Setelah kepergian istrinya, Hanan Ramahendra menjadi pribadi yang tertutup dan dingin. Hidupnya hanya tentang dirinya dan putrinya. Hingga suatu ketika terusik dengan keberadaan seorang Naima Nahla, pribadi yang begitu sederhana, mampu menggetarkan hatinya hingga kembali terucap kata cinta.
"Berapa uang yang harus aku bayar untuk mengganti waktumu?" Hanan Ramahendra.
"Maaf, ini bukan soal uang, tapi bentuk tanggung jawab, saya tidak bisa." Naima Nahla
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asri Faris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2
Apakah pria itu serius? Ia bahkan tidak menanyakan perasaannya apakah bersedia atau tidak. Terdengar cukup ngeyel dan sangat misterius.
"Kenapa bengong, mana ponselmu?" ujarnya menengadahkan tangannya.
"Untuk apa Pak? Saya akan usahakan izin untuk besok," ucap Nahla seperti tak ada ruang gerak untuk berpikir.
"Oke, deal, datang pagi hari sebelum pukul enam, pastikan dengan senyum bahagia selama menjaga anakku."
Nahla mengangguk paham, ia pun berniat pamit karena hari sudah sore.
"Sebaiknya pulang setelah adzan, tidak baik waktu maghrib berada di jalan!" ucap pria itu terdengar memperingatkan.
Benar juga, gegara obrolan mereka yang ngalor ngidul belum jelas, membuat waktu keduanya tersita habis. Mau tidak mau Nahla mengiyakan.
"Pa, Miss Nahla tidak jadi pulang?" tanya Icha kegirangan. Entah mengapa putrinya itu sangat menyukai dan begitu dekat dengan Nahla. Beberapa kali seorang perempuan mencoba mendekat, tidak pernah membuatnya nyaman. Kenapa dalam waktu kurang lebih empat bulan saja perempuan itu makin akrab dengan anaknya.
"Jadi, tapi nanti, ajak Miss Nahla masuk Icha!" ajak pria itu beranjak lebih dulu.
"Miss, ayo, kata papa, nggak jadi pulang, besok jadi ngantar Icha kan?" ajak bocah itu menuntun gurunya masuk.
Perempuan dua puluh tiga tahun itu mengangguk sambil berjalan. Sebelumnya Miss Nahla tidak pernah masuk ke rumahnya hingga dalam apalagi sampai kamar Icha. Perempuan itu mentok di ruang tamu atau ke belakang numpang kamar mandi jika ada perlu.
"Sayang, Icha ada mukena besar nggak? Miss pinjam," pinta gadis itu dengan lembut.
"Hmm ... sebentar Miss, Icha bilang ke papa dulu aja."
Gadis kecil itu belum sempat beranjak ketika sebuah pintu dibuka tanpa permisi. Pria itu datang, masuk lalu menaruh mukena di atas ranjang putrinya.
"Pa, kok bisa tahu kalau tadi Miss Nahla mau pinjam," ujar Icha dengan celotehnya.
Pria itu hanya menanggapi dengan senyuman, selebihnya tanpa sepatah kata pun keluar begitu saja. Nampak datar dan jutek, padahal baru beberapa menit yang lalu mengajak dirinya nikah.
Icha dan Miss Nahla sholat di kamar. Usai menunaikan jamaah, perempuan itu membantu gadis kecil itu menyiapkan beberapa barang yang akan dibawa besok. Termasuk pakaian ganti dan baju renang.
"Icha, sampai ketemu besok ya, Miss harus pulang dulu," pamit Miss Nahla sedikit kebingungan hendak pamit pulang. Sementara pria itu ke mana. Tidak mungkin juga meninggalkan bocah kecil itu sendirian di rumah.
"Ayahmu mana? Apa dia di dalam, tolong sampaikan padanya kalau miss pamit," pinta Nahla bingung juga.
Icha menurut, gadis itu terlihat mengetuk pintu kamar ayahnya lalu masuk. Tak berselang lama, pria itu keluar dengan menggendong Icha.
"Maaf Pak, mau pamit," ucap Nahla sopan.
"Biar aku antar, ini sudah malam," jawab pria itu lugas.
"Tapi kan saya bawa motor Pak," tolak Nahla benar adanya.
"Anak gadis tidak baik jalan malam-malam, silahkan jalan di depan saya, nanti mobil saya buntutin kamu dari belakang," jawabnya tenang. Hanan juga harus memastikan keselamatan perempuan itu sampai rumah.
"Ayo!" ucap pria itu lagi seakan membuyarkan lamunan sesaat Nahla.
Perempuan itu beranjak, agak tidak nyaman kala pria itu benar-benar ingin mengikuti motornya. Seperti memberikan perlindungan, pria itu menerangi jalan dengan sorot mobilnya. Mengiringi motor di depannya yang berjalan dengan kecepatan sedang.
Suasana kanan kiri memang gelap, sebelumnya Nahla juga tidak pernah berkendara malam. Hanya beberapa kali kalau memang berkepentingan sampai petang. Beruntung ada mobil Pak Hanan yang cukup membantu.
Perempuan itu menghentikan motornya tepat di ujung sebuah halaman. Nampak mobil di belakangnya juga ikut berhenti. Perempuan itu turun dari motor, menghampiri mobil Pak Hanan.
"Sudah sampai Pak, sebelumnya terima kasih," ucap Nahla sopan.
"Rumah kamu yang mana?" tanya pria itu mengamati rumah di sekitar yang berderet layaknya sebuah perumahan.
"Itu kediaman saya, terima kasih sebelumnya," ucapnya lagi.
Nahla sedikit bingung saat pria itu tak kunjung pergi menyalakan mobilnya. Malah turun seorang diri. Icha sendiri ketiduran di mobil.
"Bapak mau ke mana?" tanya Nahla kebingungan.
"Ngantar kamu," ujarnya santai.
"Sudah sampai, sebaiknya pulang," usir Nahla agak takut jika ketahuan orang tuanya.
Nampak Bapak keluar rumah, disusul ibu di belakangnya, mungkin karena mendengar deru mesin motor anaknya pulang tetapi tak kunjung masuk. Orang tua Nahla tentu saja menatap ke arah kedua manusia yang tengah berbincang itu.
"Itu orang tua kamu?" tanya Pak Hanan cukup jelas.
"Iya," jawab Nahla mengangguk. Tanpa diduga, pria itu mendekat ke arah pintu, membuat Nahla panik saja. Perempuan itu berjalan cepat menyusul pria itu.
"Selamat malam, Pak, Bu!" sapa Hanan sopan, ramah, dan full senyum. Sungguh berbeda sekali saat bertegur sapa atau berbicara dengan Nahla yang bahkan tidak pernah menatap, atau tersenyum sedikit saja.
Seingat Nahla, sampai detik ini bahkan pria itu belum pernah tersenyum padanya. Jutek, dan terlihat sedikit sombong.
"Malam," jawab orang tua Nahla kompak.
"Saya mengantar Nahla, Pak, Buk, maaf, kalau jam mengajar putri saya sampai malam," ucap pria itu ramah.