Menjadi pedagang antar dua dunia? Apakah itu memungkinkan?
Setelah kepergian kakeknya, Sagara mewarisi sebuah rumah mewah tiga lantai yang dikelilingi halaman luas. Awalnya, Sagara berencana menjual rumah itu agar dapat membeli tempat tinggal yang lebih kecil dan memanfaatkan sisa uangnya untuk kebutuhan sehari-hari. Namun, saat seorang calon pembeli datang, Sagara tiba-tiba mengurungkan niatnya. Sebab, dia telah menemukan sesuatu yang mengejutkan di belakang rumah tersebut, sesuatu yang mengubah pandangannya sepenuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kata Pandu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20 : Pertemuan Kedua
Sagara dan Surya tiba di pusat perbelanjaan besar yang megah. Mereka menyusuri lorong-lorong yang dipenuhi toko-toko mewah. Sagara berjalan dengan langkah pasti, sementara Surya setia mengikutinya dari arah belakang. Meski dahulu Sagara hidup dalam keterbatasan, ia tidak pernah merasa asing berada di tempat seperti ini. Baginya, pusat perbelanjaan bukanlah tempat yang baru, dia bukanlah anak udik, bahkan ketika hidupnya serba sulit, ia dan teman-temannya sering berjalan-jalan di tempat seperti ini untuk melepas penat. Kini dengan status yang berbeda, Sagara pun merasa menjadi lebih percaya diri dan bersikap seperti biasanya. Dia tetap tenang, tidak tergesa-gesa, dan penuh perhitungan.
"Tuan Muda, ada yang menarik perhatian Anda?" tanya Surya dengan nada hormat saat mereka berjalan.
"Belum, tapi saya sedang mencari stelan jas yang cocok untuk saya kenakan," jawab Sagara, pandangannya terpaku pada deretan toko pakaian di depannya.
Setelah beberapa kali masuk dan keluar toko, akhirnya Sagara berhenti di salah satu toko pakaian pria yang terkenal dengan koleksi jas berkualitasnya. Suasana di dalam toko terasa tenang, dengan interior yang elegan, dan pencahayaan lembut yang menyoroti pakaian-pakaian di rak.
Sagara mulai melihat-lihat beberapa stelan jas, sesekali mengambilnya dan mencoba menempelkan di depan badannya sembari bercermin. "Bagaimana menurutmu, Surya?" tanya Sagara sambil mengangkat jas hitam dengan potongan ramping.
"Kelihatannya cocok, Tuan. Potongan jas ini sesuai dengan postur Anda. Namun, mungkin yang abu-abu akan lebih menonjolkan kesan berwibawa," jawab Surya dengan penuh perhatian.
Sagara mengangguk setuju, mengembalikan jas hitam itu dan hendak mencoba jas abu-abu yang direkomendasikan Surya. Namun, sebelum tangannya menyentuh jas tersebut, seorang pelayan wanita tiba-tiba mendekatinya dengan langkah cepat. Tatapan dingin terpancar dari wajahnya.
"Maaf, Bapak. Mohon tidak sembarangan menyentuh jas-jas ini jika Anda tidak berniat membelinya," ujar sang pelayan dengan nada tegas dan sedikit meremehkan. "Barang-barang di sini mahal, jika rusak atau kotor, Anda mungkin tidak mampu membayarnya."
Sagara terdiam sesaat, matanya menatap pelayan itu dengan tajam, menimbang-nimbang apakah dia harus menanggapi atau tidak. Dia merasa tersinggung, tapi memilih menahan diri.
"Saya sanggup membelinya," jawabnya tenang, meski ada ketegangan dalam nadanya. "Jadi, sebaiknya Anda menyingkir dan biarkan saya mencobanya."
Pelayan itu tetap bersikukuh, seolah-olah tidak percaya. "Tapi Pak! Ini barang mewah, tolong jangan coba-coba jika tidak yakin."
Sagara menarik napas panjang, merasa muak dengan sikap sombong sang pelayan. Dalam hati dia bertanya-tanya, apakah memang perlu dirinya menunjukkan kekayaannya agar diperlakukan dengan hormat? Sagara pun dengan kesal mengembalikan jas tersebut ke tempatnya. Tanpa berkata lebih lanjut, dia membalikkan badan dan bersiap meninggalkan toko itu. Namun, sebelum langkahnya jauh, suasana toko tiba-tiba berubah.
Keramaian tiba-tiba menyeruak di pintu masuk. Orang-orang berbaris, beberapa di antaranya berpakaian rapi, seolah sedang menunggu kehadiran seseorang yang penting. Sagara berhenti sejenak, terkejut dengan pemandangan itu. Seorang wanita elegan, dikelilingi asisten dan pengawal berseragam serba hitam, memasuki toko sambil memegang tablet di tangannya. Sang asisten terus berbicara, menjelaskan sesuatu dengan cepat, sementara wanita itu sesekali mengangguk, seolah menyetujui poin-poin yang disampaikan.
Tiba-tiba, salah satu sosok yang mengawal wanita tersebut berjalan mendekati Sagara. "Tolong minggir, beri jalan untuk nona kami!" ucapnya dengan nada yang tidak terlalu ramah.
Sagara menatap petugas itu dengan tenang, tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya. "Saya akan tetap di tempat saya berdiri," jawabnya datar namun penuh dengan ketegasan. Wibawa Sagara yang baru sebagai kepala keluarga Adyatama membuatnya tidak ingin diremehkan begitu saja oleh orang lain.
Surya yang merasa situasi mulai tak terkendali pun memasang badan untuk sang tuan. Dia mendekati petugas itu dan berusaha menjelaskan. "Tuan Muda kami juga memiliki urusan di tempat ini, harap Bapak bersikap sopan."
Debat kecil pun mulai memanas antara Surya dan petugas tersebut, hingga membuat keributan kecil dan menarik perhatian orang-orang. Wanita yang tengah sibuk itu akhirnya menyadari kehadiran Sagara, pandangannya beralih pada sosok pria yang berdiri tegak dengan penuh wibawa dan kepercayaan diri di tengah-tengah toko. Wanita itu tampak sedikit terkejut karena mengenali Sagara. Dia memberi isyarat kepada asistennya untuk menghentikan perdebatan, dan dengan langkah anggun, wanita itu berjalan mendekati Sagara sambil tersenyum.
"Nona, ada yang bisa saya bantu?" tanya pelayan toko dengan gugup. Namun, wanita tersebut tidak memedulikan sang pelayan ketika sedang bertanya kepada Sagara.
Senyumnya tetap terjaga saat dia mendekati Sagara. "Sungguh suatu kebetulan bertemu Anda di sini," ucapnya dengan nada lembut namun penuh keanggunan.
Sagara terdiam sejenak, ingatan tentang wanita ini mulai muncul dalam benaknya. Dia adalah wanita misterius yang pernah ditemuinya saat acara pelelangan di kediaman Hansel. Wanita yang tanpa diminta membantunya masuk saat semua orang lain meremehkannya. Ada sesuatu yang berbeda dari wanita ini, ia tampak baik, tapi entah mengapa Sagara merasa ada bahaya yang tersembunyi di balik senyum ramahnya, seakan memiliki maksud lain padanya.
"Saya ingat Anda," balas Sagara sopan. "Terima kasih atas bantuan Anda waktu itu."
"Anda terlalu memikirkannya, tidak perlu berterima kasih. Saya hanya kebetulan ada di tempat yang tepat," jawab wanita itu dengan senyum yang semakin lebar. Matanya melirik Sagara dari atas hingga ke bawah, seolah menilai penampilan dan situasinya. "Saya lihat Anda sedang mencari pakaian. Bolehkah saya membantu memilih beberapa untuk Anda?"
Pelayan yang sebelumnya merendahkan Sagara, kini terdiam dengan wajah pucat. Wanita misterius ini jelas memiliki otoritas yang jauh di atasnya, sosok yang tidak bisa dia singgung, dan fakta bahwa dia menawarkan bantuan pada Sagara membuatnya semakin gugup. Sagara yang tidak ingin mempermalukan pelayan itu atau membuat masalah lebih lanjut, menggelengkan kepala dengan sopan. "Terima kasih, tapi saya pikir saya akan mencari di tempat lain."
Wanita itu pun terdiam sembari menoleh ke arah pelayan toko itu. Dia menyadari ada sesuatu yang salah di tempat ini, pasti pelayan toko itu sudah menyinggung Sagara dan membuatnya pergi. Namun, wanita itu tidak menyerah begitu saja. "Saya mengerti, tapi jika Anda pergi begitu saja, pelayan ini pasti akan langsung kehilangan pekerjaannya."
Sagara tertegun, tak tahu harus berkata apa. Sang pelayan sendiri pun syok dan meminta maaf kepada Sagara dengan panik. Di sisi lain Sagara kembali membalik tubuhnya dan menatap ke arah wanita itu, semakin penasaran. Wanita itu benar-benar tidak bisa ditebak. Mengapa dia begitu baik padanya? Apa mungkin dia sudah tahu siapa Sagara sebenarnya?
"Anda benar-benar memaksa? Apa itu memang perlu?" tanya Sagara akhirnya, dengan nada penuh pertanyaan.
Wanita itu tersenyum lagi, kali ini dengan kilatan misterius di matanya. "Saya tidak bermaksud melakukannya. Saya tahu siapa Anda, Tuan. Dan itu alasan saya ingin membantu."
Sagara masih memandangi wanita itu dengan tatapan penuh pertimbangan. Dia merasa sikap wanita tersebut sedikit berlebihan, namun sekaligus penuh teka-teki yang membuatnya tertarik. Sagara bukanlah orang yang bodoh, nalurinya memberitahunya bahwa di balik semua kebaikan yang diberikan wanita ini, ada maksud yang lebih dalam. Namun, rasa penasaran itu semakin menggugah perhatiannya.
“Anda mengatakan Anda tahu siapa saya? Mengapa Anda begitu yakin?” tanya Sagara dengan nada suaranya yang tetap sopan meski penuh kehati-hatian.
Wanita itu tersenyum kecil, seakan menikmati kebingungan yang tergambar di wajah Sagara. Dengan langkah anggun, dia mendekati salah satu rak jas, jari-jarinya yang ramping menyentuh bahan sutra yang digantung rapi. "Saya memiliki banyak kenalan. Ketika nama besar keluarga Adyatama mulai terdengar kembali, saya tentu tidak akan melewatkan informasi berharga seperti itu."
Sagara terkejut, meski berusaha menyembunyikannya di balik raut wajahnya yang tenang. Bagaimana mungkin wanita ini bisa mengetahui identitasnya, sedangkan dia sendiri belum pernah secara terbuka mengenalkan dirinya? Mungkinkah Hansel yang menyebarkan bakar tentang dirinya? Sagara tidak yakin dengan hal itu, dia akan dirugikan jika melakukannya. Sagara tersenyum dan merasa wanita itu semakin menarik perhatiannya. Wanita itu memiliki intuisi yang baik karena dapat mengenali identitas Sagara hanya dengan sedikit petunjuk.
Sagara menatapnya dengan penuh kebimbangan. Di satu sisi, dia ingin menolak tawarannya. Namun di sisi lain, dia menyadari wanita ini tidak akan melepaskan dirinya, serta sikapnya yang begitu percaya diri dan menguasai situasi, membuat Sagara berpikir ulang. Akhirnya, Sagara pun mengangguk dan menyerahkan kesempatan untuk membiarkan wanita itu melakukan apa yang dia mau.
"Kalau begitu, saya serahkan pilihan pada Anda," jawab Sagara dengan sopan.
Tanpa menunggu lama, wanita itu segera mengambil beberapa stelan pakaian dengan cekatan, matanya meneliti setiap detail bahan dan potongannya. Setiap kali tangannya terulur untuk mengambil satu jas, asistennya segera memberi isyarat kepada pelayan untuk bergegas mengambilnya. Pelayan yang sebelumnya meremehkan Sagara kini terlihat ketakutan, tangannya bergetar saat mengambil setiap pakaian yang ditunjuk.
“Semua pakaian ini saya pikir akan sangat cocok dengan karakter Anda,” ujar wanita itu dengan penuh kebanggaan.
Sagara menatap pakaian-pakaian yang dipilihkan untuknya, mengagumi kualitas dan desainnya yang memang sangat elegan. Dia merasakan tatapan Surya dari belakang, seakan menunggu perintah dari tuannya. Sagara merasa tidak ada salahnya menerima bantuan ini, selama itu tidak mempengaruhi dirinya.
Wanita itu kemudian menatap Sagara sekali lagi, kali ini dengan senyum yang tampak lebih pribadi. "Setelah ini saya masih memiliki banyak urusan, jadi saya tidak bisa menemani Anda lebih lama. Dalam waktu dekat ini, saya yakin kita akan bertemu lagi. Saya harap, saat itu kita bisa berbicara lebih banyak tentang hal-hal yang lebih menarik."
Sagara mengangkat alisnya. "Mungkin," balasnya singkat namun sopan.
Saat wanita itu melangkah menjauh, dia memberi isyarat kepada asistennya untuk menyelesaikan pembayaran atas pakaian yang dipilih. Setelah selesai dengan urusannya, wanita itu berbalik dan meninggalkan toko, diikuti para asisten dan pengawalnya. Sagara hanya bisa memandangi punggungnya yang semakin jauh, terjebak dalam kebingungan yang semakin mendalam. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatnya waspada, namun di saat yang sama, dia tidak bisa mengabaikan perasaan bahwa wanita itu telah menarik perhatiannya.
Surya yang selama ini diam, mendekat ke arah sang tuan dengan hati-hati. "Tuan, apakah Anda baik-baik saja?" tanyanya.
Sagara menghela napas, menatap jas-jas yang ada di tangan sang pelayan toko. "Ya, saya baik-baik saja. Hanya saja, mengenai wanita itu, siapa dia sebenarnya?"
Surya menatapnya sejenak sebelum menjawab. "Saya juga tidak tahu, Tuan, tapi sepertinya dia bukan orang sembarangan."
Sagara mengangguk setuju, lalu berjalan menuju kasir untuk menyelesaikan urusan di toko itu. Sang pelayan toko terus meminta maaf atas sikapnya yang sebelumnya kasar sembari membungkus semua pakaian yang dihadiahkan wanita itu pada Sagara.