“Mama, dadan Luci atit, nda bita tatan ladi. Luci nda tuat..."
"Luci alus tatan, nda ucah bitala dulu. Abang Lui nda tuat liat Luci nanis,” mohon Rhui berusaha menenangkan adik kembarnya yang tengah melawan penyakit mematikan.
_____
Terasingkan dari keluarganya, Azayrea Jane terpaksa menghadapi takdir yang pahit. Ia harus menikah dengan Azelio Sayersz, pimpinan Liu Tech, untuk menggantikan posisi sepupunya, Emira, yang sedang koma. Meski telah mencintai Azelio selama 15 tahun, Rea sadar bahwa hati pria itu sepenuhnya milik Emira.
Setelah menanggung penderitaan batin selama bertahun-tahun, Rea memutuskan untuk pergi. Ia menata kembali hidupnya dan menemukan kebahagiaan dalam kehadiran dua anaknya, Ruchia dan Rhui. Sayangnya, kebahagiaan itu runtuh saat Ruchia didiagnosis leukemia akut. Keterbatasan fisik Rhui membuatnya tidak bisa menjadi pendonor bagi adiknya. Dalam upaya terakhirnya, Rea kembali menemui pria yang pernah mencampakkannya lima tahun lalu, Azelio Sayersz. Namun, Azelio kini lebih dingin dari sebelumnya.
"Aku akan melakukan apa pun agar putriku selamat," pinta Rea, dengan hati yang hancur.
"Berikan jantungmu, dan aku akan menyelamatkannya.”
Dalam dilema yang mengiris jiwa, Azayrea harus membuat pilihan terberat: mengorbankan hidupnya untuk putrinya, atau kehilangan satu-satunya alasan untuknya hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5
Rea mengerjap perlahan, rasa sakit berdenyut di kepalanya yang terasa kaku oleh balutan perban. Matanya yang baru terbuka menangkap sosok bayangan aneh yang bergerak cepat di ujung ranjang.
"Astaga!" Rea terkejut mencoba bangkit, tetapi kepalanya berdenyut hebat.
"Miiiauw."
Suara lembut itu merambat dan Rea melihat seekor kucing orange berbadan gempal yang sedang asyik bermain dengan ujung selimut. Kucing itu berhenti, menatap Rea dengan mata bulatnya, lalu menguap lebar sebelum menunjukkan lidah merah muda kecil.
Rea tersenyum tipis. "Oh, jadi kamu yang membangunkanku?"
Ia kemudian mengedarkan pandangan. Kamar kecil, bersih, dan berbau khas pedesaan. Di ambang jendela kayu, terlihat beberapa pot bunga gantung yang bergoyang ditiup angin.
Aku di mana? Ia memegang perban di kepala. Jelas ini bukan rumah sakit. Terakhir yang kuingat, aku lagi jalan di trotoar, lalu... gelap.
Ia turun dari ranjang, merasakan lantai kayu yang dingin di kakinya. Kucing itu mengekor, menggesekkan tubuhnya ke kaki Rea.
"Hei, aku harus cari tahu ini rumah siapa."
Rea berjalan perlahan menuju pintu yang sedikit terbuka. Tiba-tiba, ia mendengar suara gaduh disusul tawa renyah dari balik pintu.
Gubrak! Krek!
"Astaga, Sayang! Pohon di depan rumah ini tumbang, atau kamu yang sedang latihan silat di dapur, hmm?" Terdengar suara seorang wanita tua, bernada menggoda namun terdengar sabar.
"Ck! Itu karena aku lagi konsentrasi tinggi, Nek. Mengolah bumbu untuk rendangmu! Tiba-tiba saja panci itu menyerang kaki kananku. Aku hanya membela diri!" Suara pria itu terdengar cempreng dan penuh pembelaan diri.
"Oh ya? Panci kok menyerang kaki? Jangan-jangan kamu lagi ngebayangin Janda Muda di Warung Kopi itu lagi, makanya konsentrasi jadi nol!"
Tawa pria itu mendadak terhenti. "Astaga, Nenek, itu kan masa lalu. Kenapa harus dibawa-bawa lagi? Aku sudah setia menemanimu bikin rendang selama 40 tahun terakhir, tahu!"
"Huh! Setia karena kamu tidak punya pilihan lain, Pardi!"
"Pardi siapa? Aku Romo, Rita!"
Rea yang berada di balik dinding tersenyum kecil, menutup mulutnya menahan tawa. Pasangan lansia ini benar-benar menghibur. Rasa sakit di kepalanya seolah berkurang.
Ia memberanikan diri melangkah, muncul di ambang pintu dapur.
"Selamat siang..." sapa Rea, nadanya sedikit ragu.
Pasangan lansia itu terdiam. Mereka adalah seorang Nenek berkonde dengan celemek motif bunga dan Kakek berkumis tebal yang sedang memungut serpihan kerupuk di lantai. Mereka berdua menoleh serempak ke arah Rea.
"Ya ampun! Siapa kamu?" tanya Nenek Rita, menunjuk Rea dengan sendok kayu.
"Itu... dia yang pingsan di pinggir jalan dekat kebun teh, Nek. Yang Kakek bawa seminggu yang lalu," jelas Kakek Romo berbisik keras sambil menyikut lengan istrinya.
Nenek Rita menepuk jidatnya. "Ya Tuhan! Aku kira itu bidadari yang baru muncul dari balik tirai dapur! Kamu sudah sadar, Nak? Kenapa diam-diam saja?"
Rea hanya tersenyum memperlihatkan lesung pipinya yang manis. Senyum itu membuat pasangan lansia itu tertegun seketika lupa pada perdebatan mereka.
"Kamu dari kota, kan? Pakaianmu bagus sekali," tanya Nenek Rita mendekat dan mengelus lengan Rea dengan lembut. "Kenapa kepala bisa sampai luka begini? Apa kamu lari dari... perjodohan paksa?"
"Aduh, Nenek ini! Jangan menakut-nakutinya! Dia belum makan!" Kakek Romo memprotes. "Sini, Nak, duduk. Nenekmu ini memang banyak tanya. Nanti saja ceritanya."
Nenek Rita mendengus lalu meletakkan semangkuk bubur ayam dengan irisan cakwe di depan Rea.
"Makan ini dulu, biar ada tenaga. Semalam Ibu Bidan datang, dia bilang kamu... sedang berbadan dua," kata Nenek Rita, suaranya melunak.
"Berbadan... dua?" Rea tercekat, matanya langsung tertuju pada perutnya yang kini terasa lebih membulat. Ia menggeleng cepat. "Saya... saya tidak tahu, Nek."
"Tidak tahu? Astaga, Nak! Kata Bu Bidan sudah masuk minggu ke delapan. Kamu tidak merasakan apa-apa?"
Rea memegang perutnya. Memang benar, belakangan ia sering mual, tapi ia mengira itu hanya karena masuk angin biasa. Hamil? Anak Azelio? Tapi... hanya satu malam... Perasaan campur aduk menyerbu antara takut dan haru.
"Ya sudah. Sekarang makan, jangan terlalu dipikirkan. Nak, kamu punya keluarga di mana? Biar kami antar pulang. Tidak baik ibu hamil hidup sendiri."
Rea menggeleng, menatap Nenek Rita dengan mata berkaca-kaca. "Saya... sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Nek."
Nenek Rita dan Kakek Romo saling melempar pandangan dan sebuah kehangatan terpancar di mata mereka.
"Kalau begitu, tinggal saja di sini," ujar Nenek Rita mantap sambil mengusap punggung tangan Rea. "Anggap saja kami ini Kakek dan Nenekmu. Kami senang kok, kalau ada yang menemani kami."
"Boleh, Nek?" Rea merasakan air matanya menetes.
"Tentu saja boleh, Nak. Kami ini sudah tua, butuh cucu yang bisa merawat kami. Kamu mau kan jadi cucu kami?" Kakek Romo tersenyum lebar, menampakkan gigi depannya yang ompong.
Rea mengangguk cepat. Ia mengusap perutnya lagi, kali ini dengan senyum yang dipenuhi kelegaan dan harapan.
Terima kasih, Sayang. Mama akan menjaga kalian.
Lima Tahun Kemudian...
Di kebun teh yang berbukit hijau, Rea kini terlihat jauh berbeda. Kulitnya berubah eksotis karena sering terpapar sinar matahari, dan tangannya cekatan memetik daun teh. Ia tampak begitu mempesona dalam balutan pakaian sederhana. Di kakinya, berlarian dua bocah kembar yang lucu dan energik.
"Mama! Cini cini! Liat! Lui dapat dumbang tandut becal!" teriak seorang anak laki-laki dengan kaos lusuh, dan lesung pipi. Bernama Rhui Sayersz.
"Ihh... Abang kotol! Ental Luci nda mau peluk!" sahut adik kembarnya, Ruchia, dengan gaya bicara yang cadel dan sama lincahnya.
"Ndak kotol kok, Luci! Ini hadiah buat Mama!" Rhui berlari ke arah Rea.
"Oh, masyaallah, Nak! Jangan lari-lari! Nanti jatuh!" Rea tertawa sambil meraih Rhui dan menggendongnya di pinggul.
"Papaaah! Ada montel dumbang!" jerit Ruchia berlari ke arah Nenek Rita yang sedang menyiram bunga di teras rumah.
"Heh, siapa itu Papa? Kami ini Nenek dan Kakek!" protes Nenek Rita sambil berpura-pura marah. Kakek Romo di belakang hanya terkekeh melihat Rea dikelilingi dua anak kembar itu.
...****************...
Di tempat lain, jauh di ibu kota di sebuah ruang makan mewah, ada keheningan yang tegang. Tampak seorang bocah laki-laki lain yang mirip Rhui dan Ruchia, baru saja menjatuhkan piringnya dengan tidak sengaja. Prang!
"Rexan, kamu kenapa, Sayang? Apa ada yang sakit?" tanya Mami Azura, panik. Pelayan bergegas membersihkan pecahan piring.
"Lecan ndak cuat matan, Mami..." bisik Rexan, menahan mual. Mata polosnya kemudian menoleh pada Azelio yang duduk di seberangnya yang tampak sama sekali tidak menyentuh hidangan mahalnya. Azelio terlihat pucat dan dipenuhi beban pikiran.