Janetta, gadis empat puluh tahun, berkarier sebagai auditor di lembaga pemerintahan. Bertahan tetap single hingga usia empat puluh karena ditinggalkan kekasihnya yang ditentang oleh orang tua Janetta. Pekerjaan yang membawanya mengelilingi Indonesia, sehingga tanpa diduga bertemu kembali dengan mantah kekasihnya yang sudah duda dua kali dan memiliki anak. Pertemuan yang kemudian berlanjut menghadirkan banyak peristiwa tidak menyenangkan bagi Janetta. Mungkinkah cintanya akan bersemi kembali atau rekan kerja yang telah lama menginginkan Janetta yang menjadi pemilik hati Janetta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arneetha.Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 22
Pukul dua belas siang, ponselku berdering dari nomor tidak dikenal.
"Halo," sapaku.
"Halo, dengan Bu Janetta, saya kurir Bu mau antar pesanan"jawab suara di seberang sana.
"Tapi saya tidak pesan apa-apa,"jawabku dengan bingung. Aku memang belum pesan apa-apa, karena berencana mau makan di warung ayam penyet saja.
"Pesanannya atas nama Bapak Reyvan, tapi minta dikirim ke alamat Ibu Janetta, saya sudah di depan pagar ya, Bu"
"Oh, baiklah, saya turun"
Aku turun ke bawah dan mengambil makanan kiriman dari Reyvan. Sesampai di kamar kubuka paketnya dan kufoto, lalu kukirim pesan ke Reyvan, mengucapkan terimakasih.
Kusantap makanan yang dikirim Reyvan, benar-benar makanan orang sakit yang dikirimnya. Bubur nasi, sop daging sapi dan puding mangga sebagai dessert. Kurang menggugah selera sebenarnya karena aku inginnya yang pedas. Tapi tetap saja kusantap dan setelah habis, kufoto dan kukirim kepada Reyvan sebagai bukti kalau aku sudah makan. Karena dia bakal merecoki aku jika tdak mengirim bukti kalau makanannya sudah dihabiskan.
Sepanjang siang kuhabiskan dengan tidur dan menonton drama Korea. Sehabis mandi sore, tiba-tiba pintu kamarku diketuk. Ketika kubuka ternyata ibu kost yang datang.
"Ada apa, Bu?"tanyaku.
"Ada yang mencari nak Janetta. Katanya temannya nak Janetta. Ada di bawah menunggu,"
"Oh, iya, baik, makasih ya Bu. Saya beberes sebentar. Segera saya turun. Eh, tamunya cowok apa cewek, Bu?" tanyaku penasaran.
Karena kalau Reyvan pasti telepon langsung kalau datang kemari.
"Laki, usia kisaran empat ke lima puluhlah. Tadi saya uda bilang supaya telepon nak Janetta saja. Tapi dia bilang ponselnya hilang dan tidak punya nomor nak Janetta,"
"Oh iya, Bu, sebentar saya turun.Makasih ya Bu,"ucapku sambil menutup pintu.
Aku mengganti celana pendek dengan celana panjang, dengan baju kaos hitam dan rambut masih setengah kering, aku turun ke bawah.
Laki-laki itu membelakangi arah tangga, sehingga aku hanya melihat punggungnya dan tidak bisa menebak dia siapa.
"Selamat sore, saya Ja.."
Mulutku menganga dan terkejut melihat siapa yang ada di depanku dan menjadi tamuku di sore ini. Kupalingkan wajahku yang mengeras dan duduk di hadapannya dengan menghentak.
"Sore, Jane. Maaf aku datang tanpa memberi tahu sebelumnya."
"Tahu darimana aku tinggal disini?"tanyaku dengan nada ketus.
"Kebetulan ada rumah klien yang akan dilelang disini, dan tanpa sengaja aku melihat mobil parkir. Dan aku coba bertanya ke pemilik kost yang bertetangga dengan klienku," Dia menjelaskan dengan tangan bertaut dan diremas seperti orang yang sedang grogi.
"Lantas ada apa sampai datang kemari?"tanyaku lagi masih dengan nada ketus.
"Aku ingin minta maaf, Jane. Soal peristiwa tempo hari. Sungguh semua itu kulakukan tanpa aku sadari dan dibawah pengaruh alkohol."
"Tidak perlu. Anggap saja kita tidak pernah saling mengenal. Aku sudah melupakannya,"jawabku sembari memalingkan wajahku ke arah kiri untuk menghindari tatapannya yang memelas.
"Tapi, Jane, rasa bersalah ini terus menghantuiku. Aku tidak bisa tidur karena memikirkan dirimu yang pasti kesal dan marah padaku."
"Tentu saja aku marah. Perbuatanmu sudah seperti orang kriminal. Kamu menjebakku, dan kalau saja aku tidak ditolong malam itu, apa yang akan terjadi kepadaku."
"Tidak, Jane, sungguh aku tidak bermaksud jahat padamu. Dimataku kamu sungguh sangat menarik dan membuatku ingin memilikimu. Sayangnya, aku salah karena mencoba mengambil jalan pintas. Karena kupikir aku tidak mudah mendekatimu. Antonio pasti akan menghasutmu untuk menghindariku."
"Dekat tidaknya aku dengan seseorang, itu adalah keputusan mutlak dariku. Antonio tidak akan bisa menghalangiku berteman dengan orang yang aku mau menjadi temannya. Jadi tolong, jangan bawa-bawa Antonio,"
"Yang ada kamu cuma menjadikan aku sebagai sasaran untuk balas dendammu pada Antonio"cecarku.
"Tidak, Jane. Itu nggak benar. Tidak pernah terpikir olehku seperti itu. Aku tidak sejahat itu, Jane" ucapnya dengan wajah memelas.
"Sudahlah. Aku tidak melaporkanmu ke polisi karena aku tidak ingin memperbesar masalah. Jadi anggap saja semuanya tidak pernah terjadi dan kita tidak saling mengenal."ucapku dengan tegas.
"Tapi, Jane.."
Belum selesai dia bicara, tiba-tiba saja Antonio datang dari arah tangga, menarik kerah kemeja Tristan.
"Mau apalagi kamu kemari, kamu masih mau merasakan bogem mentah di wajahmu?"ucap Antonio dengan kasar dan masih menarik kerah Tristan dan membuat Tristan merasa tercekik dan berusaha melepaskan diri.
Tinggi badan Antonio dua puluh senti di atas Tristan, membuat kaki Tristan nyaris terangkat karena kerah kemejanya ditarik Antonio.
Buru-buru aku mendekat dan berusaha menarik tangan Antonio agar melepaskan Tristan yang wajahnya sudah mulai memerah.
"Sudah, An. Lepaskan dia, sudah cukup"perintahku.
Butuh tenaga yang kuat untuk menarik tangan Antonio dari kerah kemeja Tristan. Akhirnya cekikan itu terlepas dan Tristan terbatuk-batuk.
"Jangan sekali-kali kamu ganggu Janeta lagi, kalau kamu tidak mau wajahmu itu babak belur lagi,"ancam Antonio.
Sekelabat kulihat tatapan kejam Tristan ke arah Antonio, namun akhirnya dia terbatuk-batuk kembali.
Tanpa berkata-kata, Tristan turun ke lantai satu dan segera berlalu. Dia tampak sangat terkejut juga kehadiran Antonio. Sepertinya dia tidak tahu jika kami berdua tinggal disini.
"Berani-beraninya dia datang kemari. Tahu darimana dia kalau kamu tinggal disini, Neta? Kamu nggak boleh sembarangan kasih alamatmu ke orang lain, Neta"cerocos Antonio dengan wajah kesal kepadaku.
"Aku tidak memberitahukan alamatku ke orang lain secara sembarangan."sungutku sambil berlalu menuju kamarku dengan menghentakkan kaki.
"Neta, jangan ngambek begitu donk, aku kan cuma khawatir sama kamu,"
Antonio mengikuti menuju kamarku. Ketika pintu akan kututup dia menahannya lalu memaksa masuk dan lalu menutup pintu.
"Ih, apaan sih. Ini kamarku, lho. Kamarmu di atas,"aku masih merengut.
"Aku kan rindu kamu, Sayang" ucapnya manja lalu meletakkan tas kerjanya di meja lalu mendekatiku seperti orang ingin memeluk.
"Apaan sih, belum mandi, bau keringat tahu,"kataku sambil menghindar.
Namun Antonio mengejarku dan menyudutkan aku ke dinding. Dia mengunci satu tanganku dengan tangan kirinya ke dinding, membuatku tidak bisa bergerak karena tubuhnya menghimpit tubuhku ke dinding. Dadaku berdegup kencang menghirup aroma parfum dari kemejanya. Parfumnya masih sama seperti dulu, membuatku bernostalgia kala kami masih berpacaran dan aku bebas-bebas saja memeluk dan menggandengnya.
Antonio mulai mencium bibirku dengan lembut. Dan sialnya tubuhku menolak untuk menghentikannya. Kubalas ciumannya dengan nafsu. Aroma kretek menguar dari mulutnya membuat aku sesak, namun aku menolak berhenti. Ketika nafasku mulai memburu, tangan kanannya mulai menjelajah masuk ke dalam kaosku dan membuka kait penutup dadaku. Tangannya mulai meremas lembut dadaku dan membuat tubuhku bergetar. Hatiku berteriak agar otakku menghentikan ini. Namun otakku serasa melayang dengan ciuman dan sentuhan lelaki ini.
Hatiku menjerit menjelaskan bahwa pria ini hanya mantanku dan harusnya tidak boleh melakukan ini padaku, namun otakku begitu menikmatinya dan tidak ingin berhenti.
Nafasku semakin memburu saat mulut lelaki ini turun dan mengulum lembut bagian dari dadaku. Ah aku tidak pernah merasakan sensasi ini. Begitu menggetarkan seluruh tubuhku. Dengan tangan satu lagi, lelaki ini mulai meremas bagian dadaku satu lagi. Tubuhku semakin bergetar, dan aku akhirnya mendengar jeritan hatiku begitu kuat.
Aku mendorongnya dengan keras hingga tubuhnya limbung dan nyaris jatuh ke lantai.
Aku terengah-engah dan memperbaiki pakaianku dengan membelakangi Antonio. Dia tiba-tiba saja memelukku dari belakang. Aku berontak hendak melepaskan diri, namun dia memeluk dengan erat sekali.
"Aku sangat menginginkanmu, Neta. Sangat merindukanmu,"bisiknya di telingaku dan membuatku bergidik.
"Sudah, An, please. Aku tidak mau melakukan hal yang tidak pantas. Tolong, An, kamu nggak akan memaksa aku 'kan?"jawabku dengan memelas.
"Tentu tidak, aku hanya melakukannya jika kamu juga menginginkannya. Aku tidak akan memaksamu. Tapi aku harap kamu juga jujur pada dirimu sendiri,"bisiknya dan segera melepaskan aku.
Antonio memasang kembali pengait penutup dadaku dan merapikan kaosku. Dia memutar tubuhku agar berhadapan dengannya. Dia memegang pundakku lalu mencium keningku.
"Maafkan aku, Neta. Aku selalu terbawa suasana dan perasaan. Aku kadang lupa kalau aku dan kamu sudah berbeda. Kamu masih gadis dan aku sudah duda. Aku sudah merasakan kenikmatan yang kamu belum pernah rasakan. Maafkan aku yang susah mengendalikan diri setiap kali melihatmu."
Aku hanya mengerucutkan bibirku dan mengangguk. Akhirnya Antonio pamit kembali ke kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Antonio mengajakku makan malam ke sebuah restoran, namun aku katakan kalau aku lebih suka makan di pantry dan memesan melalui ojek online. Dia setuju dan bilang akan memesan ayam penyet kesukaanku dari tempat langgananku. Tentu saja ini membuatku happy hingga geleng-geleng kepala.