"Ketika cinta dan kesetiaan diuji oleh kebenaran dan darah, hanya hati yang tahu siapa yang benar-benar layak dicintai." - Kenzie William Franklyn.
•••
Vanellye Arch Equeenza, atau Ellyenza. Perempuan nakal dengan masa lalu kelam, hidup dalam keluarga Parvyez yang penuh konflik. Tanpa mengetahui dirinya bukan anak kandung, Ellyenza dijodohkan dengan Kenzie, ketua OSIS yang juga memimpin geng "The Sovereign Four." Saat rahasia masa lalunya terungkap—bahwa ia sebenarnya anak dari Sweetly, sahabat yang dikhianati ibunya, Stella—Ellyenza harus menghadapi kenyataan pahit tentang jati dirinya. Cinta, dendam, dan pengkhianatan beradu, saat Ellyenza berjuang memilih antara masa lalu yang penuh luka dan masa depan yang tidak pasti.
Akan seperti apakah cerita ini berakhir? mari nantikan terus kelanjutan untuk kisah Kenzie dan Ellyenza.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meka Gethrieen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ZIELL 1 ; Bayangan Masa Lalu.
..."Pertemuan itu tak selalu indah, perpisahan juga bukan selamanya merupakan suatu hal yang menyakitkan."...
...- Kenzie William Franklyn -...
...●●●...
Pagi di awal musim gugur. Sinar matahari yang lembut menerobos melalui celah-celah tirai tebal di kamar Ellyenza, menciptakan bayangan samar yang menari-nari di dinding. Udara terasa sedikit dingin, dan suara burung-burung yang berkicau di kejauhan hampir tidak terdengar di balik dinding kamar yang tebal. Di sudut ruangan yang redup, di depan sebuah cermin besar berbingkai kayu gelap, Ellyenza berdiri dengan tatapan kosong.
Seragam sekolah menengah atasnya—kemeja putih bersih dengan rok abu-abu yang sedikit kusut di bagian pinggir—tergantung rapi di tubuhnya, namun ada sesuatu yang tidak sejalan antara penampilannya dan ekspresi wajahnya. Rambut panjangnya yang tergerai lepas tampak sedikit berantakan, beberapa helai melayang di udara, tertiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Matanya yang tajam, penuh dengan kelelahan, menatap lurus ke pantulan dirinya di cermin. Ellyenza menarik napas panjang, seolah sedang berusaha menenangkan gemuruh yang terjadi di dalam dadanya.
Dia tidak pernah menyukai cermin, bukan karena dia tidak menyukai penampilannya, melainkan karena setiap kali menatap pantulan dirinya, ingatan-ingatan dari masa lalunya yang kelam selalu menghampiri. Cermin itu seperti portal yang membuka kembali luka-luka lama yang tak pernah benar-benar sembuh. Masa-masa ketika dia masih seorang gadis muda yang penuh harapan, sebelum semuanya berubah. Sebelum Kevin.
Kevin Sultan Alaswell. Nama itu muncul di pikirannya seperti duri yang menusuk. Dua tahun lebih tua darinya, lelaki itu adalah cinta pertamanya. Kevin dengan segala janji manisnya, senyum yang membuat Ellyenza merasa istimewa, dan tatapan yang dulu membuatnya berpikir bahwa dia adalah satu-satunya di dunia ini. Namun, semua itu hanyalah kebohongan.
Ellyenza menggigit bibirnya, menahan perih di dadanya yang kembali muncul saat mengingat saat-saat itu. Saat dia berusia 15 tahun, jatuh cinta untuk pertama kalinya, dan juga pertama kali dikhianati. Kevin, yang seharusnya menjadi pendukungnya, malah meninggalkannya ketika dia paling membutuhkan. Saat ia mengetahui bahwa dia hamil, Kevin memilih untuk kabur, meninggalkannya sendirian dengan masalah yang begitu besar. Dunia Ellyenza yang dulu penuh warna tiba-tiba runtuh, dan dari reruntuhan itulah, dia membangun dirinya yang sekarang—sosok yang keras, sinis, dan penuh pemberontakan.
"Tidak ada yang berbeda dari hari ini dengan hari sebelumnya ..." gumam dia lirih, suaranya nyaris tanpa emosi. Matanya tetap terpaku pada bayangannya di cermin. Setiap hari adalah perjuangan yang sama, melawan ingatan-ingatan pahit, menahan sakit yang telah menjadi bagian dari dirinya.
Tangannya bergerak merapikan kerah seragamnya yang sedikit miring, lalu dia menatap cermin itu sekali lagi, lebih lama kali ini. Dia tahu, tidak ada yang bisa mengubah masa lalunya, tidak ada yang bisa menghapus jejak luka yang telah tertanam dalam di hatinya. Gadis ceria yang dulu penuh dengan impian dan harapan telah lama pergi. Yang tersisa kini hanyalah sosok yang berusaha bertahan di dunia yang terus-menerus menghantamnya dengan kenyataan pahit.
Setelah mengambil tas sekolahnya yang tergeletak di kursi dekat tempat tidur, Ellyenza melirik ke cermin untuk terakhir kalinya sebelum berbalik dan melangkah keluar dari kamar. Pintu kamar tertutup di belakangnya dengan pelan, menyisakan bayang-bayang dari masa lalu yang selalu setia menghantuinya.
...•••...
Langkah kaki Ellyenza terdengar berat ketika dia menuruni tangga menuju ruang makan. Ruangan itu sudah dipenuhi oleh aroma kopi dan roti panggang, tanda bahwa keluarganya telah memulai sarapan pagi. Di meja makan, ibunya, Stella, duduk di ujung meja dengan sikap yang begitu dominan. Ekspresi wajahnya seperti biasa—dingin dan angkuh, seolah dunia berputar hanya di sekitar dirinya.
Di seberang meja, Caramel Elise Parvyez, saudari yang baru dia ketahui beberapa bulan lalu, duduk dengan sikap lembutnya yang khas. Penampilannya sempurna, rambutnya tertata rapi, dan wajahnya menunjukkan ketenangan yang hampir membuat Ellyenza muak. Seolah-olah Caramel tidak pernah benar-benar menjadi bagian dari keluarga ini, tapi pada saat yang sama, dia terlihat begitu diterima. Ellyenza merasa ada jurang yang tak terlihat namun sangat nyata di antara mereka.
Stella, tanpa menoleh, berbicara dengan nada yang tegas namun tanpa emosi. “Besok kau akan menemani Kara ke acara keluarga,” katanya sambil menyibukkan diri dengan secangkir kopi di tangannya.
Ellyenza mendengus kecil, senyum sinis menghiasi wajahnya. “Apakah aku punya pilihan lain?” tanyanya, meski dia tahu jawabannya sudah pasti.
Stella tidak menanggapi dengan ekspresi apa pun. “Kamu tidak akan pernah berubah, Ellyenza.” katanya dengan nada yang lebih rendah, sendok di tangannya bergerak anggun untuk mengambil sesendok bubur.
Ellyenza merasa sindiran itu seperti tusukan kecil yang tidak lagi bisa menyakitinya. Sudah terlalu sering mendengar kalimat seperti itu. Dia balas dengan senyuman tipis, penuh sarkasme. “Tentu saja tidak. Bukankah itu yang paling kau sukai dariku, ma?”
Stella tetap tidak bereaksi, pandangannya tetap fokus pada makanannya, seolah kehadiran Ellyenza di ruangan itu hanyalah sebuah bayangan yang tidak penting. Bagi Ellyenza, ini bukan hal baru. Ibunya selalu memperlakukannya dengan sikap dingin seperti itu—seolah-olah Ellyenza tidak lebih dari pion yang bisa diabaikan.
Di sisi lain meja, Caramel duduk dengan tenang, tampak terasing meski berada di tengah-tengah mereka. Tangannya yang halus mengaduk-aduk makanan di piringnya tanpa benar-benar makan. Sikapnya yang selalu tenang dan lembut, bagi Ellyenza, terasa seperti ejekan. Ellyenza merasa Caramel seperti bayangan sempurna yang selalu ada di hadapannya, mengingatkannya pada semua hal yang dia tidak miliki—dan mungkin tidak akan pernah miliki.
“Kara, jangan lupakan tugasmu hari ini.” ujar Stella dengan nada lebih lembut saat berbicara kepada Caramel, jauh berbeda dengan nada suaranya ketika berbicara dengan Ellyenza.
Caramel mengangguk pelan, “Iya, mama. Kara tidak akan lupa.” Suaranya lembut dan penuh ketundukan, sesuatu yang membuat Ellyenza semakin muak.
Ellyenza meletakkan sendoknya dengan kasar di atas meja, membuat sedikit suara, tapi tidak ada yang bereaksi. Dia tahu dia tidak diinginkan di sini, tapi dia juga tahu bahwa tidak ada tempat lain untuknya. Dengan cepat, dia berdiri dari kursinya, meneguk kopi hitam di depannya dalam sekali tegukan, meskipun rasa pahitnya memenuhi mulutnya seperti hari-harinya di rumah ini.
Sambil melangkah keluar dari ruang makan, Ellyenza tidak berkata apa-apa. Dia sudah cukup tahu bahwa segala sesuatu di rumah ini tidak akan pernah berubah. Hanya ada satu cara untuk bertahan: melawan atau menerima.
Tapi Ellyenza bukan orang yang mudah menyerah.
...• Bersambung •...