Pandemi korona, tidak mengubah apapun dari hidup Niki Arsenio. Ia tetap tidak punya pacar. Boro-boro pacaran, punya teman saja tidak. Salahnya, karena lebih banyak menghabiskan waktu dengan bermain game alih-alih bergaul dengan anak-anak sebaya.
Sampai suatu ketika, Niki terperangkap oleh kecerobohannya sendiri. Akibat mengabaikan tugas sekolah, ia terpaksa menjadi pacar untuk tiga orang cewek sekaligus!
Bagaimana mungkin? Cewek? Mau jadi pacarnya? Udah gitu tiga orang pula!?
Dengan channel youtube yang harus diurus dan UAS yang sudah di depan mata, nggak ada waktu untuk Niki berpikir.
Demi membuktikan diri dan mempertahankan password WiFi, Niki pun harus berjibaku dengan plot klise seperti di anime-anime komedi romantis. Mampukah Niki melakukannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pisanksalto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Huh? Ada Tugas? (Part 2)
Masuk, guys. Absen. Bu Fatma sudah nungguin. Jangan sampai ada yang dialpa, pesan beliau.
Tunggu.
Mana data nama kelompok yang kuminta?! Aku geregetan. Harusnya aku tahu. Aku bukan prioritas Ketua Kelas saat ini. Emang iya, sih. Tapi kan aku yang duluan? Nggak juga.
Aku hendak melempar smartphone-ku ke kasur—karena kalo ke lantai bakal rusak—sebelum notifikasi dari Ketua Kelas bergetar. FYI, smartphone-ku selalu mode silent.
Maaf, Niki, nanti file-nya kukirim habis pelajaran Bu Fatma aja, ya. Laptopku tiba-tiba nge-hang, file-nya di sana semua soalnya.
Press F to pay respect.
F.
Hanya huruf itu yang bisa kuketikkan. Habis sudah harapanku.
Haha. Biasanya bener sendiri, sih. Niki, buruan kamu masuk, Bu Fatma nyariin. Ntar kamu dialpa, lho.
Dengan pasrah, aku mengklik link yang tadi Ketua Kelas bagikan. Apa yang lebih menakutkan dari sekolah online? Dialpa atau dimarahin karena telat masuk meet? Kurasa keduanya menakutkan. Terkhusus untuk kasusku.
Di meet, aku langsung diceramahi Bu Fatma. Isinya tentang kedisiplinan dan kemampuan membagi waktu. Kudengarkan saja. Sampai mendapat giliran bicara, baru kukatakan bahwa jaringanku bermasalah dengan terpotong-potong. Ulang. Pura-pura terpotong-potong. Masalah pun selesai. Harusnya. Perlu diingat aku datang tanpa mengetahui yang mana dari 28 murid di kelas ini yang merupakan kelompokku. Aku seperti orang asing di acara kumpul keluarga.
Satu per satu tugas video di-review. Kekurangan maupun kelebihan sekecil apapun nggak luput dari mata Bu Fatma. Aku manggut-manggut memperhatikan tugas video kelompok-kelompok yang ditampilkan. Tugas video wawancara tentang dampak korona pada suatu profesi. Siswa bebas memilih. Mulai dari polisi sampai penjual gado-gado. Dan tentu saja aku nggak ingat apapun tentang tugas semacam ini.
Sebenarnya bukan kritikan tajam dari Bu Fatma yang bikin merinding. Melainkan, saat Bu Fatma memanggil setiap nama dari masing-masing kelompok. Nama yang dipanggil, harus menjabarkan peran serta dirinya dalam pengerjaan tugas. Sekali lagi. Menjabarkan. Bukan menyebutkan. Dengan begini, Bu Fatma jadi tahu siapa yang benar-benar ngerjain atau sekedar numpang nama.
Aku duduk mematung menatap layar. Menunggu namaku dipanggil sudah kayak menunggu giliran disunat. Keringat dingin membanjiri pelipis. Aku tetap berusaha memegangi smartphone meski tanganku mulai kebas. Kalau nggak akan bikin masalah yang lebih besar, mending aku AFK saja.
"Kelompok 6 sudah," ujar Bu Fatma melalui meet. "Giliran Kelompok 7, ya. Kelompok terakhir."
Aku menarik napas, lalu mengembuskannya. Entah sejak kapan napasku jadi manual. Aku berharap namaku disebutkan, tapi di sisi lain juga tidak.
Video Kelompok 7 ditayangkan. Layar meet yang tadinya menampakkan wajah Bu Fatma yang satu-satunya buka kamera, kini beralih menjadi layar penuh warna. Animasi kupu-kupu merah muda terbang membelah layar meninggalkan jejak nama-nama anggota kelompok.
"Bagus," komentar Bu Fatma. "Ibu suka warnanya."
Aku tersenyum sendiri menatap layar. Mengesampingkan intro alay serta kecewekkan-cewekkan yang terlihat familiar itu, editannya memang bagus, bukan, tapi sempurna. Dan, coba tebak apa yang membuatnya sempurna. Ada namaku di sana! Ya, walaupun ditulis agak kecil dan ditaruh di pojokan, tapi itu namaku! Benar-benar namaku!
Air mataku hampir menetes. Aku dianggap. Kelompokku adalah malaikat!
Bu Fatma menjeda video, mengabsen nama yang terpampang. "Ferra Laila Kusuma, Sheina Apriliana, Arini, dan Niki Arsenio. Kerja bagus. Sejauh ini video kalian yang paling estetik menurut Ibu."
Dadaku mengembang. Meski bukan aku yang ngerjain, tapi kapan lagi dipuji oleh guru killer sekaliber Bu Fatma? Ingin rasanya aku buka mic dan bilang, "Terima kasih, Bu. Semua ini memang nggak akan terjadi tanpa kerja sama kami semua. Tentu saja." Namun urung karena aku masih sadar tata krama. Orang yang hanya numpang nama nggak usah banyak bacot. Sudah untung namaku ditulis. Jadi, berterimakasihlah.
"Te-terima kasih, Bu." Sheina yang membalas. Aku tau karena melihatnya dari daftar nama peserta meet.
Bu Fatma melanjutkan video. Nampak masing-masing anggota memperkenalkan diri. Menyebut nama dan nomor absen. Sepertinya, video diambil di kediaman masing-masing lalu di satukan. Wah, kelompok sebelumnya nggak ada yang seperti ini. Benar-benar inovatif.
Sejauh ini aku bangga pada kelompokku, sampai Bu Fatma berkata. "Lho? Kenapa cuma tiga orang yang perkenalan? Niki mana? Oh, sekalian wawancara mungkin." Video dipercepat ke bagian tengah. "Rini yang wawancara. Niki kerjanya apa di sini? Niki. Niki masih ada?"
Smartphone-ku jatuh. Untung ke kasur. Aku memungutnya dengan tangan gemetar dan berkeringat. Jariku mengawang diantara dua tombol. Antara tinggalkan meet atau open mic. Antara kabur atau berbohong lagi yang sudah pasti ketahuan karena aku memang nggak ngerjain.
Aku hampir menekan tombol merah ketika samar-samar suara klakson terdengar di meet. Seseorang yang sedang berada di ruang terbuka tengah membuka microphone-nya. Arini.
"Halo halo. Tes. Apa suara saya terdengar?"
"Iya, Arini, terdengar," sahut Bu Fatma.
"Begini, Bu, mungkin Niki lagi benar-benar bermasalah sama jaringannya. Maklum, Bu, anak itu memang jarang bergaul, jadi sama jaringan aja hubungannya nggak harmonis. Tapi, Niki benar-benar mengerjakan tugasnya, kok, Bu," lanjutnya tergesa.
"Benarkah?"
Persis, aku juga menanyakan hal yang seperti Bu Fatma. Sebenarnya, aku mengerjakan tugas atau nggak, sih? Mana yang benar? Dari ingatanku, jelas tidak. Apa jangan-jangan aku amnesia? Tiba-tiba bangun di rumah sakit kayak di sinetron yang sering ditonton Mama. Aku melihat sekeliling. Lemari penuh tumpukan buku dan konsol gim. Ini jelas kamarku.
"Iya, Bu," jawab Arini. Dari nada suaranya, sih, mantap. Nggak ada keraguan.
Bu Fatma menghentikan presentasi. Kacamatanya memantulkan cahaya monitor. Tipikal orang-orang tua pas melakukan video conperence, wajah Bu Fatma terlalu dekat dengan kamera. "Lalu, Niki kebagian mengerjakan apa? Tidak kelihatan kerjanya dia. Kalo kamu, kan, Rin, kelihatan karena bertugas mewawancarai narasumber. Coba kamu jelaskan apa tugasnya Si Niki. Dari tadi nggak muncul-muncul orangnya. Ibu curiga dia tidak berkontribusi apapun. Kasian kalian yang mengerjakan."
"Siap, Bu. Niki kebagian tugas me—" Suara kendaraan besar meredam suara Arini. "Halo?"
"Lanjutkan, Rin."
"Jadi kami tinggal—" Suara kendaraan besar lagi.
Ini anak dimana, sih? Trotoar? Ngapain? Orang lagi korona, dia malah keluyuran. Astaga.
"Suaramu kurang jelas, Rin," ujar Bu Fatma.
Arini mematikan mic-nya.
Sunyi sejenak. Seseorang membuka mic. Ferra. "Izin masuk, Bu. Kami, kelompok tujuh sudah bagi tugas, Bu; saya yang bikin script, Sheina yang mencari narasumber, Arini yang mewawancarai, dan Niki yang mengedit video. Kenapa Niki tidak ikut perkenalan, karena dia kurang ganteng. Daripada merusak keindahan video yang telah dibuat, lebih baik dia di-skip saja katanya, Bu."
Benar. Aku memang kurang ganteng. Wait, what?! Alasan macam apa itu?!
Bu Fatma terdiam cukup lama sebelum akhirnya mengangguk. Ekspresinya serius. "Baiklah kalau dianya mau begitu. Tapi Ibu tetap perlu klarifikasi langsung dari Niki. Karena sebagai pengajar Ibu harus skeptis dengan setiap informasi yang masuk dan mencari kebenarannya." Bu Fatma pun mengakhiri review tugas video dan pembelajaran yang sangat-sangat kusadari telah berlangsung dua jam. Bu Fatma sekali lagi menekankan kedisiplinan dan jika ada masalah ketika belajar online untuk segera menghubungi beliau. Tentu saja sambil marah-marah. Apalagi dua minggu dari sekarang akan diadakan Ujian Akhir Semester.
Korona memang memaksa kita untuk membatasi aktivitas. Biar begitu kita harus bisa beradaptasi. Jangan mau kalah dengan virus kecil ini. Tetap jaga kesehatan dan patuhi protokol, pesan Bu Fatma. Usai do'a penutup, meet akhirnya dibubarkan.
Aku memandangi layar smartphone. Mencoba memahami kejadian yang baru kualami. Beberapa menit yang lalu, aku terancam nggak naik kelas karena nggak ngerjain tugas. Namun, alih-alih mengadukan atau nggak nulis namaku sekalian, teman kelompokku justru melindungiku. Mengatakan aku mengerjakan tugas. Padahal nggak. Wow. Inikah definisi teman yang sesungguhnya?
Smartphone-ku tiba-tiba bergetar. Satu pesan masuk, dari Ketua Kelas.
listkelompokindo.docx
Itu sudah kukirimkan, ya.
Aku tertawa hambar. Kamu telat, Ketua Kelas. Aku sudah basah dimarahi Bu Fatma. Namun ...
Terima kasih.
Dan selain Ketua Kelas, ada tiga orang lagi yang harus kukirimi ucapan terima kasih dan permintaan maaf karena telah menjadi beban tim. Well, saat main game biasanya aku yang meng-carry, sekarang aku yang di-carry.
Karena aku nggak menyimpan satupun kontak teman sekelas, aku pun membuka grup kelas. Walaupun akan terasa aneh sebab terlalu tiba-tiba, aku berniat untuk mengungkapkan perasaanku secara pribadi kepada Ferra, Sheina, dan Arini. Aduh. Kenapa kedengarannya kayak cowok jones yang mau nembak cewek lewat WA, ya? Ah, sudahlah.
Ketika mencari nomor Sheina di list anggota grup kelas, tiba-tiba smartphone-ku bergetar. Sebuah panggilan suara. Dan smartphone-ku hampir jatuh lagi saat aku tahu siapa yang menelepon. Nomor asing. Tapi dari foto profilnya kayaknya aku kenal cewek ini. Pernah lihat di meet. Ferra?! Benar. Ferra. Demi apa Ferra meneleponku?!
Kepencet kah?
Aku menggeleng. Nggak mungkin. Deringnya lama. Mungkin dia ada perlu. Lagi pula ada yang ingin kusampaikan. Sekalian aja. Jadi aku pun menarik tombol hijau ke atas. Panggilan tersambung tapi nggak ada satupun dari kami yang mulai bicara. Mustahil aku yang lebih dulu, sebab sekarang aku sudah panik sampai ubun-ubun!
Nggak pernah teleponan sama cewek sebaya sejak pertama kali diberi kepercayaan untuk memiliki ponsel oleh ortu. Apa yang kamu harapkan dari cowok seperti itu? Kalimat macho kayak 'Halo Ferra, sudah lama kamu nggak nelpon aku. Kamu nggak apa-apa, kan? Aku rindu suaramu.' Nggak mungkin bisa langsung kayak gitu! Ini bukan chat, di mana aku bisa menyusun kata-kata terlebih dahulu. Ini sama saja dengan bicara langsung. Tapi. Nggak langsung. Gimana, sih?!
Beberapa detik kemudian, dua orang bergabung dalam panggilan. Arini dan Sheina?
"Kenapa nelpon, sih? Udah tau aku sibuk!" cerocos Arini, dengan backsound suara kendaraan berlalu lalang.
Ferra menyahut, "Bukannya kamu sendiri yang bilang kita harus segera membahas hukuman Niki?"
"Iya, tapi nggak sekarang juga kali. Aku matiin. Bye. Oh, hai Sheina."
"H-hai,"
Arini meninggalkan panggilan suara.
Ferra menghela napas. "Aku berusaha untuk mencoba mengerti caranya bekerja tapi dia seolah nggak peduli. Sheina, bisa masukkan Niki ke grup? Kita lanjutkan di sana."
Sheina cepat mengiyakan lalu segera meninggalkan panggilan.
Hanya tinggal aku dan Ferra. Berdua saja.
"Aku tau kamu di sana, Niki," kata Ferra tiba-tiba.
Aku ketahuan! Siaga merah! Pura-pura kendala jaringan!
"Nggak usah panik. Aku nggak gigit, kok. Setidaknya sekarang." Ferra terkekeh. Bulu kudukku meremang. "Seperti yang kamu dengar. Kamu akan dihukum. Tenang saja, kami nggak akan menyakitimu. Hanya sedikit... bermain. Dengan perasaan. Kamu nggak bisa kabur lagi. Kecuali kamu ingin Bu Fatma mengetahui rahasia kecil diantara kita. Niki, cepat atau lambat kamu akan jadi milikku."
Panggilan diakhiri.
Jantungku serasa berhenti. Meski hanya via panggilan WA, Ferra mampu membuatku lupa caranya bernapas. Bukan hanya karena suaranya yang merdu mendayu kayak Onee-san di anime, tapi juga karena kata-kata terakhirnya.
Apa sekarang sudah saatnya mengontak guru BK?