Satu demi satu kematian terjadi di sekolah.
Jika di waktu biasa, orang tua mereka akan langsung menuntut balas. Tapi bahkan sebelum mereka cukup berduka, perusahaan mereka telah hancur. Seluruh keluarga dipenjara.
Mantan anak yang di bully mengatakan, "Jelas ini adalah karma yang Tuhan berikan, atas perbuatan jahat yang mereka lakukan."
Siswa lainnya yang juga pelaku pembully ketakutan, khawatir mereka menjadi yang selanjutnya. Untuk pertama kalinya selama seratus tahun, sekolah elit Nusantara, terjadi keributan.
Ketua Dewan Kedisiplinan sekaligus putra pemilik yayasan, Evan Theon Rodiargo, diam-diam menyelidiki masalah ini.
Semua kebetulan mengarahkan pada siswi baru di sekolah mereka. Tapi, sebelum Evan menemukan bukti. Seseorang lebih dulu mengambil tindakan.
PERINGATAN MENGANDUNG ADEGAN KEKERASAN!!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cerryblosoom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2 MEMASUKI KOTA
Langit tiba-tiba menjadi gelap, menelan sepenuhnya cahaya matahari di sebagian bumi, bulir-bulir air hujan mulai jatuh disetiap titik. Semua penduduk desa langsung bergerak panik menyelamatkan pakaian dan gerabah yang mereka jemur, anak-anak ditarik masuk ke rumah, dan pintu-pintu ditutup rapat. Saat seperti ini, tidak ada satupun manusia yang akan keluar. Hujan sederas ini kerap kali mendatangkan banjir yang mengancam nyawa.
Aria jatuh tertunduk tidak berniat mengelak dari air hujan. Dia membiarkan tubuhnya basah kuyup. Rumah mereka tidak besar, total ada tiga kamar, ruang tamu, dapur, dan satu kamar mandi. Sederhana namun cukup hangat untuk sebuah keluarga biasa.
Dulu, cukup hangat, kehangatan yang membuatnya bertahan sampai detik ini, tapi sekarang, yang tersisa hanya....
Ratapan tangis larut teredam dalam derai hujan yang turun. Tak ada yang mendengar, tidak ada yang melihat, hanya alam yang menyaksikan. Hancurnya hati seorang anak yang kehilangan keluarganya. Delapan tahun lamanya, Dia hanya berharap untuk kembali bersatu dengan keluarganya. Tapi takdir seolah membenci dirinya. Apakah dia terlalu tidak pantas untuk mendapatkan kebahagiaan.
Kejadiannya satu tahun lalu, saat itu.... Jika Seandainya saja dia kembali lebih awal, mungkinkah semua tragedi ini tidak akan pernah terjadi. Kenyataannya tidak ada kata seandainya.
Waktu berlalu sangat cepat. Sebelum meninggalkan desa, Aria telah mencoba mencari informasi mengenai keluarganya. Sayangnya tidak banyak yang mengetahui. Tragedi hari itu tiba-tiba saja terjadi, tanpa pertanda yang berarti.
Hal itulah yang membuat keraguan di hati Aria menjadi semakin besar. Jelas tidak ada kebetulan seaneh ini. Satu persatu anggota keluarga menemui kematian, kurang dari waktu setahun. Jika seseorang memang mengutuk keluarganya. Maka sebagai anak yang masih hidup, adalah tugasnya mengembalikan kutukan itu.
...----------------...
Satu bulan kemudian, Aria sudah memasuki Ibukota negara. Setelah mengurus beberapa dokumen yang diperlukan di pemerintahan. Gilirannya mencari tempat sementara untuk tinggal.
Aria berjalan keluar dari gerbang Kantor Hubungan Masyarakat. Dia berjalan perlahan menuju warung makan diujung jalan.
Tempat makan adalah yang paling tepat untuk mencari informasi. Karena pemilik pasti telah mengobrol dengan berbagai pelanggan. Kemungkinan untuk menemukan tempat tinggal akan semakin cepat.
Cuaca sangat bagus, langit cerah tanpa awan, hanya ada polusi yang sedikit mengganggu, jika tidak, akan menyenangkan untuk berjalan-jalan santai.
Di dalam warung tidak begitu ramai. Hanya seorang pria yang duduk di sudut kiri, dan tiga keluarga di bagian tengah. Aria langsung duduk di sisi kanan yang kosong.
"Mau makan apa, dik?" tanya Mbok Darti ramah.
"Biasa, Bu," Jawab Aria.
Bu Darti mengerti dan langsung menyiapkan pesanan. Makanan yang dijualnya memang sudah matang semua. Dia hanya perlu mengambil dan meletakkannya di piring. Lauk di etalase sangat bervariasi, dari ikan, ayam, bebek, tahu, tempe, semua masih komplit. Tapi Aria memesan menu biasa, itu berupa nasi, sayur, telur, dan kerupuk. Cukup bernutrisi dan mengenyangkan.
"Ini, dik," Bu Darti menyerahkan piring yang telah terisi makanan.
Aria menerimanya, "Terima kasih."
"Haduh sama-sama, sopan sekali adik ini, jarang-jarang anak muda jaman sekarang begini."
Aria hanya tersenyum tipis, memilih mengisi perutnya dulu, baru melaksanakan tujuannya.
Bertemu dengan anak muda yang menyenangkan, Bu Darti dengan senang hati meluangkan waktu untuk mengobrol lebih banyak.
"Adik baru ya disini? Saya gak pernah lihat soalnya."
Aria menelan dulu makanan dalam mulutnya, sebelum akhirnya menjawab.
"Iya, Bu. Baru saja selesai melapor."
"Ohh, pantas saya lihat keluar dari arah Kantor di depan. Tempat tinggalnya dimana? Apa disekitar sini? Hehehe, maaf ya Ibu banyak bertanya."
"Gak apa-apa, Bu. Tempat tinggal, belum ada, masih mencari-cari."
"Yang bener, kebetulan sekali kalau gitu.... Begini, menantu saudara Ibu itu punya kontrakan, baru saja tadi pagi, penyewa sebelumnya habis sewa. Nah, Ibu dimintai tolong untuk mencarikan penyewa baru. Soalnya kan bikin iklan itu gak gampang, ribet, dan bahaya. Syukur-syukur ketemu orang baik kan, kalau ketemu penjahat, haduhh, jangan sampe."
"Karena Ibu buka warung, ketemu banyak pelanggan tuh, jadi sedikit bisalah menilai karakternya. Pas sekali kamu belum punya tempat tinggal. Dan Ibu lihat, adik anak baik, sopan juga, cocok sekali. Gimana kalau adik saja yang jadi penyewa baru. Ibu jamin deh, kosan nya nyaman, harganya juga terjangkau, letaknya strategis juga. Adik tahu Sekolah NUSANTARA HIGH SCHOOL, kosan nya itu di dekat situ, loh. Gimana dik, mau yahh, saya kenalin langsung nanti," kata Bu Darti mulai melebihi lebih kan.
Aria hanya mendengarkan dalam diam. Keberuntungannya cukup baik, untuk langsung menemui kosan di dekat sekolah tujuannya. Tapi harga yang terjangkau, memang agak mencurigakan. Jadi Dia tidak langsung menyetujuinya.
"Apa harganya benar terjangkau, Bu? Di tempat yang se strategis itu. Pilihan yang nyaman untuk siswa disana kan," kata Aria dengan nada curiga.
Bu Darti langsung mengangguk semangat, "Ya-ya sangat terjangkau sekali. Adik mungkin merasa aneh kenapa kosan nya murah. Ibu tidak akan menipu. Letaknya memang dekat dengan sekolah. Tapi sebenarnya itu terletak di bagian belakang. Jauh dari jalan utama. Harus melewati gang untuk ke jalan utama. Dan gang nya sangat kecil, hanya bisa digunakan pejalan kaki. Kebanyakan siswa tentu tidak akan mau. Apalagi ada juga asrama di sekolah. Jadi penyewa sebelumnya hanya beberapa pekerja. Tak pernah Ibu lihat ada siswa sekolah."
Aria akhirnya paham, pantas jika harganya terjangkau. Dia percaya pemilik warung, meski mereka baru bertemu, sebagai orang yang setiap hari menjual makanan. Menipu gadis remaja seperti dirinya. Hanya akan merugikan diri sendiri.
"Kalau begitu saya akan melihat tempatnya dulu, baru memutuskan."
"Bagus-bagus, aku akan menghubungi menantu saudaraku dulu, agar dia datang kesini."
"Tidak perlu, Bu," tolak Aria halus. "Biar saya langsung kesana. Ibu katakan saja kemana saya harus pergi."
"Ahh, baiklah. Jadi dari sini...."
...----------------...
20 menit kemudian, Aria telah sampai di kosan yang dimaksud Bu Darti.
Sebelum Aria sempat melangkah maju, sebuah teriakan terdengar dari belakangnya.
"Anak nakal! bukannya sekolah, malah kelayapan, dari mana kamu, Hahh. Muka lebam-lebam, baju sobek, udah mulai berani ikut-ikut tawuran, kamu ya."
Aria berbalik melihat seorang wanita dewasa menjewer remaja SMP dan berjalan ke arahnya.
Ketika dua pasangan Ibu dan anak itu menyadari kehadiran seorang gadis di depan rumahnya. Keduanya berhenti dengan raut muka malu.
Sang Ibu bergerak maju lebih dulu, "Cari siapa ya, dik?"
"Pemilik kosan ini. Saya diperkenalkan Bu Darti, penjual makanan di depan Kantor Hubungan Masyarakat," jawab Aria.
Saras berkedip bingung, sedetik kemudian Dia menepuk tangan, teringat permintaannya pada sang Budhe, "Ohh, penyewa kos baru, ya! Saya ini pemiliknya, ayo-ayo masuk ke rumah dulu, kita bicarakan di dalam."
Aria berjalan mengikuti tanpa tergesa-gesa.
Rumah pemilik kos berada tepat di samping bangunan kos berlantai dua, tempat Aria tadi berdiri.
"Silahkan duduk, anggap saja rumah sendiri, saya ambilkan minuman dulu."
Aria duduk dengan patuh, matanya sedikit menelusuri ruang tamu, ruangannya tidak begitu luas, ada penyekat di bagian tengah, dari celahnya Dia bisa melihat tv di letakkan.
"Nah, silahkan. Maaf ya cuma seadanya," ucap Sarah setelah kembali dengan minuman di tangannya.
"Terima kasih, sudah repot-repot."
"Gak repot kok. Silahkan, silahkan diminum dulu."
Aria menyesap sebagai bentuk kesopanan.
"Baru saja tadi pagi saya minta bantuan Budhe Darti untuk mencarikan penyewa baru. Saya gak menyangka akan secepat ini, Budhe akan mendapatnya."
Aria tersenyum tipis, "Kebetulan saya bertemu orang yang tepat."
"Ya benar sekali. Kalau begitu bagaimana kalau langsung saja. Saya yakin kalau sudah Budhe Darti yang mengenalkan. Jadi gak perlu basa basi lagi."
"Mungkin Budhe Darti sudah sedikit cerita. Salah satu kamar kosan ada yang kosong. Baru tadi pagi pemilik sebelumnya pergi. Tapi saya jamin tempat nya sudah bersih dan rapi. Saya sendiri yang membereskan nya. Apa adik mau melihatnya dulu sebagai pertimbangan."
"Tidak perlu, saya juga percaya pada Bu Darti dan keluarganya."
Sarah tersenyum puas, satu poin lebih untuk menyukai penyewa barunya.
"Kalau begitu langsung saja, saya jelaskan syaratnya...."