuatnya merasa dicintai dan dilindungi. Aku tidak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu."
Hawa tersenyum kecil, merasa sedikit canggung dengan pujian itu. "Aku hanya melakukan yang aku bisa, Tuan."
Harrison menggeleng pelan, langkahnya mendekati Hawa. "Berhenti memanggilku Tuan. Aku ingin kita berbicara lebih santai, seperti teman. Panggil aku Harrison."
Hawa tersentak kecil, lalu tersenyum kaku. "Baik… Harrison."
Ada jeda canggung di antara mereka, tapi juga terasa hangat. Harrison menatap Hawa dengan sorot mata yang sulit diartikan.
"Kau tahu, Hawa," katanya perlahan, "malam ini aku memikirkan banyak hal. Emma adalah segalanya bagiku. Tapi aku sadar, selama ini aku terlalu fokus pada pekerjaanku dan melupakan apa yang benar-benar penting."
Hawa menunduk, merasa bahwa percakapan ini menuju arah yang lebih personal. "Apa yang kau maksud?"
Harrison mengambil kursi di dekat Hawa dan duduk, menyamakan tinggi pandangan mereka. "Aku lupa bagaimana rasanya memiliki seseorang yang bisa kuandalkan, seseorang yang bisa membuatku merasa… tidak sendiri."
Hawa merasakan debaran di dadanya, tapi ia tetap berusaha tenang. "Harrison, kau memiliki Emma. Dia mencintaimu lebih dari apa pun di dunia ini."
"Aku tahu," jawab Harrison dengan suara lembut. "Tapi aku juga tahu bahwa Emma membutuhkan lebih dari sekadar aku. Dia membutuhkan seorang figur yang bisa dia jadikan panutan, seseorang yang bisa memberinya kasih sayang seorang ibu."
Hawa terdiam, tidak tahu harus merespons apa. Matanya menatap Harrison dengan campuran rasa bingung dan terharu.
"Aku tidak mengatakan ini untuk membuatmu merasa tertekan," lanjut Harrison. "Aku hanya ingin kau tahu betapa berharganya kau bagi Emma. Dan juga... bagiku."
Hawa merasakan pipinya memanas. Ia berusaha mengalihkan pandangan, tapi tatapan intens Harrison membuatnya sulit untuk melakukannya.
"Harrison…" Hawa akhirnya membuka suara, tapi suaranya hampir seperti bisikan. "Aku hanya ingin melakukan yang terbaik untuk Emma. Aku tidak pernah membayangkan bisa menjadi bagian yang penting dalam hidupmu atau hidupnya."
"Tapi kau sudah menjadi bagian itu, Hawa," balas Harrison dengan tegas tapi lembut. "Kau membuat kami merasa utuh."
Suasana menjadi hening, hanya suara napas mereka yang terdengar. Hawa merasa jantungnya berdegup kencang, sementara Harrison tampak seperti sedang memerangi perasaan yang mulai tumbuh dalam dirinya.
Setelah beberapa saat, Harrison berdiri dan melangkah ke arah balkon. "Udara malam ini cukup sejuk. Kau ingin ikut?" tanyanya, mencoba mengalihkan suasana.
Hawa mengangguk, berdiri pelan agar tidak membangunkan Emma, lalu mengikuti Harrison ke balkon.
Di luar, lampu-lampu kota Dubai yang gemerlap memanjakan mata mereka. Hawa bersandar pada pagar balkon, menikmati angin malam yang sejuk.
"Dubai memang indah," ujar Hawa pelan, mencoba memecah keheningan.
"Ya," jawab Harrison. "Tapi tidak seindah momen seperti ini."
Hawa menoleh cepat, mendapati Harrison menatapnya dengan tatapan yang lembut namun dalam.
"Kau suka membuatku salah tingkah, ya?" ujar Hawa setengah bercanda, mencoba meredakan rasa gugupnya.
Harrison tertawa pelan. "Bukan salahku jika kau terlihat sangat... memesona malam ini."
Hawa mengerjap kaget, wajahnya memerah. Ia menunduk, tidak tahu harus berkata apa.
Harrison mendekat sedikit, jaraknya hanya beberapa langkah darinya. "Aku tidak ingin membuatmu tidak nyaman, Hawa. Tapi aku ingin kau tahu, aku sangat menghargai semua yang telah kau lakukan untuk Emma. Dan untukku."
Hawa mengangkat wajahnya, mata mereka bertemu. Kali ini, mereka terdiam cukup lama, membiarkan emosi dan perasaan masing-masing berbicara tanpa kata-kata.
"Harrison…" Hawa akhirnya berbisik.
"Ya?" jawab Harrison dengan suara rendah.
"Tidak ada yang pernah membuatku merasa seperti ini sebelumnya," kata Hawa jujur, meski suaranya bergetar.
Harrison tersenyum tipis, lalu mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Hawa dengan lembut. "Dan aku juga merasakan hal yang sama."
Dalam keheningan malam, mereka berdiri di sana, membiarkan perasaan mereka saling mendekat, tanpa satu pun kata yang perlu dijelaskan.
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa ya like dan komentarnya.
Terima kasih.