Tentang sebuah perasaan dan liarnya hati ketika sudah tertuju pada seseorang.
Rasa kecewa yang selalu menjadi awal dari sebuah penutup, sebelum nantinya berimbas pada hati yang kembali merasa tersakiti.
Semua bermula dari diri kita sendiri, selalu menuntut untuk diperlakukan menurut ego, merasa mendapatkan feedback yang tidak sebanding dengan effort yang telah kita berikan, juga ekspektasi tinggi dengan tidak disertai kesiapan hati pada kenyataan yang memiliki begitu banyak kemungkinan.
Jengah pada semua plot yang selalu berakhir serupa, mendorongku untuk membuat satu janji pada diri sendiri.
”tak akan lagi mencintai siapapun, hingga sebuah cincin melekat pada jari manis yang disertai dengan sebuah akad.”
Namun, hati memanglah satu-satunya organ tubuh yang begitu menyebalkan. Untuk mengendalikannya, tidaklah cukup jika hanya bermodalkan sabar semata, satu moment dan sedikit dorongan, sudah cukup untuk mengubah ritme hari-hari berikutnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lu'lu Il Azizi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Terakhir kali merindukan dan dirindukan
Dulu beliau adalah Ibu kos ku, semasa aku masih menjadi pelajar. Meski sudah beberapa tahun yang lalu aku selesai dengan pendidikan, namun hubungan kami masih sangat baik. Bahkan beliau sudah menganggap ku seperti anak sendiri, begitupun sebaliknya, aku juga sudah menganggap beliau seperti Ibu ku sendiri.
Aku akrab dengan semua anggota keluarganya, dulu aku sering menginap di sana karena salah satu anak beliau adalah temanku ngegame.
”tumben Ibuk menelepon.”pikirku, mengubah posisi menjadi duduk pada sofa seraya bersiap menjawab.
”assalamungalaikum, buk.”sapaku pada beliau.
”wangalaikumsalam. Sedang luang Le..?”suara Ibuk terdengar keras. Seperti biasa, khas Ibu kos.
Kami mulai bercengkerama, Ibuk bertanya tentang keseharian ku, aku lebih banyak mendengarkan, sesekali meneguk kopi disela Ibuk yang sedang berbicara panjang, memang sudah cukup lama aku tidak main ke rumah beliau.
”dulu kau pernah bertanya pada ibuk tentang Ain, masih ingat le..?”tiba-tiba beliau mengganti topik.
Sejenak aku terdiam, mengingat kembali sebuah percakapanku dengan Ibuk sekitar dua tahun yang lalu.
”iya, memangnya kenapa buk?”jawabku, meski cuma teringat secara garis besarnya saja.
”apa kau masih memiliki minat itu le..?”ucap Ibuk tegas, tanpa basa basi.
Aku cukup kaget, karena mulai paham kemana arah pertanyaannya. Hanya saja aku masih tidak tau harus menjawab apa, karena bagiku pembicaraan itu sudah lama, lagi-lagi aku terdiam.
”bagaimana kalau aku menjodohkan kalian?”Ibuk kembali bicara, mungkin karena terlalu lama menunggu diam ku. Aku masih diam memikirkan sebuah jawaban.
”bukankah Ain masih semester 6 buk?”entah kenapa reflekku menjawab seperti itu.
”memangnya kenapa le..?”Ibuk menjawab singkat, tidak memberiku kesempatan berfikir.
”seingat ku dulu Ain masih belum boleh menikah jika belum lulus, buk.”aku balik memberi pernyataan, mengikuti alur dari pembicaraanku dengan beliau sekitar dua tahun silam.
”memang benar le, sambil menunggu Ain lulus bukankah hal itu bisa kalian gunakan untuk lebih saling mengenal.”jawab beliau dengan nada lebih kalem.
”tapi... lebih dari satu tahun itu lama buk.”jawabku tanpa pikir panjang.
Sekarang ibuk yang terdiam, suasana menjadi lengang sesaat.”Ibuk cuma takut, jika tiba-tiba ayah Ain menjodohkannya dengan orang lain dan kemungkinan besar dia pasti nurut dengan perintah ayahnya.”meski masih menggunakan nada kalem, namun ibuk tampak sedikit memaksa untukku menjawab iya.
Giliranku yang kembali terdiam, cukup lama. Belum ada jawaban yang terlintas di kepalaku, semua begitu mendadak.
”kamu pikir-pikir dulu le.., Ibuk tidak memaksa, ibuk hanya menyarankan.”ucap beliau sebelum akhirnya pamit dan menutup telepon.
“kapan terakhir kali aku bertemu Ain.”pikiranku menyelam, mencari ingatan tentangnya. Menatap langit-langit ruang tamu putih polos tanpa motif yang juga masih berada satu atap dengan gudang dan toko.
Mungkin karena aku masih merasa yakin dengan janji yang ku ucap pada diri sendiri, tawaran ibuk tidak begitu aku ambil pusing. Kalau saja tidak harus menunggu selesai kuliah, mungkin responku akan berbeda. Meskipun tidak dapat aku pungkiri jika ucapan ibuk membuat wajah Ain tiba-tiba terlintas dalam pikiranku.
Ain sendiri adalah anak dari saudara Ibuk yang tinggal diluar kota, saat ini dia masih berada di pesantren sambil menyelesaikan kuliah. Karena rumahnya yang jauh, saat libur atau ada waktu senggang rumah ibuk menjadi tempatnya untuk pulang.
Meski tidak bisa dibilang akrab, namun kami sering menghabiskan waktu bersama, dalam artian rame-rame bukan berdua. Kami sudah saling kenal sejak dia mulai tinggal di kota ini, aku tersenyum saat teringat betapa seringnya aku dulu menjahilinya. Cukup lama aku tidak main kesana, semenjak ke dua anak Ibuk melanjutkan pendidikan ke luar kota.
Hampir sepenuhnya waktu 24 jam aku habiskan di dalam toko, mulai dari bangun tidur hingga kembali untuk bersiap tidur. Sangat jarang aku pulang ke rumah orang tua ku sendiri, meskipun jaraknya tidak begitu jauh.
Circle pertemananku juga tidak besar, semua hanya terisi oleh teman-teman lama. Hampir tidak ada, entah itu tanggal berapa, hari apa, atau jam berapa yang terkesan spesial dan kutunggu-tunggu kedatanganya, itulah kenapa Vika selalu gemar mengejekku.
Di luar tugas pekerjaan, waktuku hanya terisi dengan main game, nonton YT, jika sudah bosan pindah membuka FB, bosan lagi beralih ke beranda IG, bosan lagi ganti scroll TT membaca banyak quotes yang sering kali terasa mirip dengan hal-hal yang sedang kita alami. Tidak ada notice kata penyemangat seperti sudah makan mas, sudah minum mas, sudah berenang mas. Juga tidak perlu meminta ijin, serta tidak ada larangan untukku melakukan apapun atau mau pergi kemanapun.
Aku sampai lupa kapan terakhir kali merindukan ataupun dirindukan seseorang.
***
Sejak habis dhuhur semua tugasku sudah selesai. Stok barang masih aman, toko lain juga tidak ada permintaan apapun. Hari ini rasanya begitu membosankan, sampai sore menjelang aku belum beranjak dari posisi, tengkurap di atas sofa ruang tamu yang berada tepat di samping toko.
Di temani secangkir kopi yang sudah dingin, bungkus rokok tergeletak tepat di sebelahnya, serta kipas angin yang terus menggeleng tanpa lelah. Aku sedang mendengarkan musik random dengan bola mata terfokus mengikuti gerak beberapa semut hitam yang sedang mondar-mandir, entah mencari apa.
“bawakan tiga mangkok kosong, sekaligus sendoknya ke depan..”pesan dari Vika baru saja masuk, diakhiri dengan stiker bocil berekspresi penuh harap.
Meski malas, minimal aku memiliki alasan untuk beranjak dari sofa panjang yang mungkin sudah muak melihatku seperti ikan kehilangan tulang sejak beberapa jam yang lalu.
"di dalam begitu membosankan, diluar malah ada pemandangan ginian.”cetusku pada Vika sambil menaruh mangkok kosong pesanannya.
”namanya juga punya someone. Wajar dong!"kilahnya santai, dia sedang duduk berhadapan dengan pacarnya yang bernama Reno, bermejakan etalase tempat botol kaca parfum sekaligus menjadi pemisah untuk keduanya.
”someone palamu! Siapa coba, yang kemarin ngomel-ngomel mirip ayam kebelet nelor.”ejekku, seraya duduk tepat di sebelah pacar Vika, ia hanya melempar senyum atas ucapanku barusan. Berbeda dengan Vika yang langsung melotot dan mulai memasang wajah antagonisnya.
”gimana kabar? kerjaan aman Ren?”tanyaku pada pada lelaki yang berperawakan lebih tinggi dari aku. mengabaikan wajah Vika yang sudah mengerutkan kening juga alis yang naik sebelah, sinis.
Reno melepas nafas panjang.”namanya juga ikut orang mas, aman gak aman tetap bilang aman. Apalagi aku masih masuk kategori junior.”jawabnya sambil menawarkan sebungkus rokok padaku.
Kami sudah cukup akrab, karena dia lumayan sering ngapel ke toko, makanya dia sudah tidak kaget melihatku dan Vika saling ejek, tanpa takut menyinggung.
”dengerin Vik! Junior itu harus nurut sama senior, sini cium tangan kakak dulu.”bermodal jawaban Reno, aku menjulurkan tangan kanan ke arahnya dengan maksud kembali menggodanya.
”amit-amit!”sergah Vika tanpa kompromi sembari menampar keras telapak tanganku. Aku masih belum puas dan terus mencari bahan untuk mengejeknya. Adanya Reno disini membuat Vika mengontrol diri untuk tidak mengucap kata-kata kasar andalannya, aku menahan tawa karena hal itu.
Meski beberapa kali ia tetap kelepasan dengan jawaban kasarnya. Melihat hal itu, Reno hanya melempar senyum beserta sebuah lirikan dengan arti yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Wajah Vika terlihat jelas, sedang berfikir untuk membalas ku.
Obrolan kami bertiga terhenti, ketika terdengar suara khas yang sudah kami tunggu-tunggu.
”lama amat bang, niat jualan gak!!”Vika langsung bangkit, mendekati penjual bakso keliling langganan kami, bicara ketus tanpa berfikir, penjual bakso hanya tersenyum tipis karena sudah hafal dengan gaya bicaranya.
Aku dan Reno ikut bergabung menyusulnya. Bersiap memilih sekaligus meracik sendiri sesuai selera.
Sedang asik menyantap bakso sambil sesekali memaksa masuk dalam obrolan Vika dan pacarnya, satu pesan masuk dengan nama Pesek.
”mas, kapan main ke rumah?”