Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Our First Met (2)
Langit Seoul yang berwarna jingga mulai meredup, menggantikan terang matahari dengan nuansa sore yang tenang. Di area penjemputan bandara Incheon, orang-orang terlihat bergegas menyambut kedatangan kerabat, sahabat maupun kekasih dengan pelukan hangat atau lambaian tangan antusias. Di tengah keramaian itu, mata Riin tertuju pada seorang wanita dengan rambut lurus sebahu yang sedang melambaikan tangan ke arahnya. Wanita itu memegang selembar karton besar bertuliskan 'Selamat datang, Riin!' dengan huruf warna-warni yang ceria.
"Ah Ri." gumam Riin, senyum kecil mulai muncul di wajahnya yang sempat muram. Ia mempercepat langkah kakinya menuju wanita itu.
Ah Ri menyambutnya dengan wajah penuh semangat. Dengan tubuh yang sedikit lebih tinggi dari Riin dan aura percaya diri yang khas, Ah Ri memancarkan kehangatan yang menenangkan. "Riin!" serunya antusias. Ia bahkan hendak memeluk Riin, namun langkahnya terhenti ketika menyadari pakaian Riin yang basah dan ekspresinya yang sedikit suram.
"Astaga! Apa yang terjadi padamu?" tanya Ah Ri dengan ada khawatir, matanya memeriksa Riin dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Riin mendesah pelan, merasa lega melihat wajah familiar di negeri yang masih terasa asing ini. "Aku tidak sengaja menabrak seseorang di dalam," jelasnya sambil memandang noda kopi yang mulai mengering di pakaiannya. "Ice coffee-ku tumpah mengenai aku dan... pria itu."
"Pria itu?" Ah Ri mengangkat alis, penasaran. "Lalu apa dia marah? Apa dia menuntut ganti rugi?"
Riin menggeleng. "Dia memang marah, sangat marah. Tapi dia menolak ganti rugi yang ku tawarkan. Hanya saja... dia benar-benar menyebalkan!" suaranya melemah di akhir kalimat, mengingat kembali tatapan tajam dan kata-kata tajam pria yang ia tabrak. Meskipun ia sudah mencoba melupakannya, namun rasa malu dan sedikit kesal masih membekas di dadanya.
Ah Ri menghela nafas panjang, selalu merangkul bahu Riin dengan lembut. "Syukurlah kalau dia tidak memperpanjang masalahnya. Tapi, astaga, kau baru saja tiba di Korea tapi sudah mendapat insiden seperti ini. Kau memang selalu punya bakat untuk menarik perhatian dalam cara yang tidak biasa," ucapnya dengan nada bercanda, mencoba meringankan suasana.
Riin tersenyum tipis, meskipun matanya masih menyiratkan rasa lelah. "Bakat yang tidak ingin Ku pertahankan," katanya setengah bergurau, mencoba merespon dengan nada lebih ringan.
"Sudahlah," ujar Ah Ri sambil mendorong troli Riin dengan satu tangan dan merangkul bahunya dengan tangan lain. "Sekarang kita pulang. Istirahatkan tubuh dan pikiranmu. Lupakan saja pria menyebalkan itu. Besok adalah hari yang baru, dan kau punya banyak hal seru yang menunggumu di sini."
Riin mengangguk pelan. Kata-kata Ah Ri sedikit mengangkat beban di hatinya. Meski kejadian di bandara sulit dilupakan, ia tahu bahwa ini hanyalah awal dari perjalanannya di negeri asing ini. Ia harus fokus pada tujuan utamanya, karir barunya dan tantangan-tantangan menarik yang akan dihadapi.
***
Riin dan Ah Ri akhirnya tiba di apartemen mereka, sebuah bangunan modern dengan jendela kaca besar yang memantulkan lampu-lampu jalanan. Apartemen itu berada di kawasan Mapo-gu, daerah yang ramai namun tetap nyaman. Dikelilingi oleh cafe-cafe kecil dan toko-toko serba ada yang buka hingga larut malam. Tempat itu terasa hidup namun tidak berlebihan, cocok untuk mereka yang bekerja di kota sibuk ini.
Ah Ri membimbing Riin menuju lift dengan membawa salah satu koper besarnya. "Aku yakin kau akan suka tempat ini," kata Ah Ri dengan nada optimis saat mereka naik ke lantai 5. "Memang tidak besar, tapi cukup nyaman untuk kita berdua. Dan yang paling penting lokasinya strategis."
Setelah pintu lift terbuka, mereka berjalan menyusuri koridor yang terang dan bersih. Di ujung koridor, Ah Ri membuka pintu apartemen mereka menggunakan kode digital. "Selamat datang di rumah baru kita," katanya dengan nada ceria.
Riin melangkah masuk, mengamati apartemen yang terlihat modern namun tetap sederhana.Ruang tamunya tidak terlalu besar hanya berisi sofa, meja kopi mungil dan televisi yang diletakkan di atas rak minimalis. Dinding putih polos memberikan kesan bersih, sementara beberapa tanaman hias di sudut ruangan menambah kesan hangat. Dapur kecil dengan peralatan modern terletak di sebelah kanan, lengkap dengan meja makan kecil untuk 2 orang.
"Ini kamarmu," ujar Ah Ri sambil membuka pintu di sisi kiri apartemen.
Riin melangkah masuk ke dalam kamar barunya. Ukurannya tidak besar, tetapi cukup untuk sebuah tempat tidur single, lemari pakaian kecil dan meja kerja di dekat jendela. Tirai putih yang menggantung di jendela memberikan sentuhan lembut pada ruangan itu. Dari jendela, bisa melihat pemandangan sebagian kota yang gemerlap dengan lampu-lampu neon.
"Ukuran kamar kita kurang lebih sama," jelas Ah Ri sambil menaruh koper Riin di samping lemari. "Hanya saja, satu hal yang sedikit merepotkan adalah kita harus bergantian menggunakan kamar mandi karena di sini hanya ada satu kamar mandi."
Ah Ri menunjuk ke arah pintu kamar mandi yang terletak di antara kamar mereka. "Tapi itu tidak masalah, kan?"
"Tidak sama sekali," jawab Riin sambil tersenyum.
***
Malam itu, di apartemen mewahnya yang berada di kawasan Gangnam, Jae Hyun memasuki kamar mandinya dengan langkah berat. Desain kamar mandinya modern dengan dominasi marmer putih yang bersih, diterangi lampu-lampu redup yang memberikan kesan elegan. Sebuah bathub besar berbentuk oval berada di tengah ruangan, dikelilingi aroma lavender dari diffuser otomatis. Namun, suasana tenang itu tak cukup untuk meredakan kekesalan yang membara di dalam dirinya.
Jae Hyun melemparkan jas kotornya ke keranjang pakaian, gerakannya kasar seperti menumpahkan rasa frustasi. "Soal, gadis ceroboh itu," gumamnya sambil melepaskan t-shirt putihnya yang juga kotor terkena tumpahan kopi. Bayangan insiden di bandara terus berputar di kepalanya. Cara gadis itu terhuyung, kopi yang meluncur tanpa ampun ke arah jas mahalnya, serta argumen panas yang terjadi setelahnya. Semuanya terasa seperti adegan film komedi absurd yang tidak ingin ia tonton lagi.
Setelah menanggalkan seluruh pakaiannya, ia melangkah masuk ke dalam bathtub yang sudah dipenuhi air hangat. Jae Hyun membenamkan tubuhnya perlahan, membiarkan kehangatan air meresap ke dalam otot-ototnya yang tegang. Ia mencoba memejamkan mata, berharap ritual rutinnya ini bisa membantunya melupakan semua hal yang mengganggu pikirannya.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Saat Jae Hyun berusaha memejamkan matanya, wajah gadis itu muncul lagi. Rambut ikalnya yang sedikit berantakan, ekspresi panik saat meminta maaf, dan_yang paling membuatnya kesal_tatapan matanya yang berani ketika mulai membalas omelannya. Gadis itu jelas ceroboh, namun ada sesuatu dalam sikapnya yang membuat Jae Hyun tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
"Ck," dengusnya sambil membuka matanya lagi. Ia menatap langit-langit kamar mandi dengan pandangan tajam. "Kenapa wajah gadis itu terus muncul? Dia yang bersalah, tapi kenapa justru aku yang tidak bisa berhenti memikirkannya?" gumamnya dengan suara rendah. Rasa frustasinya semakin meningkat. Ia bukan tipe orang yang mudah terusik oleh hal kecil, apalagi sesuatu yang tidak penting seperti insiden tumpahan kopi.
Tapi entah bagaimana, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Gadis itu tidak hanya meninggalkan noda kopi di jas mahalnya, tetapi juga semacam jejak di pikirannya_seperti teka-teki yang belum selesai ia pecahkan.
"Cho Jae Hyun, Kau pasti sudah terlalu lelah," katanya pada diri sendiri, mencoba mengabaikan pikirannya. "Lupakan saja. Tidak ada gunanya memikirkan seseorang yang bahkan tidak akan kau temui lagi."
Namun, meski ia mencoba mengalihkan pikirannya, bayangan garis itu tetap mengintai di sudut pikirannya. Matanya yang besar dan jernih, cara ia menatapnya dengan campuran keberanian dan ketidak sabaran. Sesuatu dalam dirinya menyadari bahwa ini bukan hanya tentang insiden kopi, tetapi ada hal lain yang belum ia pahami sepenuhnya.
Setelah beberapa saat, Jae Hyun akhirnya bangkit dari bathtub, membiarkan air menetes dari tubuhnya ke lantai marmer. Ia mengambil handuk putih bersih dari rak dan mulai mengeringkan tubuhnya. Di dalam hati, dia bertekad untuk melupakan kejadian itu, "Besok adalah hari baru. Tidak ada alasan untuk terus memikirkan sesuatu yang tidak penting," gumamnya sambil melangkah keluar dari kamar mandi.
Namun, bahkan saat ia berbaring di tempat tidurnya yang luas dengan sprei linen yang halus, pikirannya tetap tersesat. Gadis ceroboh itu, entah bagaimana, telah meninggalkan kesan yang sulit dihapus.dengan desahan panjang, Jae Hyun memejamkan matanya, berharap tidur akan terjadi pelarian yang ia butuhkan. Tapi, malam itu, tidur nyenyak tampaknya bukan hal yang mudah baginya.
***