Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
Setelah beberapa saat merasakan ketenangan, Nisa akhirnya kembali terlelap. Namun, sekitar dua jam kemudian, suara kondektur menggema di sepanjang bus, mengumumkan bahwa mereka sudah tiba di kota tujuan. Nisa terbangun dengan mata masih setengah mengantuk, mencoba memahami sekelilingnya yang mendadak riuh oleh para penumpang yang bergegas bersiap turun.
Ia menoleh ke samping, menyadari bahwa kursi ibu mertuanya kini kosong. Kebingungan, ia mengedarkan pandangan ke arah barisan kursi di depannya. Tampaknya, ibu mertuanya telah lebih dulu berdiri dan bersiap di dekat pintu bersama beberapa anggota keluarga lainnya.
Di sampingnya, Akil telah berdiri dengan ransel di punggung, tersenyum sambil mengulurkan tangan. "Ayo, Nisa, sudah sampai," katanya, lembut namun bersemangat.
Nisa menggenggam tangan suaminya dan perlahan berdiri, mengumpulkan kesadaran yang masih sedikit kabur karena baru terbangun. Ia merasakan desakan para penumpang lain di sekitarnya yang juga bersiap turun, namun genggaman Akil membuatnya merasa lebih tenang. Sambil berjalan menuju pintu keluar, ia menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa mereka akhirnya tiba di kota baru yang akan menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.
Ketika langkah pertama Nisa menginjak tanah kota itu, ia merasakan degup jantungnya yang berdebar pelan.
Mata Nisa menangkap sosok-sosok yang menunggu di ujung gerbang halte. Di sana, ibu mertua dan adik perempuan Akil berdiri dengan senyum hangat, melambai ke arah mereka. Tak jauh dari mereka, sebuah mobil hitam tampak terparkir, sepertinya disiapkan untuk menjemput mereka ke rumah.
Di dalam mobil, seorang pemuda terlihat sibuk mengatur barang-barang bawaan yang tadi dibawa oleh ibu mertua dan beberapa kerabat lain. Begitu melihat Akil dan Nisa mendekat, pemuda itu berhenti sejenak, menatap Akil dengan senyum lebar, lalu melangkah keluar untuk menyambut mereka.
“Hei, Akil!” katanya sambil menepuk pundak Akil dengan akrab. Wajahnya menunjukkan kehangatan yang tulus, dan ada sedikit guratan takjub di matanya saat melihat Nisa di samping Akil. “Akhirnya, pulang juga. Dan sekarang, kamu sudah membawa istri, ya,” ucapnya sambil tersenyum, seakan masih tak percaya.
Akil tertawa kecil dan mengangguk. “Iya, Tir. Sekarang aku nggak sendiri lagi,” jawabnya sambil melirik ke arah Nisa yang tersipu, merasa sedikit canggung.
___
Setelah semua barang tersimpan rapi, Nisa dan Akil bersama ibu mertuanya serta beberapa kerabat naik ke dalam mobil hitam yang sudah menunggu mereka. Nisa duduk di samping Akil, sementara ibu mertuanya duduk di depan bersama adik Akil.
Mobil melaju perlahan, meninggalkan halte bus dan mulai memasuki jalan menuju rumah keluarga Akil. Di dalam mobil, Nisa berusaha mengalihkan perhatiannya dari rasa mual yang perlahan kembali muncul, mungkin karena perutnya yang lelah setelah perjalanan panjang. Ia menarik napas dalam-dalam dan memandang ke arah suaminya.
“Mas, kira-kira berapa lama lagi sampai rumah?” tanyanya, suaranya terdengar sedikit lemah.
Akil memegang tangan Nisa dengan lembut, memperhatikan wajahnya yang terlihat agak pucat. “Kurang dari 20 menit lagi, Sayang. Sebentar lagi sampai,” jawabnya dengan suara tenang, mencoba menenangkannya.
Nisa mengangguk, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Hanya sebentar lagi, pikirnya dalam hati. Ia menutup mata sejenak, berharap mual di perutnya segera mereda. Perjalanan ini mungkin terasa panjang dan melelahkan, tapi kehangatan Akil di sisinya membuatnya merasa kuat untuk bertahan.
Di tengah perjalanannya yang baru ini, Nisa menggenggam tangan Akil dengan lebih erat, mempersiapkan diri untuk menghadapi rumah baru yang menantinya di ujung jalan.
___
Akhirnya, mobil hitam itu berhenti di depan rumah keluarga Akil. Nisa menatap rumah di hadapannya—bangunan sederhana namun cukup luas dan tampak terawat. Halaman depan yang bersih, dengan beberapa tanaman hijau di pinggir jalan setapak menuju pintu masuk, membuat suasana rumah terasa hangat dan ramah.
Nisa memperhatikan sekeliling, mencoba mengenal setiap sudut tempat yang akan menjadi rumah barunya ini. Hatinya bercampur antara gugup dan rasa penasaran. Namun, sebelum ia sempat melihat lebih banyak, ibu mertuanya melangkah mendekat dengan senyum hangat.
"Ayo, Nisa, Akil. Masuk dulu, ya. Kalian pasti lelah, dan hari sudah mulai gelap. Sepertinya sebentar lagi hujan juga," ucap ibu mertua, suaranya lembut tapi penuh perhatian.
Akil meraih tangan Nisa, membimbingnya menuju pintu masuk. Mereka berdua berjalan melewati ambang pintu, disambut oleh aroma khas rumah dan suara samar angin yang mulai berhembus di luar. Nisa merasa lega bisa segera beristirahat setelah perjalanan panjang yang melelahkan.
Ibu mertua mengantar mereka ke ruang tamu, lalu memberi isyarat agar mereka beristirahat. "Istirahat saja dulu, ya. Besok kita bisa bicarakan lebih banyak," katanya dengan senyum lembut.
Nisa mengangguk, merasa nyaman oleh kehangatan yang ditunjukkan ibu mertuanya. Ia menyadari bahwa rumah baru ini, meskipun masih asing, mulai terasa seperti tempat yang mungkin bisa ia sebut "rumah."