Setelah Danton Aldian patah hati karena cinta masa kecilnya yang tidak tergapai, dia berusaha membuka hati kepada gadis yang akan dijodohkan dengannya.
Halika gadis yang patah hati karena dengan tiba-tiba diputuskan kekasihnya yang sudah membina hubungan selama dua tahun. Harus mau ketika kedua orang tuanya tiba-tiba menjodohkannya dengan seorang pria abdi negara yang justru sama sekali bukan tipenya.
"Aku tidak mau dijodohkan dengan lelaki abdi negara. Aku lebih baik menikah dengan seorang pengusaha yang penghasilannya besar."
Halika menolak keras perjodohan itu, karena ia pada dasarnya tidak menyukai abdi negara, terlebih orang itu tetangga di komplek perumahan dia tinggal.
Apakah Danton Aldian bisa meluluhkan hati Halika, atau justru sebaliknya dan menyerah? Temukan jawabannya hanya di "Pelabuhan Cinta (Paksa) Sang Letnan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasna_Ramarta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 Setelah Horor Terbitlah Romantis
"Mas, aku takut. Kaki aku tidak bisa melangkah," ujar Haliza melaporkan keadaan dirinya setelah mendengar kembali suara menakutkan itu.
Aldian membalikkan badan, ia ingin tertawa dan mengejek Haliza agar Haliza merengek meminta bantuannya.
"Kamu tinggal melangkah saja menghampiri aku. Ayolah, jangan manja. Oh iya, ketahuilah, bisa jadi kamu tidak bisa melangkah itu karena kamu tadi tidak merespon ajakan aku untuk malam ini. Maka rasakanlah dan diam di situ untuk waktu yang lebih lama," ejek Aldian masih berdiri di sana.
"Mass, kamu setega itu?" Suara Haliza hampir menangis membuat Aldian tidak kuasa menahan tawa, tapi dia menahan tawanya agar suasana horor itu tetap terasa oleh Haliza.
"Mas," panggilnya lagi, kali ini dia benar-benar sangat takut dan pasrah.
"Ok, aku datang. Tapi kamu harus ikuti perintah aku. Kalau tidak, maka kamu akan aku tinggalkan di dapur ini sendirian," ancam Aldian.
"Mas, tolong mendekat. Aku takut, tubuh aku bergetar dan hampir tidak bertenaga," keluhnya dengan mata memohon rasa iba Aldian.
"Janji dulu untuk mengikuti perintah aku, maka aku akan menghampiri kamu dan membawamu ke kamar," tekannya lagi seraya membalikkan badan pura-pura akan pergi.
"Mas, aku janji ikuti perintahmu," ucapnya lirih dan terdengar terpaksa. Aldian membalikkan badan dengan senyum di bibirnya.
"Baiklah, aku pegang janjimu," ujarnya seraya menghampiri Haliza.
Setelah dekat, Haliza langsung merangkul tubuh Aldian. Tubuhnya bergetar, sepertinya memang sangat ketakutan.
"Sudah jangan menangis, aku sudah dalam pelukanmu. Sekarang tepati janjimu. Kamu harus patuhi perintahku," ulang Aldian mengingatkan.
Haliza mendongak seakan bertanya, apa perintah Aldian itu. "Ambillah dan pakai!" titahnya memberikan gaun tipis yang dibilang Aldian gaun dinas.
Haliza menjengit, dia meringis seketika saat kembali melihat gaun itu.
"Pakai. Kalau tidak, aku akan tinggalkan kamu di sini," ancamnya lagi serius.
"Tapi, kenapa harus di sini dan gaun ini? Ini sangat minim dan terawang," protesnya enggan.
"Itu tidak masalah, yang lihat kamu bukan orang lain, melainkan aku. Kalau aku yang perintahkan, maka kamu harus lakukan. Kalau masih tidak mau lakukan, maka jangan salahkan aku jika aku pergi," ancamnya lagi, berharap kali ini Haliza luluh dan menuruti perintahnya.
"Tapi, kenapa di sini, Mas? Di kamar saja," akhirnya memberikan usul.
"Tidak, di sini saja. Biar gairahnya terasa sejak di sini," ujar Aldian lagi mendesak. Akhirnya dengan sangat ogah-ogahan, Haliza memakai gaun itu di dapur sana, ditunggu Aldian dengan tubuh yang membelakangi Haliza.
"Sudah?"
"Su~sudah," jawab Haliza gugup. Aldian membalikkan tubuh, matanya langsung terbelalak melihat tubuh Haliza yang terekspos nyata di balik gaun seksi itu.
"Sayang." Kalimat mesra itu tiba-tiba muncul dari bibir Aldian. Aldian mendekat lalu meraih pinggang Haliza. Menatap lekat matanya dengan tatap yang syahdu. Aldian seperti singa lapar yang sudah tidak tahan ingin segera menerkamnya.
Lalu secepat kilat, Aldian menggendong tubuh Haliza menuju tangga untuk ke kamar.
Haliza tidak bisa berbuat apa saat Aldian membawa tubuhnya menaiki tangga, padahal ia sangat takut dan merasa malu dengan keadaan dirinya yang hanya menggunakan gaun terawang.
Tiba di dalam kamar, Aldian segera membaringkan tubuh Haliza yang sudah sejak siang tadi menjadi bayangannya. Terbayang indahnya malam ini apabila ia berhasil menyatukan kembali hasratnya yang sudah menggebu-gebu.
"Mas, aku, mau ke kamar mandi dulu." Haliza bangkit dan segera berlari menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, perasaan Haliza sangat tegang. Dia takut mengulang kembali hal itu, karena saat itu sangat sakit. Aldian saja tidak memberinya ampun.
"Haliza, cepatlah, Sayang. Aku sudah siap." Teriakan Aldian membuat bulu tangan Haliza meremang takut. Tapi gedoran pintu kamar mandi, memaksanya keluar.
"Ayolah." Aldian sudah meraih lengan Haliza lalu meraih pinggangnya, tubuh Haliza dia pepet ke tembok. Di sana Aldian melabuhkan sebuah ciuman di bibir Haliza. Haliza tidak bisa menolak lagi. Aldian bagai singa yang lapar, tanpa memberi celah untuk Haliza bernafas.
"Mas," hindar Haliza menahan dengan telapak tangannya karena nafasnya hampir habis. Aldian menatap Haliza sendu. Ia seakan sudah tidak kuat lagi menahan hasrat yang mendorong-dorong sejak tadi.
"Balaslah, jangan hindari aku. Kalau kamu tidak mau sakit," tandas Aldian seraya mengangkat tubuh Haliza merapatkan dengan tubuhnya. Kemudian membawanya ke atas ranjang.
Hujan yang masih mendera di luar, seakan memberi simfoni untuk setiap gerakan yang dicurahkan Aldian.
Sejenak Aldian mematikan lampu utama sebelum ia menyatukan hasratnya bersama Haliza.
"Mas, jangan kasar, aku takut." Permintaan Haliza sebelum Aldian dengan perlahan membenamkan geloranya. Bersamaan dengan itu Aldian melihat Haliza memejamkan mata menahan rasa sakit yang masih dirasakannya. Sebuah senyuman terbit di bibir Aldian setelah dirasakannya Haliza mulai berpasrah pada kuasanya.
Aldian merasa puas, saat tidak ada sejengkalpun yang terlewat dari tubuh Haliza. Bagian atas berhasil Aldian kuasai oleh tato merahnya, tidak peduli Haliza meraung-raung. Entah raung geli atau enak, yang jelas malam ini Aldian sangat puas.
"Cup, cup."
Aldian berulang kali mengecup pipi Haliza sesaat setelah ia menyudahi pergumulan hebatnya. Malam ini dia benar-benar puas.
"Besok kita ulangi lagi," bisiknya lagi merasa ketagihan. Haliza tidak menyahut, ia diam di balik selimut tebalnya.
Setelah itu keduanya larut dalam lelapnya malam yang bersimfoni suara hujan yang masih enggan menghilang.
Subuhpun menjelang, suara adzan berkumandang. Haliza mulai menggerakkan tubuhnya. Hal ini membuat Aldian terbangun. Seperti yang dipintanya semalam, Aldian seakan diingatkan. Subuh ini tidak bisa dihentikan lagi keinginannya, padahal Haliza sudah akan menduduki ranjang.
Kaki Haliza terhenti saat kaki Aldian membelitnya. Kejadian semalam terulang kembali.
"Mas, apa yang kamu tinggalkan di sini? Ini sangat banyak dan memalukan. Lihatlah ini," jerit Haliza disertai isak saat melihat di sekujur leher dan dadanya penuh dengan cap kapak merah. Aldian terkekeh dia bangga telah membuat Haliza menangis dan merajuk karena tanda merah itu betul-betul banyak.
"Jangan malu. Itu sebagai tanda cinta dariku untukmu. Kamu, mau mandi sendiri atau bersamaku," goda Aldian seraya meraih pinggang Haliza untuk menggendongnya.
"Nggak, aku mau sendiri." Haliza berlari dengan deraian air mata. Ia sedih sekujur dadanya habis oleh cap kapaknya Aldian. Pantas saja semalam ia merasakan sakit seperti dicubit, ternyata Aldian menggigit sekujur dada dan lehernya.
"Apa setiap melakukan ini, harus seperti ini? Ini sangat menyakitkan dan memalukan, bagaimana kalau dilihat orang lain?" dumel Haliza masih belum terima.
"Tidak akan malu, karena hanya ada Bi Kenoh di rumah ini selain aku. Kalau kamu merasa malu, tutupi saja dengan syal. Aman," ujar Aldian menganggap enteng seraya mencium kembali pipi Haliza gemas.