NovelToon NovelToon
Adara'S Daily

Adara'S Daily

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Cinta Seiring Waktu / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:2.2k
Nilai: 5
Nama Author: Alunara Jingga

Tentang keseharian seorang gadis biasa dan teman-temannya. Tentang luka.
Tentang penantian panjang, asa dan rahasia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alunara Jingga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Katanya Sih, Sahabat

"Duh, ini kelasnya dimana sih, Byan sama Wulan pake ngilang segala." aku membatin. Pasalnya aku kehilangan jejak teman-teman sekelasku siang ini, sistem kelas di sekolah kami menggunakan moving class, per mata pelajaran akan berganti kelas, dan apesnya, aku masih belum menghapal denah sekolahku yang ruang kelasnya banyak ini.

Sebelumnya aku dari ruang guru, menghadap wali kelasku untuk menyerahkan copy sertifikat penghargaan olimpiade masa SMP ku, sekembalinya, aku tak menemukan teman sekelasku. Penghuninya berganti, dari badge seragamnya, aku lihat ternyata mereka adalah kakak kelasku, tepatnya kelas XI IA 3.

Melihatku kebingungan, salah seorangnya menghampiriku, "nyari siapa, dek?" Ia bertanya seraya tersenyum ramah.

Manis batinku, aku menjawab, "saya nyari temen sekelas kak, tadinya ruangan ini kelas saya, tapi ternyata sudah pindah."

"Sekarang jadwal dan ruang berapa? Bawa jadwal?" Ia masih bertanya.

"Sejarah kak, ruang M4. Tapi saya belum tau ruang M4 sebelah mana, kakak tau dimana?" Aku melirik name tag nya, Riswandi Andriawan.

"Aah, M4 ya, ada dibelakang dek, deket parkiran belakang. Bentar saya antar sekalian nyari pensil di kopsis dek. Gung, gue ke kopsis bentar yak, nyari pensil buat kesenian ini, punya gue ketinggalan," pamitnya pada teman sebangkunya.

Setelah mendapat jawaban berupa anggukan dari temannya, Kakak kelas yang ku daulat baik hati itu mulai melangkah, aku mengikutinya dalam diam sembari merutuki Byan dan Wulan yang meninggalkanku dan hanya membawa ranselku.

"Namanya siapa dek? Saya Riswandi, panggil Andi aja." Ia mencairkan kebisuan antara kami.

"Saya Dara kak, maaf ya kak, ngerepotin. Padahal loh Kak Andi bisa ngasi arah aja, ga perlu sampe nganter ke kelas," jawabku.

"Hahaha, ngga apa apa dek, baru juga 3 hari jadi siswa disini, ya wajar kalo masih bingung ruangannya dimana. Ini sekalian ke koperasi, hari ini tema tugas kesenian kayanya arsir, ngelanjut materi minggu kemarin, dan memang pensil saya ketinggalan. Nah, ruangan ke dua dari kiri itu ruang M4 ya, see you next time, Dara." Andi pergi setelah menunjukkan dimana ruang kelasku siang ini, tak lupa ia memberikan senyum manisnya, lesung pipinya menambah kesan manis lelaki berwajah oval itu.

Aku masuk kelas mencari Wulan yang menjadi teman sebangkuku tiga tahun lalu hingga hari ini.

"Heh, ngapa kalian pada ninggalin aku sih," semprotku pada dua anak manusia dihadapanku.

"Ya kan kamu lagi di ruang guru, mau nunggu dikelas tadi keburu yang punya kelas dateng, yaudah ransel kamu doang yang kita bawa." Byan membela diri.

"Oiya Ra, tadi ada kakel yang nyariin kamu, kelas sebelah, cowok, cakep pula. Dari badge-nya sih jelas XII deh. Kenalin dong, Ra, ternyata kamu punya stok lelaki idaman," ucap Wulan.

"Siapa pula? Tinggi apa pendek? Normal apa gila? Tenang, stokku aman terkendali, cuma ya maaf kalo mereka rada nyebelin."

"Yakali gila bisa keterima sekolah dimari, emang ada aja kelakuan ini manusia satu. Ga tau namanya, doi tinggi, pake kacamata, rambutnya kaya iklan shampoo lifebuoy," jelas Wulan yang kusambut tawa, terbayang iklan shampoo lifebuoy, dimana model iklannya berambut tebal lurus dan mempunyai poni.

"Hahaha, itu Mas Dwi, pasti sama Ryan, tinggi , besar, berisi kan? Tingginya sepundak Mas Dwi? Mereka berdua emang gak terpisahkan kalo udah di sekolah."

"Eh, malah ngatain senior si kambing." Byan menimpuk lenganku tanpa ampun. Mereka berdua ini teman SMP ku yang kebetulan sekelas denganku di X.1.

"Eh tapi yang satunya kaya ga asing ya By, kaya familiar gitu. Apa emang muka di pasaran ya?!" Wulan mulai mengeluarkan wajah seriusnya, dan itu menyebalkan.

"Mana kutahu." Byan mengendikkan bahu tanda tak tahu, atau bahkan tak peduli?

"Iya, dia Ryan Septian. Vokalis band Rookie yang emang sering muncul di tiap event, doi yang dulu bikin lu patah hati Lan, dulu lu pernah ngefans banget, tapi gara-gara doi ada pacar lu malah berenti ngefans, aahahaha ...." Aku tertawa meledek Wulan yang melongo tak percaya.

Ryan Septian, namanya tidak asing bagi penikmat musik indie daerahku, suaranya mengudara di stasiun radio lokal dan baru-baru ini mulai tampil di event daerah kami. Sebelumnya tak banyak yang tahu wajahnya, hanya suarannya yang dikenal banyak orang. Tak banyak yang menyangka bahwa ia adalah siswa SMA. Ryan memang sekelas dengan Firdaus, jadi bisa dipastikan mereka akan selalu bersama. Aku akan mencari mereka nanti saja, karena Bu Ketut sudah berdiri manis didepan kelasku untuk segera memulai pelajaran.

...°°°°°•••••°°°°°...

Kembali ke masa sekarang, disini aku kembali bertemu Andi, masih dengan suasana ramai pesta resepsi Ryan dan Ima, entah mengapa kumpulan manusia rese tadi tiba-tiba menyingkir dan menyisakan aku dan Andi, kecanggungan mulai mengintai. Aku memang tidak nyaman ketika berdua dengan orang yang belum ku kenal baik apalagi orang yang ku tahu tak memberikan kenyamanan. Ian memang bikin jengkel, ia memang getol mengatur pertemuan untukku dan kenalannya, tapi selama ini ia akan ikut menemaniku, tak pernah membiarkanku sendiri.

Kami hanya ngobrol ringan, ia bertanya dan aku menjawab tanpa bertanya balik, jadi pembicaraan ini terkesan hanya satu arah.

"Kabar kamu baik, Ar?" Tanyanya memulai.

"Baik, kak, seperti yang terlihat," jawabku tersenyum, mencoba ramah.

"Ternyata kalian bisa sahabatan sampai sekarang ya, udah lama loh dari kita tamat SMA."

"Alhamdulillah, saya beruntung di kelilingi orang-orang baik seperti mereka dan keluarganya. Mereka yang melindungi saya dari orang yang punya niat jahat. Apalagi zaman sekarang susah bedain mana kawan mana lawan." Ia terlihat salah tingkah, ada apa? Tersindirkah?

"Saya minta maaf," ia berucap lirih sembari menunduk.

"Untuk?"

"Untuk kesalahan saya dimasa lalu, dulu saya mengedepankan ego, sampai menentang nurani saya."

"Itu definisi bucin sesungguhnya," sindirku.

"Iya, karena itu, maaf. Karena kebucinan saya itu bikin kamu hampir celaka. Beruntung kamu tahu sebelum semua penyesalan saya jadi sia-sia."

"Ha ha ha ... sudahlah, saya udah lupa kok, bahkan nama kamu aja udah hampir saya lupain sampe tadi Ian dateng bawa kamu. Sudahlah, itu biar jadi masa lalu, biarin itu ada dibelakang, lupain aja."

"Terima kasih, Ar. Saya ikut Bang Ian karena pengen minta maaf langsung, dan sekaligus pengen nebus kesalahan saya waktu itu."

"Dengan?"

"Memperbaiki semua yang perlu diperbaiki, memulai semuanya dari awal, seperti seharusnya. Bisakah?"

"Hahaha ... serius? Lagi ngelawak ya, Kak?"

"Saya serius, ayo mulai dari awal!"

"Gini ya, saya emang bilang lupain, tapi apa dengan kata lupain itu kamu bisa bersikap semaumu? Dengar ya, Riswandi Andriawan, kalo saya mau, sekarangpun saya bisa nyeret kamu ke sel, saksi mata saat itu masih ada dan sehat, barang bukti mungkin tidak ada karena masih rencana, Kamu lihat lelaki berkemeja navy? Amrillah, dia kasat reskrim di polres kita, jadi sebelum dua orang saksi itu denger kamu ngomong kaya tadi, mending kamu telan sendiri rasa bersalah dan egoismu itu!" tekanku padanya.

Ia diam, pun denganku. Betapa menyebalkan manusia satu ini, ga tahu diri banget. Dia yang mempermainkan, bahkan mencoba mencelakaiku, malah dengan santainya bilang ingin memulai dari awal? Gila!

Tampaknya Mas Dwi menyadari awkward moment ini, ia melepaskan rangkulan Fauzi dan menghampiriku. Hfftt aku selamat batinku.

Namun datangnya Mas Uwik kurasa tak membantu banyak, karena memang kami bertiga tak seharusnya berada di posisi duduk dan ngobrol santai. Masalah yang berawal dari hubungan rumit kami di masa lalu. Beruntung Ryan masuk stage pengisi acara dan mengambil gitarnya, sepertinya ia pun menyadari kecanggungan kami bertiga.

"Panggilan kepada Adara, waktu dan tempat dipersilahkan." Aku sesegera mungkin naik ke panggung dan meraih gitar yang di sodorkan.

"Thanks," bisikku

"Welcome," balasnya. "Lagu apa nih?"

"Yeu, ku kira sudah terpikirkan, yaudah, Aloha aja," putusku.

"All I ever want is your love .... Lagunya buat Mbak ipar yang di pelaminan sana, dari Mas Ryan, yang akhirnya berani melangkah setelah enam tahun digantungin." aku meringis ketika Ryan dengan senang hati menginjak kakiku. Sementara di depan sana, tamu undangan tertawa, apa salahku? Mereka pacaran sudah enam tahun.

"Ga pake lama, eh kamu balik ke pelaminan sono, temenin istri, ntar di gondol garangan! Aduh!" Ryan kali ini menyentil keningku.

"Mantennya ngamuk, yaudah, let's sing, Aloha."

Aku memainkan gitar setelah Ryan kembali ke panggung pelaminan, dan mulai bermain dengan nada.

...°°°°°•••••°°°°°...

Sore harinya, di kediaman Ryan dan Ima. "Tadi Andi ya Ra?" Ryan bertanya padaku yang tengah membantu Ima melepas aksesoris yang melekat di badannya. MUA mereka hari ini adalah sepupuku dari pihak mama, dan bisa dibilang aku ini asistennya, dulu. Dan sekarang, aku disini karena ditugaskan Ryan membantu istrinya. Hmmm.

"Iya Yan, hasil si Ian lagi," jawabku sambil tertawa.

"Ck, udah sih, sama Dwi aja."

"Hahahaa, kamu belum nyerah jodohin daku sama Mas Uwik?"

"Belom, pokoknya aku pantau sampe berhasil!"

"Ya kalo emang jodoh ga bakal kemana, Yan. Jodoh, hidup, mati kita tuh udah ada yang atur, kita mah cuma ngejalanin skenario Sang Maha aja."

"Iya, tapi kan harus usaha juga, Ra. Emang masih ada rasa sama Andi?" tanya Ryan yang membuatku tertusuk jarum pentul karena terkejut.

"Heh, apa-apaan, kok jadi kesana?" Aku merengut.

"Nah, kalo udah ga ada rasa tinggal sama Firdaus Dwi aja, udah sama-sama tahu juga ini. Lagian si Andi juga bukan anak baik-baik. Tampang doang alim kelakuan anj*m." Aku hanya tertawa melihat Ima mencubit bibir Ryan, salah sendiri, lidah kok ya licin bener. Belum tahu aja, tadi Andi ngomong apa, bisa-bisa repetannya ga habis tujuh hari tujuh malam.

Setelah selesai dengan aksesoris Ima, aku pulang. Ryan memang tak menyukai Andi, sejak tahu ia tak sebaik tampilan luarnya. Ada rahasia antara kami bertiga yang tak diketahui empat orang lainnya, aku yang meminta Ryan menyimpan rapat semuanya, bahkan dari Ian, yang pada akhirnya membawa Andi kembali. Ah, jika ingat kelakuannya dulu, memang bikin emosi jiwa.

Andi dan Nimas, dua orang menyebalkan yang pernah hadir di circle kami. Nimas adalah kekasih Mas Dwi saat itu, dan Andi adalah orang yang spesial bagiku. Namun ternyata ada udang di balik bakwan, mereka bersekongkol untuk menyakitiku. Mereka menjadikanku bahan taruhan, dan kejamnya lagi, mereka merencanakan untuk mencelakaiku dengan memotong kabel rem motorku, beruntung aku, Mas Dwi dan Ryan mendengar obrolan mereka secara tidak sengaja. Alasannya? Cemburu. Nimas cemburu karena Mas Dwi lebih sering bersamaku daripada dia. Nimas dan Andi bertaruh laptop, yang pada masa itu adalah benda yang memiliki prestise.

Kedua lelakiku tentu meradang, aku hanya tertawa.

"Kalian lucu, kenapa harus dengan cara begini? Kalian bisa ngomong baik-baik, saya orangnya ga ngeyel kok. Kalo cuma buat jauhin Mas Dwi, gampanglah, saya masih punya banyak teman. Tapi kalo gini caranya, bukan saya yang jauh, tapi kamu yang bakal jauh dari dia. Lagian, ide dari mana sih? Kalian tahu? Kalian hampir bikin satu nyawa melayang, tindakan pidana," ucapku dengan santai.

"Apa yang salah? Aku hanya mempertahankan milikku," balas Nimas sinis.

"Otakmu ketinggalan di gorong-gorong depan, Mbak! Milikmu? Firdaus Dwi Rahadian ini masih milik orang tuanya, dan sampai kapanpun dia tetap milik orang tuanya. Lagian jadi cewek kok rendahan banget, ga ada harga dirinya. Noh, Mas, calon istri kamu, seleramu kok gini amat."

"Dan Kamu, Kak! Makasi loh udah baik sama saya, saya lho beneran sayang, tapi malah di jadiin taruhan, mana seharga laptop pula. Kamu butuh laptop? Besok saya beliin, tenang aja, tapi setelah itu, jangan pernah berani tunjukin muka kamu di depan saya! Berani kamu macam-macam, saya ga segan buat seret kamu ke kantor polisi! Mas, noh cewek lo, urusin!"

"Ogah, istri gue juga bukan, baru pacar udah sok berkuasa, dah lah tinggalin aja. Maaf ya, Ay, gara-gara aku, kamu hampir dalam masalah besar." Mas Dwi memelukku, pun dengan Ryan yang sejak tadi diam, namun aku menggenggam tangannya yang dalam mode siap menghantam.

"Bukan salahmu, Mas. Dia aja yang ga tahu diri. Makanya lain kali, kalo kalian punya pacar, jangan deket-deket aku! Aku punya banyak temen kok," ucapku pada keduanya yang mengapitku. Kami meninggalkan dua orang yang tengah saling menyalahkan.

"Nggak, aku ga mau pacaran lagi, kamu aja udah cukup," jawab Mas Dwi mengeratkan rangkulannya.

"Aku ga akan pacaran, sebelum mastiin cewekku ngenalin kamu luar dalem, sebelum dia ilangin rasa cemburu buat kamu, aku bakal pastiin dia terima kamu sebagai sahabatku sampe akhir waktu nanti," sambung Ryan.

"Manis banget sih, kalian. Makin sayang deh," balasku sambil tertawa. Dan ya, mereka membuktikan ucapan mereka sampai detik ini. Maka, apalagi yang aku cari? Mereka adalah duniaku.

1
Anjan
gitu dong, ngaku!
Anjan
Slice of life nya dapat banget, humornya juga dapet. Semangat, Kakak author!
Anjan
enteng kali si jule
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!