Jodoh adalah takdir dan ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah. Kita tidak tahu, siapa, di mana, dan kapan kita bertemu jodoh. Mungkin, bisa saja berjodoh dengan kematian.
Kisah yang Nadir ditemui. Hafsah Nafisah dinikahi oleh Rashdan, seorang ustaz muda yang kental akan agama Islam. Hafsah dijadikan sebagai istri kedua. Bukan cinta yang mendasari hubungan itu, tetapi sebuah mimpi yang sama-sama hadir di sepertiga malam mereka.
Menjadi istri kedua bertolak belakang dengan prinsipnya, membuat Hafsah terus berpikir untuk lepas dalam ikatan pernikahan itu karena tidak ingin menyakiti hatinya dan hati istri pertama suaminya itu. Ia tidak percaya dengan keadilan dalam berpoligami.
Mampukah Hafsah melepaskan dirinya dari hubungan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Datang untuk Melamar
🍃🍃🍃
Usai selesainya acara 1 Muharram di masjid tersebut, beberapa orang berbondong-bondong menghampiri ustaz bernama Rashdan itu, penceramah tadi. Kebanyakan dari mereka para kaum hawa yang masih muda, meminta foto dan tanda tangan pria itu. Sudah seperti artis saja.
Kecuali Hafsah, gadis itu berdiri di luar pintu, di teras dengan mata hanya memperhatikan mereka, itu pun menunggu Icha yang ikut berkerumun di hadapan ustaz itu.
"Sabar ...! Satu-satu dan jangan dorong-dorong. Semuanya duduk teratur," ucap pria itu, Rashdan Khairi Rasyid.
Mereka yang mungkin terdiri hampir seratus orang mengindahkan kalimat perintah dari Rashdan. Duduknya mereka menampakkan wujud Hafsah di mata pria itu. Sejenak mereka saling memandang dalam kebisuan sampai akhirnya Hafsah menundukkan kepala dalam pengabaian. Namun, sorot mata Rashdan menyiratkan sesuatu yang dalam.
***
Di musala kecil di Sekolah Menengah Pertama Belas Raya, Rashdan kembali memberikan ceramah di hadapan para penghuni sekolah, setelah semalam sempat memberikan ceramah juga di masjid yang berada tidak jauh dari kediaman Hafsah.
Tidak hanya kalangan para gadis muda, remaja juga banyak mengagumi pria berjubah abu-abu tua itu. Para pelajar terutama para anak gadis remaja itu antusias menatap Rashdan dengan senyuman.
Di sisi lain, Hafsah bergegas memasuki musala dari pintu sisi kiri rumah Allah itu, hendak duduk bergabung bersama para majelis guru lain yang sudah berada di sana sejak tadi. Gelagat gadis itu cepat karena datang terlambat, tidak seperti perencanaan kemarin. Untung saja, OSIS yang bekerjasama dengannya sudah menyiapkan acara itu sejak pagi sesuai arahannya kemarin.
Kaki Hafsah berhenti melangkah di ambang pintu ketika matanya beradu dengan mata Rashdan yang kebetulan menatapnya, pria itu diam di tengah ceramahnya. Otak Hafsah berputar seketika, mengingat mimpinya semalam yang membuatnya tidak bisa tidur dan baru bisa tidur usai salat subuh tadi, sampai tidak sengaja kesiangan.
'Qobiltu nikahaha wa tazwijaha 'alal mahril madzkuur wa rodhiitu bihi, wallahu waliyyut taufiq.'
Kalimat itu lancar diucapkan Rashdan dalam mimpi Hafsah, terekam jelas oleh gadis itu. Hal itu membuat Hafsah sedikit frustasi karena tidak pernah terpikir akan dinikahi pria yang jelas-jelas sudah beristri.
"Hafsah!" panggil Namima dengan suara kecil, guru mata pelajaran matematika yang duduk tidak jauh dari pintu.
Lamunan Hafsah seketika buyar, matanya beralih menatap Namima di sisi kanan pintu dengan senyuman manis. Kakinya melangkah masuk dan duduk di samping wanita yang jauh lebih tua darinya usianya itu dengan posisi kedua kaki ditekuk, diimpit.
Rashdan menghela napas dan ekspresi wajah lebih tenang tergambar sambil mengalihkan sorot mata dari Hafsah menuju para pelajar yang duduk di hadapannya. Sejak tadi pria itu tampak berada dalam beban pikiran, tetapi tetap berusaha untuk menyembunyikannya karena ingin tampil profesional di hadapan mereka.
***
Dahi Hafsah mengerut bingung, sekaligus penasaran mendapati wujud mobil yang sama tadi terparkir di parkiran sekolah kini berada di halaman rumahnya, yang dilihatnya dari celah pagar rumah berbahan besi dengan tinggi dua meter dengan kondisi mengendarai motornya. Transportasi beroda dua itu memasuki gerbang rumah, diparkiran di samping mobil itu sampai akhirnya melihat jelas mobil tersebut dan yakin itu mobil yang sama, yang ada di sekolah tadi.
Setelah melepas helm dari kepalanya, Hafsah lanjut berjalan memasuki rumah dengan awalan salam yang dilontarkan. Ucapannya dibalas oleh beberapa mulut yang tengah duduk di ruang tamu. Gadis itu tidak melanjutkan kakinya melangkah masuk setelah menemukan wujud Rashdan di antara mereka. Tidak banyak, hanya ada kedua orang tua gadis itu, Rashdan, dan Mur di sana.
"Ustaz Rashdan." Hafsah berkata dalam hati dengan ekspresi kaget. "Pria itu? Bukankah dia yang memberikan baju hujan kemarin?" Hafsah kembali berbicara dalam hati sambil mengingat Mur setelah mengalihkan pandangan dari Rashdan.
"Hafsah!" Rianti tersenyum manis pada anaknya itu sambil mengayun tangan, memanggil.
Hafsah membalas senyuman sang ibu dan berjalan pelan memasuki rumah, menghampiri mereka dengan benak diisi oleh rasa penasaran dan bingung. Gadis itu berakhir duduk di samping Rianti dan menganggukkan kepada Rashdan dan Mur dalam kebisuan sebagai sapaan.
"Ternyata dia anak Pak Hadid. Cantik sekali," puji Mur, ikut mengingat gadis yang dibantunya kemarin.
"Masya Allah, terima kasih," ucap Hafsah, tersipu malu.
Rashdan menatap dalam Hafsah yang menundukkan kepala. Tingkah gadis itu diperhatikan dalam diam sambil mengingat cerita kedua orang tua Hafsah, Hadid dan Rianti mengenai pendidikan gadis itu yang hanya lulusan sekolah menengah atas saja. Meskipun begitu, Rashdan tidak memandang sebelah mata gadis itu, malah memujinya yang tampak menunjukkan adab baik saat bersikap dan bertutur.
"Hmm ... ada acara apa?" tanya Hafsah dan melirik kedua orang tuanya bergantian.
Ekspresi Rianti dan Hadid sedikit berubah, volume senyuman mereka berkurang dalam beberapa detik, lalu sepasang suami-istri itu tertawa ringan membuat Hafsah mengerutkan dahi sedikit bingung, merasa sesuatu yang tidak beres disembunyikan oleh mereka.
"Kedatangan kami ke sini memiliki niat baik. Kami ingin melamar Mbak Hafsah," ujar Mur dengan nada suara terdengar ragu, tidak terlalu berani untuk berkata secara spontan.
"Maksudnya, bagaimana? Melamar pekerjaan?" Hafsah tersenyum ringan dengan raut wajah masih terlihat bingung.
Mur menepuk paha kanan Rashdan, menarik perhatian gadis itu dsn mengalihkan pandangan Hafsah kepada pria itu yang baru menundukkan kepala, menatap kedua tangan yang menyatu di atas pangkuannya.
"Begini. Ustaz Rashdan datang ke sini untuk menjadikanmu istrinya," terang Hadid dengan wajah senang, juga terselip sedikit raut wajah ragu anaknya itu akan menerima lamaran tersebut.
"Ayah ...," tegur Hafsah, mengira sang ayah bergurau mengingat kebiasaan pria paruh baya itu begitu.
"Ayahmu benar," bantu Rashdan.
Hafsah langsung diam kaget, tercengang, mematung dalam beberapa detik sampai akhirnya tersenyum bodoh, merasa mereka sedang mengerjainya. Ia tidak percaya mengingat Rashdan memiliki istri dan anak, lalu keluarga mereka juga terdengar olehnya cukup harmonis.
Rianti berdiri dengan menunjukkan senyuman terdengar dengan tawa ringan kepada Rashdan. Tangan kanan wanita paruh baya itu menggenggam dan menarik pergelangan tangan Hafsah, mengajak gadis itu yang masih menganggap mereka bercanda beranjak memasuki kamar yang berada tepat di belakang bangku ruang tamu yang diduduki Rashdan.
Usai pintu kamar ditutup, senyuman bodoh itu masih tergambar di wajah Hafsah kepada Rianti.
"Kalian mau merayakan apa sampai bercanda begitu besarnya?" tanya Hafsah.
"Ini bukan candaan,” timpal Rianti dengan wajah serius.
Senyuman Hafsah memudar spontan dan tergambar ekspresi kaget setelah itu.
“Ustaz tampan itu ingin menjadikanmu istri keduanya. Dia baru saja cerita kalau tiga malam ia dia bermimpi, mendapatkan petunjuk yang merujuk dirinya menikahimu. Ini sebuah anugerah, sebuah kebaikan, karena kalian bisa bersama atas seizin Allah," ucap Rianti, berbicara dengan suara senang karena bahagia memikirkan dirinya akan mendapatkan menantu seorang ahli agama.
"Tapi, dia sudah memiliki istri dan anak. Jika aku berada di posisi istrinya, aku tidak akan bisa menerima kenyataan itu, Bu ... itu hanya sebuah mimpi belaka, tidak perlu dipercaya." Secara tidak langsung Hafsah menolak keras lamaran Rashdan di hadapan sang ibu.
"Dia sudah membincangkannya bersama istri dan keluarganya. Mereka setuju," bujuk Rianti, masih berharap Hafsah dapat mengubah pendapatnya mengenai istri kedua yang dianggap tidak baik.
"Dia seorang pria yang mengerti agama, dia pasti tahu mana salah dan benar” Rianti masih membujuk anaknya itu dengan nada suara dan raut wajah memelas.
Pembicaraan mereka samar ditangkap oleh kedua indra pendengaran Rashdan. Pandangan pria itu mengarah ke depan, mengadunya dengan Hadid yang tersenyum, tapi telinganya fokus ke belakang.
Pria itu bisa mengerti posisi dan pola berpikir Hafsah saat itu sampai menolak lamarannya. Namun, ia juga tidak bisa berbuat banyak, mimpi yang dialaminya semalam menjadi sebuah petunjuk yang dirasa membawa kebaikan untuknya dan Hafsah.