NovelToon NovelToon
Istri Yang Tak Di Anggap

Istri Yang Tak Di Anggap

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Penyesalan Suami
Popularitas:7.3k
Nilai: 5
Nama Author: laras noviyanti

Candra seorang istri yang penurunan tapi selama menjalani pernikahannya dengan Arman.

Tak sekali pun Arman menganggap nya ada, Bahkan Candra mengetahui jika Arman tak pernah mencintainya.

Lalu untuk apa Arman menikahinya ..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon laras noviyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 2

Candra berdiri di pinggir jendela, menatap hujan di luar. Setetes air mengalir deras dari atap, membentuk genangan di tanah. Dalam hati, ia bertanya lagi untuk kesekian kalinya.

"Arman," panggil Candra tanpa menoleh.

Arman muncul dari arah dapur, memegang secangkir kopi yang masih mengepul. Ia mengangkat alis, tidak perlu banyak berpikir untuk tahu apa yang ingin dijelaskan Candra.

"Kau tahu kenapa aku bertanya? Kenapa kita di sini jika kau tidak mencintaiku?" suaranya terdengar lemah, tapi penuh harapan.

Arman meneguk kopinya dengan tenang. Pandangannya menyapu ruangan.

"Kau ingin jawaban yang kuberikan ribuan kali. Kita menikah supaya keluarga tidak ribut."

Candra memutar matanya, teringat semua kata-katanya yang selalu terabaikan. "Itu bukan alasan. Kau menganggapku seperti apa? Teman sekamar?"

Arman menggelengkan kepala. "Kau selalu meributkan hal yang tidak perlu. Hidup kita baik-baik saja. Bukankah itu yang penting?"

"Baik-baik saja?" Candra tertawa pahit. "Begitu kita saling berbicara seperti ini? Seolah-olah kita dua orang asing yang saling berbagi atap?"

Arman menghela napas, menempatkan cangkir di meja. "Kau tidak mengerti. Ini bukan tentang cinta, Candra. Ini tentang komitmen. Aku menghargai kita berdua."

Komitmen. Kata itu meresap ke dalamnya, tapi terasa kosong. Hanya rangkaian kata yang terputus tanpa makna.

Candra berpaling, membiarkan air matanya mengalir. "Ini bukan kehidupan yang aku inginkan. Aku mengharapkan lebih dari sekadar komitmen. Aku ingin merasa dicintai."

Arman mengerutkan kening. "Kau tahu betapa sulitnya hidup ini. Kita butuh kenyamanan, bukan cinta yang utopis."

"Jadi, semua ini tentang kenyamanan? Itu jawaban terbaik yang kau bisa berikan?" Candra melangkah mendekat, satu langkah, lalu satu lagi.

"Jangan buat ini lebih rumit dari yang seharusnya." Arman menstabilkan suaranya, tapi matanya terlihat gelisah.

"Rumit adalah apa yang kita jalani setiap hari! Tak ada kasih sayang, tak ada kehangatan. Melainkan hanya rutinitas. Rasanya seperti berperang tanpa tujuan."

"Perang? Itu berlebihan." Arman mengepalkan tangan, lalu meluruskan kembali. "Kita hanya berbeda pandangan."

Candra mengerjapkan matanya, terkejut. "Berbeda pandangan? Ini lebih dari sekadar pandangan, Arman. Kita terjebak dalam kebohongan yang sama."

"Berhenti membuatku terpojok." Arman mengalihkan pandangannya, mencuri waktu untuk menyeimbangkan pikirannya. "Apa lagi yang kau inginkan?"

"Setidaknya pengakuan." Candra tersenyum pahit. "Aku ingin kau mengakui bahwa aku lebih dari sekadar istri di rumah ini."

"Jadi, apa kau berharap aku akan jatuh cinta padamu? Sebuah romansa yang dikhayalkan?" Arman menantangnya, bersikap defensif.

Tidak ada jawaban dari Candra. Hanya hening.

"Begitu. Kau juga tahu itu tidak akan terjadi," lanjutnya, suara sedikit menurun.

"Jadi, kau akan menjalani hari-harimu seperti biasa?" Candra menepuk meja. "Di antara semua benda tak bernyawa ini, kita tidak ada bedanya."

Arman mengangkat bahunya. "Sepertinya itulah pilihan yang paling logis."

"Logika memang menjadi penyelamat kita,” Candra mendengus. “Tapi ada saatnya logika terbantahkan oleh perasaan."

Arman mengetuk meja, mencari jalan keluar dari jalan buntu ini. "Perasaan? Kecuali kita bisa membangun dunia lain, perasaan tidak akan menyelesaikan apa pun."

"Kenyataan tidak selalu sesuai harapan, Arman. Tapi ini bukan alasan untuk tidak berjuang,” ucap Candra, nadanya bergetar.

"Berjuang untuk apa?" Arman tampak frustrasi. "Menghadapi rasa sakit dan kekecewaan yang lebih dalam? Kita bukan anak-anak."

Candra merasakan sesuatu dalam pandangan Arman—sebuah kekosongan yang mengintai di balik kata-katanya. "Tapi kita adalah pasangan. Kita bisa memperbaiki ini."

"Dari mana kau mendapatkan ide itu?" Arman menggelengkan kepala, tampak bingung sekaligus tertarik. "Kau ingin mengubah apa?"

"Jangan bertindak seolah-olah itu tidak mungkin. Kita bisa mulai dari komunikasi." Candra berusaha tenang, berusaha agar kata-katanya tidak terdengar putus asa.

"Tapi kau tidak mau menerima kenyataan. Aku tidak bisa mengubah yang sudah terjadi," Arman menudingkan jarinya ke arah Candra, pikirannya tak teratur.

Tetapi Candra maju, berhadapan dengan Arman. "Satu-satunya yang perlu kau lakukan hanyalah membuka dirimu. Tidak ada yang perlu dipaksakan. Tolong..."

Arman mengalihkan perhatian, menatap hujan di luar. "Hujan menciptakan luka lebih dalam dari yang kau bayangkan."

Candra mendekat, suaranya lembut. "Dan aku di sini untuk membuatnya sembuh. Tapi aku butuh kau di sisiku. Di dalam kerentanan."

Arman terdiam. Saat Candra berbicara, ia bisa merasakan jarak itu mulai menyusut, meski sebelah kakinya masih berat menyentuh jembatan yang rapuh ini.

"Apakah kau tahu berapa kali aku bertahan?"

"Tapi aku di sini, Arman. Jika kau bisa mengizinkanku untuk mendekat," Candra menggenggam tangan Arman.

Sekilas, Arman tersentuh, tapi segera mengerakkan tangannya menjauh.

"Kau mengabaikanku. Seolah semua ini tidak terjadi," ucap Candra, napasnya berat.

"Karena kita telah mengatur hidup kita, Candra. Semuanya berjalan sesuai rencana." Arman tampak bingung antara ketidakpastian dan kenyataan.

"Rencana kita. Bukan rencana kita berdua,” Candra menekankan, merasakan ketidakadilan.

Arman menatapnya, matanya licin. "Bisa kau lihat dari sudut pandangku, Candra? Ini semua tidak sederhana."

"Apakah perlu rasa sakit ini agar kita mengerti?" Suara Candra rendah.

Arman menunduk, memikirkan jawabannya. Sebuah suara berbisik dalam hatinya, mengingatkan bahwa berjuang untuk kejujuran bukanlah hal yang bodoh.

"Jadi, kita mengabaikan keadaan dan menjalani hidup kita dengan rutinitas ini?" Candra menuangkan semua perasaannya dalam nada.

Arman mengangguk, lalu mengalihkan tatapan ke luar. "Kau bisa mengubah apapun dalam hidupmu jika itu membuatmu bahagia.”

"Kau tahu apa? Kadang, aku merasa lebih tidak berarti ketika bersamamu dibandingkan saat kita berjauhan," Candra menantang.

"Jadi, mau kenapa?" Arman berbicara pelan. "Apakah ini tanda bahwa kita harus berpisah?"

Candra terkejut. "Apakah kau ingin kita begitu?"

Arman menyandarkan punggungnya pada dinding. "Jika itu membuat kita bahagia, mungkin ya."

Kedua jiwa itu terdiam, saling menatap dengan penuh kerinduan dan ketakutan. Rasa sakit di dalam hati mereka, lebih dalam dari hujan yang jatuh di luar.

Candra mengangguk pelan. "Aku hanya ingin pernikahan kita berarti, Arman. Apa salahnya aku berharap?"

"Dan aku tidak bisa menjanjikan itu," Arman bersifat realistis. "Tapi aku tidak ingin kehilanganmu."

Keduanya terjebak dalam ketegangan, saling menggenggam mimpi dan kenyataan yang berbenturan, meraba di jendela kejujuran yang gelap.

Candra menarik napas dalam-dalam, berusaha mengumpulkan keberanian. "Jadi, kita berdiam di antara keraguan dan harapan hingga waktu menghabiskan segalanya?"

Arman menggigit bibir, berpikir. "Kau tahu kita bisa lebih baik dari ini. Tapi bukan dengan cara yang kau bayangkan."

"Jadi, bagaimana cara yang kau inginkan? Apakah kita harus terus menerus bersembunyi di balik rutinitas harian ini?" Candra terasa frustrasi. Semangatnya menggebu-gebu, tapi Arman tetap tenang, tampak tak tergoyahkan.

"Rutinitas memberi kita stabilitas," jawab Arman, mencoba mempertahankan argumennya. "Kita memiliki pekerjaan, rumah, hingga teman-teman. Itu cukup."

Candra meringis, memperhatikan Arman yang terjebak dalam pandangannya. "Cukup? Itu semua? Apa kau tidak merindukan sesuatu yang lebih?"

Arman mengerutkan dahi. "Apa maksudmu dengan 'lebih'? Hidup ini bukan film romantis, Candra. Kita tidak bisa berpatokan pada itu."

"Kau tidak mengerti," Candra mendesak, geram. "Aku tidak butuh keajaiban, hanya sedikit kehangatan. Kadang, bahkan sebuah pelukan bisa mengubah segalanya."

Arman mendengus pelan, mencoba memahami. “Pelukan? Seberapa sering pelukan itu menyelesaikan masalah? Mungkin buat sejenak, tapi kita tetap di titik yang sama.”

"Kau terus menghindar, Arman," Candra menatapnya tajam.

...----------------...

1
murni l.toruan
Rumah tangga itu saling komunikasi dua arah, agar tidak ada kesalah pahaman. Kalau hanya nyaman berdiam diri, itu mah patung bergerak alias robot
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!