Diaz, CEO yang menjual bunga dan coklat setiap hari Sabtu. Dia mencari wanita yang cocok dengan sepatu kaca biru milik ibunya. Apa sebenarnya tujuan mencari wanita itu? Memangnya tidak ada wanita lain? Bukankah bagi seorang CEO sangat mudah mencari wanita mana pun yang diinginkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon El Nurcahyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kembalinya Wanitaku
Bab 1
“Diaz, ini bukan waktunya untuk main-main dengan bunga!” Samir menatap tajam sahabatnya yang berdiri santai di depan meja kerjanya, sambil memutar-mutar pena di antara jemarinya.
"Hey! Sudah ku bilang. Jangan kau anggap aku main-main dengan bunga dan coklat ini." Diaz marah pada rekannya.
"Tapi, urusan kantor kita sedang urgent. Apalagi namanya kalau bukan main-main dengan barang receh itu." Samir sudah sangat kesal.
Kantor mereka yang biasanya penuh suasana tenang kini terasa mencekam. Laporan keuangan berserakan di meja, beberapa sudah ditandai merah, tanda kerugian yang tidak main-main.
“Kutekankan sekali lagi. Aku nggak main-main, Samir. Kau tahu itu,” jawab Diaz sambil tersenyum tipis, memasukkan ponselnya ke saku jas tanpa niat mengecek notifikasi. “Hari ini Sabtu. Aku harus ke toko bunga Joan.”
Samir menghela napas berat, berdiri dari kursinya.
“Diaz, dengar. Perguruan Jagat Pradhana akan datang hari ini. Guru besar mereka, orang paling dihormati di dunia bisnis, akan membawa putrinya yang digadang-gadang sangat rupawan. Kau tahu apa artinya itu, kan? Mereka bisa jadi penyelamat perusahaan kita. Kau harus ada di sini.”
Diaz mengangguk pelan, tapi raut wajahnya tetap tenang. “Aku tahu betapa pentingnya itu. Tapi aku juga punya prioritas, Samir.”
“Prioritas? Menjual bunga di toko Joan? Kau serius? Ini tentang bisnis kita, masa depan perusahaan ini!” suara Samir meninggi.
Diaz menatap sahabatnya tanpa mengubah ekspresi. “Kau tahu kenapa aku melakukan ini. Aku nggak cuma jual bunga atau cokelat. Aku sedang mencari seseorang. Seseorang yang rela mengorbankan nyawanya demi aku.”
Samir memijat pelipisnya, mencoba meredam emosi. “Kau mencari bayangan, Diaz. Perempuan itu mungkin saja—”
“Dia masih hidup,” potong Diaz cepat. Matanya bersinar tajam. “Aku tahu dia masih hidup. Aku harus terus mencari.”
"Pakai akalmu. Bagaimana dia masih hidup. Bukankah kau bilang, wanita itu mengorbankan nyawanya demi dirimu. Berarti dia--"
"Masih teringat jelas dalam memoriku, saat aku dipaksa paman pergi, dia masih bergerak. Bahkan aku lihat tangannya seperti menggapai-gapai."
“Argh... Sudahlah. Kalau kau tetap keras kepala, kalau ada apa-apa aku nggak bisa membantumu lagi. Dan jangan salahkan aku kalau ini semua berantakan,” kata Samir akhirnya. Suaranya rendah, hampir seperti ancaman.
"Ya sudah." Diaz menjawab dengan entengnya. "Kalau begitu, aku pergi dulu, ya. Titip kantor," ucap Diaz, sambil menepuk pundak Samir.
Samir tidak menjawab. Dia hanya menggelengkan kepala, melihat rekan bisnis sekaligus sahabatnya terlalu mengejar cinta yang mungkin saja hanya bayangan.
Terlihat pria berparas tampan, dengan jas hitam menyampirkannya di lengan, dan melangkah keluar ruangan dengan tenang. Diaz Gunawan, CEO Gunawan Corp yang pernah hampir kehilangan nyawa karena persaingan bisnis ayahnya, Gunawan Mahendra.
###
Toko bunga Joan terletak di sudut jalan yang sepi, dihiasi kaca besar yang memantulkan sinar matahari pagi. Pintu kayunya berbunyi lembut saat Diaz mendorongnya masuk. Joan, pemilik toko, sedang menata vas berisi bunga lili putih di meja kasir.
“Sabtu pagi, tepat waktu seperti biasa,” kata Joan tanpa menoleh. “Kupikir kali ini kau akan menyerah.”
“Aku tidak pernah menyerah, Joan,” jawab Diaz sambil tersenyum. Ia berjalan ke sudut toko, mengambil beberapa tangkai mawar merah dan mengatur hiasannya dengan cekatan.
“Kau selalu serius soal ini. Kau yakin dia akan muncul suatu hari?” Joan menatap Diaz dengan ragu.
“Aku harus yakin. Kalau tidak, untuk apa aku terus melakukannya?” jawab Diaz sambil memasukkan bunga ke dalam keranjang kecil.
"Oh ya, baru saja ada seorang wanita cantik, membeli bunga, tapi dia mencari coklat juga. Aku merasa aneh, kenapa dia mencari coklat di toko bunga? Aku jadi teringat wanita yang kau cari itu." Joan berkata sambil menunjukkan cctv di ponselnya.
"Ini lihat," kata Joan kembali, sambil menunjukkan ponselnya. "Dia membeli bunga lili, tapi gerak-geriknya seperti menghindar dari bunga itu. Bahkan beberapa kali hidungnya ditutup sapu tangan."
Diaz melihat wanita itu, tidak begitu jelas wajahnya, karena separuhnya tertutup sapu tangan yang dia letakkan untuk menutupi hidungnya.
Diaz juga memperhatikan bagaimana wanita itu meminta coklat pada Joan. Seakan tahu bahwa toko ini menjual coklat juga. Sebab tidak semua orang tahu toko bunga ini menjual coklat.
"Coba kamu pikir, dari mana wanita itu tahu toko ini ada coklat? Jika bukan kamu yang jual bunga-bunga hari Sabtu, aku tidak pernah menawarkan coklat pada pelangganku," ucap Joan.
"Kamu tidak menanyakan siapa namanya?" tanya Diaz dengan wajah kaku.
Tatapan pria tampan itu seperti kosong, penuh harapan.
"Aku tidak menanyakan hal itu. Aneh saja, jika aku menanyakan nama pada pelanggan baru, seorang wanita lagi. Bisa-bisa aku disebut kurang ajar."
Saat itu ponsel Diaz bergetar di saku, tapi dia mengabaikannya. Panggilan kedua datang, disusul pesan. Semua dari Samir. Diaz tahu isinya: pengingat tentang kedatangan Guru Besar Jagat Pradhana dan putrinya. Tapi baginya, itu tidak sepenting apa yang sedang dilakukannya sekarang.
'Diaz, Papamu meminta jemput Guru besar di bandara. Segera! Dia akan marah jika kau abaikan!'
Klik!
Dia malah mematikan ponselnya, dia keluar dari toko, membawa keranjang bunga dan cokelat, lalu berjalan menuju tempat yang biasa ia gunakan untuk berjualan. Sebuah sudut taman yang ramai dikunjungi orang setiap akhir pekan.
###
Matahari mulai meninggi, dan Diaz sibuk melayani pembeli. Namun, tidak ada yang istimewa sampai siang menjelang. Ketika ia hampir kehilangan harapan, seorang wanita muncul dari kerumunan. Wajahnya mengingatkan Diaz pada seseorang. Rambut panjangnya, senyumnya yang tipis, dan caranya menoleh seperti menyimpan sesuatu yang ingin disembunyikan.
Diaz tertegun. Dia. Itu pasti dia.
'Meski 13 tahun yang lalu kita masih sama-sama kecil, aku tidak akan lupa gerak tubuhmu, Leri,' gumam Diaz, senyumnya sedikit mengembang.
Wanita itu berhenti beberapa langkah dari CEO berkemeja abu-abu penjual bunga itu. Dia menatap mawar merah yang tersusun rapi. “Aku alergi bunga,” katanya singkat, suaranya lembut namun tegas. "Tapi aku mau bunga itu," lanjutnya.
Kalimat itu membuat dada Diaz berdegup kencang. Hanya satu orang di dunia ini yang bisa mengucapkan kalimat itu kepadanya dengan cara seperti itu. “Tapi… kau suka cokelat, kan?” balas Diaz spontan.
Wanita itu mendongak, menatap Diaz dengan mata yang tampak terkejut. Sesaat mereka saling diam, sebelum dia berbalik melangkah pergi dengan cepat tanpa mengatakan apa-apa.
Diaz menggenggam keranjang bunganya erat. “Leriva… aku tahu itu kau,” bisiknya, mata tajam itu terus mengawasi punggung wanita cantik yang semakin menjauh di antara keramaian.
'Moren, bawa wanita itu padaku!' perintah Diaz dengan kode tangan.
CEO bertubuh bugar itu memerintahkan pada bodyguard yang selalu mengawasi di jarak agak jauh darinya.
Bersambung ...