Seorang wanita muda, Luna, menikah kontrak dengan teman masa kecilnya, Kaid, untuk memenuhi permintaan orang tua. Namun, pernikahan kontrak itu berubah menjadi cinta sejati ketika Kaid mulai menunjukkan perasaan yang tidak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mrs. y, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Masa Lalu
Pagi itu, Luna terbangun dengan perasaan gelisah. Mimpi tentang masa lalunya kembali menghantui tidurnya, membawa ingatan-ingatan yang selama ini ia coba lupakan.
Setelah mandi dan berpakaian, Luna turun ke dapur. Kaid sudah duduk di meja makan, menikmati secangkir kopi sambil membaca koran. Pemandangan yang mulai biasa ia lihat setiap pagi.
“Selamat pagi,” sapa Luna sambil mengambil roti panggang.
“Selamat pagi,” balas Kaid tanpa mengalihkan pandangannya dari koran.
Mereka menikmati sarapan dalam keheningan, seperti biasanya. Namun, pikiran Luna melayang ke masa lalunya—ke seseorang yang pernah menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Setelah selesai bekerja, Luna memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak sebelum pulang. Ia berharap udara segar bisa mengusir kegelisahan yang sejak pagi menghantuinya.
Tanpa sadar, langkahnya membawanya ke sebuah kafe kecil yang dulu sering ia kunjungi bersama seseorang. Kenangan itu membuat hatinya berdebar.
Saat memasuki kafe, aroma kopi yang khas menyambutnya. Ia memilih duduk di sudut ruangan, tempat favoritnya dulu. Pelayan datang dan Luna memesan cappuccino, seperti biasa.
Sambil menunggu, matanya tertuju pada pasangan muda yang duduk di meja sebelah. Mereka tertawa bersama, terlihat begitu bahagia. Pemandangan itu membuat Luna tersenyum pahit, mengingatkannya pada dirinya yang dulu.
Malam harinya, Luna pulang dengan perasaan campur aduk. Saat memasuki rumah, ia melihat Kaid duduk di ruang tamu, menonton televisi.
“Kamu pulang terlambat,” komentar Kaid tanpa menoleh.
“Aku butuh waktu untuk sendiri,” jawab Luna sambil melepas sepatu.
Kaid menatapnya sejenak, lalu kembali fokus pada televisi. “Baiklah.”
Luna merasa ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Meskipun Kaid berusaha lebih terbuka, ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk benar-benar dekat.
Beberapa hari kemudian, saat sedang membereskan lemari, Luna menemukan sebuah kotak kecil berisi foto-foto lama. Di antara foto-foto itu, ada satu yang menarik perhatiannya—foto dirinya bersama seorang pria dengan senyum lebar.
Air mata menggenang di pelupuk matanya. Pria dalam foto itu adalah cinta pertamanya, seseorang yang pernah mengisi hari-harinya dengan kebahagiaan. Namun, takdir memisahkan mereka, meninggalkan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Tanpa sadar, Luna meremas foto itu, mencoba menahan emosi yang membuncah. Ia tahu, pernikahannya dengan Kaid hanyalah kontrak. Namun, bayangan masa lalunya membuat segalanya terasa lebih rumit.
Malam itu, Luna duduk di balkon, menatap bintang-bintang yang berkelip di langit. Angin malam yang sejuk membelai wajahnya, membawa ketenangan yang ia butuhkan.
Kaid datang dan duduk di sampingnya. “Kamu terlihat sedih akhir-akhir ini,” katanya pelan.
Luna menoleh, menatap mata Kaid yang penuh perhatian. “Hanya lelah,” jawabnya singkat.
Kaid menghela napas. “Jika ada sesuatu yang ingin kamu bicarakan, aku di sini untuk mendengarkan.”
Luna terdiam, merasakan kehangatan dari kata-kata Kaid. Namun, ia belum siap membuka luka lamanya.
“Terima kasih,” katanya akhirnya. “Tapi aku baik-baik saja.”
Kaid mengangguk, meskipun raut wajahnya menunjukkan keraguan. Mereka duduk dalam keheningan, menikmati malam yang tenang, meskipun hati Luna masih diliputi bayangan masa lalu.
Hari-hari berlalu, dan Luna berusaha mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan. Namun, setiap sudut kota mengingatkannya pada kenangan bersama cinta pertamanya.
Suatu hari, saat berjalan pulang dari kantor, Luna melihat seorang pria yang tampak familiar di seberang jalan. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari bahwa itu adalah pria dari masa lalunya.
Mereka saling bertatapan sejenak, sebelum pria itu tersenyum dan melangkah mendekat.
“Luna?” sapanya dengan suara yang tak asing lagi.
Luna terdiam, mencoba menenangkan diri. “Hai,” jawabnya akhirnya.
Pertemuan tak terduga ini membuka kembali luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Luna tahu, ia harus menghadapi masa lalunya jika ingin melanjutkan hidupnya dengan damai.
Malam itu, Luna merenung di kamarnya. Pertemuan dengan cinta pertamanya membuatnya sadar bahwa ia belum sepenuhnya melepaskan masa lalunya.
Ia tahu, untuk melangkah maju, ia harus berdamai dengan dirinya sendiri dan menerima kenyataan bahwa hidup terus berjalan.
Dengan tekad baru, Luna memutuskan untuk membuka lembaran baru dalam hidupnya, tanpa bayang-bayang masa lalu yang menghantuinya.