Soraya adalah gadis paling cantik di sekolah, tapi malah terkenal karena nilainya yang jelek.
Frustasi dengan itu, dia tidak sengaja bertemu peramal dan memeriksa takdirnya.
•
Siapa sangka, selain nilainya, takdirnya jauh lebih jelek lagi. Dikatakan keluarganya akan bangkrut. Walaupun ada Kakaknya yang masih menjadi sandaran terahkir, tapi Kakaknya akan ditumbangkan oleh mantan sahabatnya sendiri, akibat seteru oleh wanita. Sementara Soraya yang tidak memiliki keahlian, akan berahkir tragis.
•
Soraya jelas tidak percaya! Hingga suatu tanda mengenai kedatangan wanita yang menjadi sumber perselisihan Kakaknya dan sang sahabat, tiba-tiba muncul.
•
•
•
Semenjak saat itu, Soraya bertekad mengejar sahabat Kakaknya. Pria dingin yang terlanjur membencinya. ~~ Bahkan jika itu berarti, dia harus memaksakan hubungan diantara mereka melalui jebakan ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tinta Selasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 2
Ros yang melihat kepergian sang cucu begitu saja, mencoba untuk memanggil Rafael kembali, namun nihil.
“Gamma Ros duduklah dulu,” Ujar Sean mencoba menenangkan.
Diperlakukan begitu sopan oleh Sean, Ros dengan cepat merasa lebih baik. Dia mengikuti instruksi pria muda itu dengan ucapan terimakasih. “Untung saja ada kamu nak Sean. Kamu lihat sendiri kan, bagaimana mereka berdua meninggalkan Gamma begitu saja.” Keluhnya.
Sean sebagai orang luar, hanya menarik senyum simpul. Dia tidak ingin menambah kalimat apapun, hanya dengan peduli mengambilkan air untuk diminum Ros. Selain tidak ingin ikut campur, dia malas mendengar apapun tentang Soraya, meski gadis itu merupakan adik sahabatnya.
Sean yang melewati ruang tengah saat hendak ke dapur, bisa melihat bagaimana sang sahabat tidak berhenti mengetuk pintu kamar adiknya di lantai atas. Ada sedikit celaan dalam hatinya, namun begitu dia tetap diam di mulut. Sean merasa miris untuk Rafael yang begitu menyayangi Soraya. Baginya, seseorang seperti Soraya sulit untuk disayangi, bahkan sebagai seorang adik sekalipun. Begitu keras hati, sombong, bodoh dan suka membuat masalah.
Tapi begitu, dia tidak memikirkan itu terlalu dalam. Hanya terus melangkah ke dapur, dan kembali membawakan minuman untuk Ros.
Namun melihat wajah gelisah wanita tua itu saat kembali, Sean merasa dia akan segera berada di situasi yang sama menggelisahkan-nya.
“Sean, bisa kamu tolong Gamma?” Tanya Ros langsung, setelah menerima minuman.
Mendengar ini, Sean menarik nafas panjang, sebelum mengangguk pelan. “Tentu Gamma Ros.”
“Kamu kesana dan suruh Rafael berhenti memaksa masuk. Toh adiknya tidak akan mati, kalau di kamar. Benar bukan?” — “... Seander?” Panggil Ros pada Sean yang terdiam.
“Ah, baik Gamma.” Jawab Sean seadanya. Dia dengan berat hati memaksa melangkahkan kaki menaiki tangga. Berharap akan mudah membujuk Rafael, yang merupakan tipe kakak yang bersedia melakukan apapun untuk adiknya.
Semakin dekat dia disana, semakin jelas kedengaran Rafael yang mencoba membujuk Soraya.
“Sora adikku yang cantik, buka pintunya sebentar saja. Jangan mengurung seperti ini, mari—” Kata-kata Rafael terhenti dengan tepukan di bahunya.
“Sean kau ...?”
Belum juga dia melanjutkan ucapannya, bunyi deritan pintu di depannya telah mengambil alih perhatian Rafael.
Situasi yang buruk, pikir Sean.
Soraya yang sempat merajuk, kini membuka pintunya untuk sang Kakak. Namun manakala dilihatnya ada Sean, suasana hatinya kembali berulah. Dia dengan cepat kembali jengkel dan hendak menutup pintu lagi.
Tapi entah beruntung atau sial, Rafael berhasil menahan pintu dengan kakinya, meski harus merasakan sakit luar biasa.
“Akh, Sora ….” Teriaknya tertahan.
Soraya yang melihat ini, sedikit terkejut dibuat. Dia sempat menggigit bibir bawahnya, mengalir segelintir kekhawatiran tentang rasa sakit pada kaki Kakaknya. Namun sayang, itu hanya sepersekian detik saja. Karena di detik berikutnya, dia memilih mengeraskan hati.
“Rasain, siapa suruh nggak pake mata!” Marahnya pada Rafael.
Meski kini pintu kamarnya telah terbuka dan membuat Rafael bisa masuk leluasa, tapi Soraya yang semakin buruk suasana hatinya karena rasa bersalah, memilih menyambar tas dan ponsel, bersiap untuk keluar rumah.
“Tunggu, berhenti Sora. Jangan seperti ini.” Ujar Rafael yang mencoba menahan Soraya di dekat pintu.
Tapi Soraya begitu keras kepala. “Apa sih! jangan halangi aku!” Dorongnya pada Rafael.
“Tidak, Kakak tidak mengizinkanmu pergi.”
“Dih, nggak jelas. Awas, ... aku bilang awas ya awas.”
Pertengkaran lagi dan lagi terjadi, membuat Sean yang berdiri di depan pintu melempar pandangan ke arah lain karena muak. Ya, dia muak, karena ini bukan pertama kalinya, dia menyaksikan pertengkaran dua kakak adik itu.
Jadi dengan tetap diam, dan juga menolak untuk melihat, Sean akhirnya tenggelam dalam pikirannya sendiri. Benar-benar tenggelam, sampai dia sudah tidak sadar lagi, siapa yang sudah di sampingnya.
~~
“Hei miskin! minggir dari jalanku.”
BYUR. — “AKHH, ….”
Semua terjadi dengan sangat cepat, hingga Sean tidak bisa mengelola lagi, apa yang telah dilewatkannya.
Satu-satunya yang tersisa, hanya Soraya yang telah basah, disiram oleh neneknya sendiri.
“Lancang! sangat kurang ajar. Beraninya kamu bicara begitu pada teman kakakmu. Kamu pikir kamu siapa? apa kamu lupa, dimana kamu sebelum datang disini Soraya!” Marah Ros yang sampai gemetar. Dia yang menjunjung tinggi nilai-nilai, merasa malu terhadap sikap Soraya sebagai cucunya.
Soraya yang melihat dirinya yang telah basah dari wajah sampai ke baju, seketika membisu. Memang benar dia selalu dimarahi Neneknya selama ini, tapi tadi adalah kali pertama sang Nenek sampai melakukan aksi seperti ini
Dia mengangkat kepalanya, menatap sang Nenek dengan nanar. Tidak ada satu katapun yang terucap, hanya langkahnya yang pergi begitu saja.
“Rafael berhenti! Sudah cukup! Jangan mengejarnya. Adikmu sudah bodoh, bebal dan angkuh. Jika kamu terus memanjakannya, maka selamanya dia akan seperti itu. Benar-benar beban yang sempurna!”
Rafael adalah seorang yang cerdas dan terkendali, jadi dia mengerti benar apa yang dikatakan sang Nenek. Hanya saja, beberapa hal tidak semudah itu, dan beberapa penyesalan membutuhkan usaha besar untuk dibayar.
Mengabaikan keterdiaman Rafael, Ros beralih pada sahabat cucunya. “Nak Sean, Gamma sangat menyesal, dan meminta maaf padamu. Tapi Gamma berjanji, itu terakhir kalinya Soraya bicara begitu. Jadi tolong maafkan dia.”
Mendengar ini, Sean menunduk dengan sebelah sudut bibir yang terangkat. Tidak mungkin. Dia tidak mungkin percaya, bahwa itu adalah yang terahkir kali Soraya menghinanya. Sean bahkan tidak bisa menghitung lagi, berapa banyak penghinaan yang telah diterimanya dari Soraya, baik dirinya pribadi, atau bahkan atas keluarganya.
Jika bukan karena Rafael dan kebaikannya, Sean tidak yakin, dia akan bisa mentoleransi Soraya sampai sejauh ini.
•••
Sementara ditempat lain, Soraya mengendarakan motor vespa ungu-nya membelah jalanan. Tidak ada arah atau tujuan, persis yang selalu dikatakan sang Nenek padanya
Jika dia bisa jujur, ini adalah saat dimana dia merasa paling rendah diri dalam hidup. Hal yang tidak pernah terjadi dalam hidupnya.
BIP. BIP. BIP. Citttttttt.
Soraya meremas rem ditangannya dengan segenap tenaga.
“HEI! KALAU MAU MATI, MATI SENDIRI! JANGAN AJAK-AJAK!” Teriak seorang pengendara yang melewati Soraya.
Dia yang tidak pernah mendengar hal seperti ini dalam hidup, langsung terdiam di tempat. Dipinggir jalan, di sebuah jembatan yang panjang.
Soraya mencoba menguasai dirinya sebisa mungkin, tapi sayang matanya sudah mulai kabur dengan air. Seluruh tubuhnya gemetar perlahan, dia sudah siap menangis, dan “Huaaa—-”
Puk. Puk.
“Ihhh nenek tua, kenapa kau menepuk pundakku! aku kan mau menangis ” Protes Soraya.
Tapi Nenek tua yang menepuk pundaknya itu, hanya tersenyum menunjukkan deretan giginya yang hitam.
“Eh buset, itu gigi atau apa? jelek sekali.” Kaget Soraya dengan lancarnya.
Si nenek yang sudah tersenyum, semakin menambah lebar senyumannya mendengar ucapan Soraya. “Nona muda, sejelek-jeleknya gigiku, masih lebih jelek nasibmu.”