Bercerita tentang seorang anak yang bernama mugi yang terlahir sebagai rakyat jelata dan menjadi seseorang penyihir hebat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muchlis sahaja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekolah sendai tatsuno
Bertahun-tahun telah berlalu sejak tragedi ledakan yang menghancurkan desa. Penduduk desa dengan gigih membangun kembali kehidupan mereka, dan sekolah sihir Sendai Tatsuno pun berdiri tegak kembali, menawarkan harapan bagi generasi baru. Melly, seorang elf dengan umur panjang yang luar biasa, bertekad untuk membimbing para murid muda, menyalakan api semangat mereka untuk belajar sihir.
Di sebuah rumah sederhana di tepi desa, Mugi, seorang anak laki-laki dengan mata cokelat yang penuh semangat, berlatih berpedang bersama kakaknya, Chaerin. Chaerin, dengan rambut hitam panjang dan wajah yang tegas, menggerakkan pedang kayu miliknya dengan kecepatan dan kekuatan yang menakjubkan.
"Bersiaplah, Mugi," kata Chaerin, "Kakak akan menyerangmu. Kau harus tangkas dalam berpedang dan sihir, karena kau akan masuk sekolah sihir."
Mugi menatap Chaerin dengan wajah polos. "Meskipun aku berlatih dengan keras sekalipun, aku tidak akan menang melawan kakak kan?"
Chaerin tersenyum lembut, mencoba menyembunyikan rasa kecewa yang mendalam. "Kau tidak boleh seperti itu, Mugi. Kau pasti bisa."
Chaerin menyerbu Mugi, pedang kayu miliknya menghujani Mugi dengan serangan cepat. Mugi mencoba menghindar, tetapi gerakkannya kaku dan lamban. Beberapa serangan menghantam tubuhnya, menjatuhkannya ke tanah.
"Kakak terlalu kuat untukku!" keluh Mugi, sambil mengoleskan tangannya ke luka ringan di lengannya.
Chaerin menatap Mugi dengan tatapan yang penuh kesedihan. "Dia masih belum berkembang," gumamnya dalam hati. "Mugi, kau harus berlatih sendiri. Aku akan meninggalkanmu sebentar."
Chaerin meninggalkan Mugi sendirian. Mugi berdiri kembali, senyum licik terukir di bibirnya. "Astaga, berakting menjadi orang lemah itu sangat melelahkan," gumamnya.
Mugi berjalan ke kamarnya dan mengambil buku tua yang bercerita tentang Pembunuh Bayangan. Dia menatap gambar sosok misterius yang terukir di halaman buku itu. "Sosok ini sungguh keren!" gumamnya, "Di saat sekolah nanti aku akan berakting dan menjadi sosok yang misterius sama seperti ini."
Keesokan harinya, Mugi memasuki gerbang sekolah sihir Sendai Tatsuno bersama para murid baru lainnya. Gedung sekolah yang megah berdiri tegak di tengah desa, menawarkan suasana yang menakjubkan.
"Lumayan banyak murid baru yang memasuki sekolah ini ya," gumam Mugi, "Baiklah aku tetap harus menjadi sosok yang misterius dan berpura-pura lemah."
Dua gadis muda, Zahra dan Rida, berjalan sambil berbincang. "Hai, Rida, lihatlah laki-laki itu," kata Zahra, menunjuk Mugi, "Dia terlihat culun sekali bukan?"
Rida tertawa kecil. "Kau benar, Zahra. Tapi kita tidak boleh menilai orang dari sampulnya bukan? Bisa saja dia kuat dan ahli dalam berpedang atau pun sihir kan?"
Zahra menggeleng kepala. "Ah, mungkin kau benar."
Rida menarik tangan Zahra. "Sudahlah, ayo kita memasuki sekolah nya."
Di lantai dua gedung sekolah, Melly menatap para murid baru yang memasuki gerbang sekolah dengan senyum yang hangat. "Wah, banyak sekali murid-murid baru," gumamnya, "Aku semakin semangat untuk mengajar."
Tiba-tiba, matanya tertuju pada Mugi yang sedang memasuki gerbang sekolah. Melly terkejut melihat inti sihir Mugi yang unik. "Inti sihirnya? Itu sihir penciptaan! Sama seperti orang itu," bisik Melly, ingatan tentang Haruto muncul dalam benaknya.
Pak Gensou, kepala sekolah Sendai Tatsuno, mendekati Melly. "Selamat pagi, Melly."
Melly menoleh ke arah Pak Gensou dengan senyum yang lembut. "Iya, selamat pagi Pak Gensou."
Pak Gensou menatap Melly dengan tatapan yang penuh makna. "Sepertinya pekerjaanmu semakin sulit ya, Melly."
Melly menggeleng kepala. "Iya, sepertinya begitu, melihat semakin banyaknya murid baru yang masuk ke sini."
Pak Gensou menggeleng kepala. "Iya, meskipun begitu kau jangan menyerah untuk mengajar. Mereka yang bersekolah di sini adalah calon pahlawan desa ini. Mereka akan menjadi penerus desa ini sebagai orang hebat. Sekolah ini hanyalah tiang yang akan menompang mereka semua dan tumbuh menjadi sosok yang hebat. Jadi, kau sebagai guru angkat mereka semua untuk menggapai apa yang mereka tempuh kelak."
Melly terdiam, mencerna kata-kata Pak Gensou. "Haruto," gumamnya dalam hati, "Sekarang apa yang engkau inginkan dulu sekarang sudah terwujud."
Di dalam kelas murid baru, Mugi duduk sendirian di sudut kelas, mengamati para murid lainnya yang sedang berbincang dan berkenalan satu sama lain. "Cih, ternyata di kelas ini sangat brisik," gumamnya.
Tiba-tiba, seorang murid laki-laki, Oneal, mendekati Mugi. "Yo, teman, kenapa engkau hanya berdiam diri saja?"
Mugi terkejut dan menatap Oneal dengan tatapan yang curiga. "Siapa kau ini?"
"Aku adalah Oneal," jawab Oneal, "Sihir ku adalah suport. Aku dapat memberikan buff kepada kemampuan seseorang."
Mugi menatap Oneal dengan tatapan yang sinis. "Kau terlalu mencolok."
Seorang murid laki-laki lainnya, Leon, mendekati Oneal dan menyentuh pundaknya. "Cih, kau seorang laki-laki tapi tipe sihir mu suport? Memalukan sekali."
Oneal terkejut dan berusaha menjelaskan. "Ta-tapi bukan sihir tipe suport itu juga bisa membantu seorang tipe bertarung?"
Leon mendorong Oneal dengan kasar. "Kau berani menjawab perkataan dari Leon? Aku adalah seorang bangsawan. Apa kau meremehkan kemampuan seorang bangsawan?"
Mugi menatap Leon dengan senyum yang mengancam. "Sangat menarik sekali," gumamnya dalam hati, "Tapi aku yang hanya seorang figuran tidak bisa ikut campur dengan ini."
Leon menatap ke arah Oneal dan mengeluarkan sihir api di tangannya. "Kau lihat ini, ini lah yang nama nya sihir. Apa kau mau merasakannya?"
Leon mengarahkan sihir apinya ke arah Oneal. Tiba-tiba, Rida menciptakan pelindung air di depan Oneal. "Apa-apaan itu?" teriak Rida, "Kau mengusik orang lain yang tidak mengusik mu."
Leon terkejut melihat kemampuan sihir Rida. "Kemampuanmu lumayan dan kau juga terlihat cantik," kata Leon, mengedipkan matanya ke arah Rida. "Aku sangat mengagumi mu nona."
Rida merasa jijik melihat Leon.