15 tahun berlalu, tapi Steven masih ingat akan janjinya dulu kepada malaikat kecil yang sudah menolongnya waktu itu.
"Jika kau sudah besar nanti aku akan mencarimu, kita akan menikah."
"Janji?"
"Ya, aku janji."
Sampai akhirnya Steven bertemu kembali dengan gadis yang diyakini malaikat kecil dulu. Namun sang gadis tidak mengingatnya, dan malah membencinya karena awal pertemuan mereka yang tidak mengenakkan.
Semesta akhirnya membuat mereka bersatu karena kesalahpahaman.
Benarkah Gadis itu malaikat kecil Steven dulu? atau orang lain yang mirip dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiny Flavoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01 - Pagi itu
"Bun, aku berangkat ke kampus dulu ya, Bye!"
"Tunggu, Rim! Rimba!!"
Sia-sia, anak itu sudah keburu ngacir bersama motornya.
"Kenapa, Bun?" tanya Galang yang baru saja turun dan langsung duduk di meja makan. Dengan santainya ia menyeruput teh hangat yang sudah tersedia disana.
"Adik kamu itu, Lang. Susah sekali dikasih tau, disuruh sarapan dulu kok malah ngeloyor aja pergi," omel Vania masih terlihat jengkel.
"Mungkin ada kuliah pagi, Bun," jawab Galang tenang.
"Masa tiap hari kuliah pagi? yang benar saja. Ini kuliah, bukan anak sekolah yang jamnya sudah diatur, masuk jam 7 pulang jam 2. Emangnya dulu bunda nggak pernah kuliah gitu?" omel Vania yang tiada henti, dan membuat anak sulungnya itu jadi ketiban apes. Gara-gara ulah adiknya, dia sendiri yang kena omelan dari sang bunda.
"Udah dong Bun, jangan ngomel-ngomel gitu ah. Percuma, Si Rimba-nya juga udah pergi, mana bisa denger dia tuh," kata Galang lalu beranjak dari duduknya.
"Tapi seenggaknya kamu dengerin keluhan bunda tentang adik kamu itu," ucap Vania.
"Iya Bun aku denger kok. Nanti malam aku tegur deh tuh anak, kalo perlu aku kurung dia dikamar mandi kalau paginya nggak mau sarapan," ujar Galang lalu mencium punggung tangan Vania hendak berpamit berangkat kerja.
"Hati-hati ya di jalan, bawa mobilnya pelan-pelan aja. Jangan kaya adik kamu itu, naik motor kok kaya naik Speedboat. Wusszz!!" kata Vania.
Galang hanya menanggapi sang bunda dengan senyuman kecil lantas berpamit pergi.
*
Jalanan kota dipagi hari selalu padat. Rimba dengan lihainya menyalip setiap kendaraan di depannya dengan meliuk-liuk.
"Gawat, udah telat! praktikum pasti udah dimulai," gumam Rimba seraya memainkan kedua matanya ke kanan dan ke kiri, melihat spion motor yang ditungganginya.
Dipertigaan depan saat lampu merah menyala, dia memilih belok ke kiri langsung, padahal arah ke kampusnya kan seharusnya masih lurus. Ternyata ia mengambil jalan pintas dengan menyusuri perumahan yang lebih sepi agar bisa lebih cepat, ketimbang harus nunggu lampu merah yang lamanya bisa bikin kita ketiduran sampai bermimpi indah.
BRAKK!!
Nahas, pas ditikungan yang lumayan tajam Rimba terlalu melambung ke kanan, mengambil lajur dari arah berlawanan. Bertepatan dengan itu muncullah mobil Outlander berwarna putih melintas didepannya. Dan tabrakan pun tak bisa terelakkan.
Motor Rimba bertubrukan dengan mobil sport tersebut, hingga body motor itu nyangkut di bemper depan mobil yang sudah terlihat penyok. Rimba pun terlempar ke sisi jalan dengan luka di tangan dan kakinya. Meski hanya luka sedikit, tapi perihnya luar biasa. Jaket dan celananya saja sampai robek begitu. Beruntung ia mengenakan helm full face yang tidak mencederai kepalanya meski terbentur trotoar.
Warga yang melintas disana pun langsung berkerumun menolong Rimba.
"Mas, nggak apa-apa kan?" tanya seorang warga membantu Rimba untuk berdiri, dan memapahnya berjalan ke dekat toko kelontong.
Sorang warga yang lainnya memberikan satu botol air mineral kemasan kepada Rimba.
"Minum dulu, mas!" ucapnya.
Rimba menerima botol minum itu tapi tidak langsung meminumnya. Tak lama seseorang dari dalam mobil putih itu turun, dan menghampiri Rimba yang tengah dikerumuni beberapa warga yang melintas disana.
"Kamu tidak apa-apa? ada yang luka?" tanyanya ikut berjongkok, menyeimbangi Rimba yang duduk selonjor di teras toko kelontong itu. Terlihat gadis itu terus mengatur deru napasnya yang ngos-ngosan, mungkin kaget efek kaget.
Rimba tak menjawab pertanyaan orang itu, ia hanya menggelengkan kepalanya.
Tak lama para warga disana mulai mengevakuasi motor Rimba yang masih menyangkut di bemper mobil. Setelah berhasil, mereka mendorong motor Rimba ke tepi jalan, tepatnya ke hadapan Rimba sendiri. Ternyata mesin motornya sudah tidak bisa menyala. Kaca lampu depan dan spion pun pecah, intinya motor bagian depannya benar-benar hancur.
Rimba langsung bangkit meski tertatih-tatih, ia ingin memastikannya lebih dekat kondisi motor kesayangan yang kini buruk rupa.
"Oh motor gue," lirihnya sambil mengelus jok motor yang masih terlihat utuh. "Brengsek!" ucapnya kini mengalihkan pandangan ke arah pengendara mobil yang masih berdiri disampingnya.
"Motor gue gimana nih? tanggung jawab!" geram Rimba seolah disini dia saja yang menjadi korban, padahal fisik mobil itu juga terlihat penyok dengan penuh goresan di bagian bemper depannya.
"Excuse me? bukannya disini anda yang salah? Harusnya saya yang minta pertanggung jawaban karena mobil saya juga penyok," ujar lelaki sang pemilik mobil sport putih itu sambil menunjuk ke mobilnya sendiri.
"Jadi Lo nggak mau tanggung jawab nih?" Rimba semakin geram. Dia melepas helm full face yang sedari tadi membalut wajah serta rambutnya yang panjang tergerai.
"Eh, Dia Cewek?"
"Kirain cowok."
"Tadi aku panggil dia Mas tapi diem aja."
gumam para warga yang tadi menolongnya.
"Bukannya saya tidak mau tanggung jawab, tapi disini sudah jelas anda yang salah karena mengambil lajur orang. Saya yang seharusnya minta pertanggung jawaban anda," kata yang punya mobil.
"Enggak! Gue nggak ngelambung, gue jalan sesuai lajur gue kok," ujar Rimba masih tetap Keukeuh.
Orang itu malah tersenyum miring meremehkan. "Oke, kalo gitu kita buktikan siapa disini yang salah dengan melihat rekaman CCTV itu!" tunjuknya pada CCTV yang terpasang di toko kelontong itu, yang kebetulan menghadap langsung ke jalan.
Mendengar hal itu Rimba terdiam, ia kembali mengingat-ingat apakah tadi dia mengendarai motornya itu melambung, atau tidak. "Haissh, Sial!!" desisnya setelah ia mampu mengingat semuanya.
"Betul Mbak, tadi saya lihat Mbak-nya pas dibelokkan itu terlalu ngelambung, dan nggak tau kalo mobil si Om bule ini baru keluar dari komplek," ujar salah satu warga yang kebetulan menyaksikan tabrakan itu dari awal.
"See? sekarang anda paham siapa disini yang salah?" ujar si pemilik mobil itu lagi.
Rimba hanya mampu menghela napas pasrah. Kenapa pagi ini sial sekali? udah telat kuliah praktikum, motornya hancur, nabrak mobil orang, suruh tanggung jawab pula. Helloow... apa kabar dunia!!
"Oke, saya tidak punya banyak waktu sekarang. Intinya saya tidak mau ribet, kita selesaikan secara kekeluargaan. Tapi kalau anda mempersulit, terpaksa saya ambil jalur hukum. Bagaimana?" ujar orang itu terlihat angkuh.
"Terus sekarang maunya gimana? gue harus bayar ganti rugi, begitu? trus kabarnya motor gue gimana? siapa yang mau ganti rugi? mana belum lunas pula cicilannya," ujar Rimba malah jadi curhat.
"Mana KTP kamu?" tanya orang itu tak memperdulikan ocehan Rimba.
"Buat apa? aku nggak bawa KTP!" dusta Rimba ketus.
"Kalau gitu SIM?" tanyanya lagi.
Rimba mendengus, lalu terpaksa membuka dompetnya dari dalam tas. Dia malah menyerahkan Kartu Tanda Mahasiswa kepada orang tersebut. Rimba hanya tidak ingin orang itu tahu alamat rumahnya. Bisa repot kalau sampai dia datang ke rumah dan bertemu bunda.
Orang itu mengernyit saat membaca nama, dan fakultas yang tertera di kartu mahasiswa itu.
"Rimba Dylania Putri, Fakultas Kedokteran," gumam orang itu membacanya, lalu memfoto Kartu mahasiswa tersebut dengan kamera di ponselnya.
"Kenapa difoto segala? takut gue kabur?" tanya Rimba seraya merebut kembali KTM-nya.
"Tidak, cuma kaget aja. Calon dokter kok kelakuannya preman," gumam orang itu masih sinis dan bikin sang gadis jadi makin geram.
Rimba menghela napasnya agar tidak terpancing lagi emosi, bisa berabe kalau jadi panjang urusannya. 'Sialan ni orang!' umpatnya dalam hati.
"Oke, hari ini saya sedang buru-buru. Kita selesaikan masalah ini diwaktu yang lain. Permisi." ucap orang itu lalu pergi gitu saja meninggalkan Rimba yang masih menatap bengong kepergiannya.
"Lha trus motor gue gimana? Astaga, dasar Om-om gila! bisa-bisanya cuma mentingin dirinya sendiri!" umpat Rimba disaat Mobil putih itu sudah melaju pergi.
"Sabar aja mbak, gimana lagi kan mbaknya yang salah," kata salah seorang warga tadi yang menolongnya.
"Iya Neng, segitu juga udah untung nggak ngelibatin polisi. Bisa berbuntut panjang nantinya," sahut ibu-ibu yang sepertinya baru pulang dari pasar karena banyak menjingjing kantung belanjaan ditangannya.
Rimba hanya bisa memejamkan matanya sesaat, bingung apa yang kini harus ia lakukan. Telepon si Bunda? tidak mungkin. Bisa-bisa dia dipukul pakai sapu kaya waktu itu, karena membuat mobil kakaknya penyok pas mundur digarasi.
Bagaimana reaksi Vania, Bundanya Rimba saat mengetahui motor yang cicilannya baru memasuki dua tahun itu sudah hancur seperti itu?
.
.
.
Akan selalu ada keberuntungan dibalik kesialan.