Dia hanya harus menjadi istri boneka.
Bagaimana jika Merilin, gadis yang sudah memendam cintanya pada seseorang selama bertahun-tahun mendapatkan tawaran pernikahan? Dari seseorang yang diam-diam ia cintai.
Hatinya yang awalnya berbunga menjadi porak-poranda saat tahu, siapa laki-laki yang akan menikahinya.
Dia adalah bos dari laki-laki yang ia sukai dalam kesunyian, yang menawarinya pernikahan itu.
Rionald, seorang CEO berhati dingin, yang telah dikhianati dan ditingal menikah oleh kekasihnya, mencari wanita untuk ia nikahi, namun bukan menjadi istri yang ia cintai, karena yang ia butuhkan hanya sebatas boneka yang bisa melakukan apa pun yang ia inginkan.
Akankah Merilin menerima tawaran itu, sebuah kontrak pernikahan yang bisa membantunya melunasi hutang warisan ayahnya, yang bisa membantu pengobatan jangka panjang ibunya, dan memastikan adik laki-lakinya mendapatkan pendidikan terbaik sampai ke universitas.
Bisakah gadis itu mengubur cintanya dan menjadi istri boneka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaSheira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2. Tawaran Menikah
Merilin Anastasya, di usianya yang baru saja 23 tahun menggantikan semua peran ayahnya sebagai kepala keluarga.
Ibu yang terlalu terkejut dengan perubahan situasi sepeninggal ayah, menjadi sering melamun. Dia memang masih bekerja dan beraktivitas, namun terkadang tatapannya nanar dan kosong selalu tertangkap di matanya, terlihat saat dia berjalan menyusuri trotoar sendirian untuk bekerja, atau saat di depannya ada makanan yang sudah siap ia makan. Lamunannya selalu terbang jauh entah kemana. Ibu terlalu kehilangan ayah, hingga akal sehatnya menolak kenyataan kematian ayah. Sesekali dia masih melipat pakaian ayah. Berbicara kalau ayah sedang pergi bekerja.
Dan akhirnya kecelakaan itu terjadi, saat ibu hendak pergi bekerja di sebuah kedai makanan. Ibu tertabrak pengendara motor yang melaju dengan kencang. Bahkan pengemudi itu lari dari tanggung jawab. Ibu ditolong pejalan kaki dan dilarikan ke RS.
Merilin jatuh tersungkur di sisi tempat tidur RS mendapati ibunya yang koma selama 3 hari. Wajah yang menua karena tekanan batin semakin menyakiti hati gadis itu. Apalagi setelah sadar pun wanita itu nyaris tidak mengenali siapa pun. Dari mulutnya hanya terucap nama suaminya. Menyebut nama suaminya. Bercerita tentang pertemuan dengan suaminya, dan hari-hari manis saat keluarga mereka masih bahagia. Dia hanya menyimpan kenangan manis dalam memori ingatannya.
Merilin harus menanggung semua biaya pengobatan jangka panjang ibunya yang tidak sedikit jumlahnya. Airmatanya mengering seiring dengan tangis lelahnya menjalani hidup. Merilin, gadis yang baru mekar menyeruak, meredup dan layu dengan sendirinya.
Hingga suatu hari, laki-laki yang secara diam-diam ia sukai datang mengajaknya makan siang. Diantara airmata, laki-laki itulah yang mengulurkan tangan padanya. Sedikit banyak tahu apa penderitaan Merilin. Seniornya di kampus, yang juga teman kakak laki-lakinya. Dia tahu rahasia keluarga Merilin. Dialah Serge Alevando, laki-laki yang sudah dianggap Merilin malaikat penyelamatnya. Bahkan pekerjaan bergaji besar yang sekarang dia dapatkan juga karenanya.
Sudah beberapa tahun dia menyimpan perasaan yang mungkin suatu hari nanti berani ia utarakan. Nanti, Ketika dia bisa duduk tegak di hadapan Serge tanpa membawa semua derita kehidupannya. Saat semuanya normal dan ia merasa pantas untuk meraih tangan laki-laki itu.
“Bagaimana keadaan ibu?” ujar Serge dengan penuh perhatian.
“Baik Kak, terimakasih sudah membantuku mencari perawat khusus.”
Karena kalau tidak Harvenlah yang harus menunggu ibu karena dia sendiri harus bekerja. Dia bisa menyisihkan sebagian gajinya untuk membayar perawat khusus. Karena bantuan Serge dia mendapat perawat dengan tarif yang masih bisa ia jangkau.
Serge meneguk minumannya. Membetulkan kacamata bening yang menutupi bola mata indahnya. Memperhatikan setiap gerakan yang dilakukan Merilin. Ada yang ingin ia katakan, tapi suaranya tercekik karena keraguannya. Diraihnya lagi gelasnya, mengusir perasaan ragu, hatinya masih maju mundur. Lagi-lagi menyentuh hidungnya, kebiasaan kalau dia sedang terserang panik.
Bilang tidak ya, bilang tidak ya. Aku bingung!
“Mei apa kau mau menikah?” Akhirnya terlontar juga pertanyaan itu, ia bernafas lega karena Tuhan membantunya mengucapkan pertanyaan yang sudah kelu di ujung lidahnya. Bibirnya mengucap kelegaan.
Deg.
Tangan Merilin gemetar, terlepas dari gelas kopinya yang berembun. Pertanyaan tiba-tiba itu menyambar seluruh akal sehatnya.
Apa aku ketahuan mencintainya diam-diam.
Padahal dia sudah merasa sangat sempurna menyembunyikan perasaannya.
“Kak Ge, aku…”
Merilin terbata, hatinya berbunga namun pikiran sehatnya menamparnya pada kenyataan. Saat ini, kau sama sekali tidak pantas untuk Serge. Kau hanya akan menjadi beban yang melilit laki-laki yang kau cintai. Sadarlah Mei, bertubi-tubi panah kesadaran menancap di akal sehatnya.
“Aku tahu bagaimana beratnya kau menjalani semua ini.” Kata-kata Serge menahan Merilin untuk bicara. ”Sebenarnya aku ingin memukul Brama kalau bertemu dengannya, tapi setiap kali kami bertemu aku tetap tidak bisa memukulnya.” Tertawa karena hatinya yang lemah. Karena dia juga tahu bagaimana kakak laki-laki Merilin harus hidup pontang panting dan bersandiwara di depan mertuanya.
Merilin tersenyum. Mendapat sentuhan kata-kata seperti itu saja dari orang yang ia sukai, dia sudah merasakan kebahagiaan. Sudah menjadi obat mengusir laranya.
“Tapi,” Serge meraih gelasnya, meneguknya pelan. Meletakan dengan hati-hati sebelum melanjutkan kalimatnya. “Mungkin dengan menikah, paling tidak kau tidak perlu memusingkan masalah keuangan.”
Bagaimana aku bisa mengatakan kata-kata begini pada gadis setegar karang ini. Serge lagi-lagi berkubang dalam kegalauan.
Merilin masih menyimak. Dengan kepala tertunduk, ada rasa malu yang menyisip di hatinya.
Uang sewa tempat tinggal, pengobatan ibu, biaya sekolah Harven. Semua itu yang selalu mengejar Marilin. Gadis itu pun tahu betapa menyedihkannya hidupnya.
Tapi, dengan kondisiku yang begini, apa aku bisa menikah. Aku pasti hanya akan menjadi beban untuk kakak.
Apa dia bisa membawa wajahnya di depan orangtua seniornya dengan kondisi keluarganya yang seperti sekarang. Bukan hanya persoalan status dan uang, namun ibunya yang sakit.
“Mei, Merilin, bagaimana? Apa kau mau menikah.”
Merilin tersentak kaget ketika kali kedua pertanyaan itu disebutkan. Pikirannya sedang membumbung tinggi menembus ambang batas kesadarannya.
“Aku…”
“Tapi…” Serge memotong, karena dia terlihat merasa bersalah “Ah, sudahlah, anggap aku tidak mengatakannya, aku tidak ingin menarikmu dalam kehidupan yang semakin rumit ini.”
Eh, apa maksudnya.
Diantara dua orang yang sedang terdiam. Pelayan kafe melintas untuk mengantar pesanan ke meja pelanggan lain. Sementara pikiran keduanya berlabuh pada dua hal yang berbeda.
Bagaimana ini, kalau Merilin kecewa padaku. Serge berperang dengan nuraninya. Kalau dia berfikir aku merendahkan harga dirinya.
Kenapa si kakak ini, bermain-main dengan perasaanku. Apa karena dia sudah tahu aku suka padanya. Hati Merilin yang jatuh pada praduga.
Cukup lama keduanya berkomunikasi dalam diam dengan diri masing-masing.
“Maaf ya Mei, aku tahu bagaimana susahnya situasimu. Terkadang hanya melihatnya saja aku bisa ikut merasakan beratnya jadi kamu.” Serge kembali menghangatkan hati Merilin dengan perhatiannya. Pikiran labilnya akhirnya mendorongnya menuntaskan apa yang sudah ia mulai tadi.
Kakak, kalau kau mengatakan itu aku malah merasa tidak pantas sama sekali untukmu.
“Kau yang tidak pernah memikirkan dirimu sendiri.” Laki-laki itu melanjutkan kata-katanya. “Kau yang senang saat aku sekedar memberimu kupon makan di kantin kantor. Kau yang bahkan masih memakai tas yang kuberikan beberapa tahun yang lalu.”
Merilin menyentuh tas di atas meja. Benda berharga pemberian Serge.
Karena kakak yang memberikannya, bukan hanya tas ini, kupon makan juga hadiah yang berharga untukku karena itu hadiah dari kakak.
“Kau pasti tidak pernah menggunakan uang hasil kerja kerasmu untuk dirimu sendiri kan. Ibu yang butuh biaya pengobatan yang banyak, adikmu dengan biaya sekolahnya bahkan hutang ayahmu. Semua itu mengejarmu setiap bulan.”
Eh, memang benar sih itu pengeluaran rutinku yang menyesakkan hati. Tapi aku menyukai tas ini dan memakainya bertahun-tahun dan menjaganya karena ini hadiah dari kakak. Aku tersenyum bahagia dengan kupon makan di tanganku, juga karena itu hadiah dari kakak.
“Mei.” Serge meraih tangan Merilin. Membuat jantung gadis itu langsung berloncatan. “Apa kau mau menikah untuk menyelamatkan keluargamu.” Akhirnya mengatakannya lagi, dasar plin plan batin Serge sendiri.
Disatu sisi pernikahan ini akan membuat Merilin bebas dari jeratan keuangan yang melilitnya, namun dalam situasi lain ada neraka baru yang akan di hadapi gadis di depannya.
Ah, terserahlah, yang penting aku katakan dulu. Ujar Serge berhasil memantapkan hati.
Kepala Merilin refleks mengangguk mendengar pertanyaan Serge. Dengan dada yang berdebar kencang. Perasaan malu dan tidak pantas bersanding dengan seniornya rasanya lenyap begitu saja berganti perasaan bahagia.
“Benarkah, kau mau menikah dengan Tuan Rion?”
Mata Merilin terlihat membelalak kaget.
Kenapa dari mulut seniornya keluar nama seorang laki-laki yang bahkan jika melihatnya dari kejauhan saja Merilin selalu memalingkan wajah. Melihat tubuh tinggi tegap itu dia merasa rendah diri. Paras tampan dan dingin yang sangat bertolak belakang dengan seniornya. Pemilik sekaligus bos ditempatnya bekerja Andez Corporationt. Melihat wajahnya saja sudah membuatnya merasa terintimidasi.
Situasi macam apa ini? Kenapa jadi Tuan Rion? Bukan Kak Serge yang mau menikah denganku?
Bersambung