Ini adalah kisah antara Andrean Pratama putra dan Angel Luiana Crystalia.
kisah romance yang dipadukan dengan perwujudan impian Andrean yang selama ini ia inginkan,
bagaimana kelanjutan kisahnya apakah impian Andrean dan apakah akan ada benis benih cinta yang lahir dari keduanya?
Mari simak ceritanya, dan gas baca, jangan lupa like dan vote ya biar tambah semangat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 8: Panggung yang Menyesakkan
Sudah enam bulan sejak kepergian Angel ke Prancis. Selama itu, hidup Andrean berubah total. Namanya makin dikenal di dunia sastra Indonesia. Ia sudah menerbitkan dua novel, dan yang ketiga sedang dalam proses editing akhir. Namun, semua itu ternyata tidak semudah yang ia kira.
Malam itu, Andrean duduk sendirian di balkon rumah kontrakannya di Jakarta. Di hadapannya, layar laptop menyala, menampilkan halaman kosong. Jari-jarinya hanya diam di atas keyboard. Inspirasi yang biasanya mengalir deras, kini seperti buntu. Ia merasa terjebak di dalam dunianya sendiri.
“Lo lagi stuck juga?” tanya suara berat dari belakang.
Andrean menoleh, melihat sosok pria yang baru saja keluar ke balkon. Namanya Aldi, teman sesama penulis yang baru ia kenal di komunitas penulis muda Jakarta. Aldi sudah lebih dulu terkenal, dan karyanya sering masuk daftar best-seller. Tapi bukan itu yang membuat Andrean merasa gelisah.
Aldi adalah rivalnya sekarang.
“Enggak juga,” jawab Andrean pelan, meski jelas kebohongan itu tak meyakinkan.
Aldi mengangkat alis. Ia duduk di kursi seberang Andrean, sambil menyulut rokok. Asap putih mengepul, menciptakan suasana melankolis yang makin terasa berat.
“Lo tau kan, penerbit cuma mau satu novel buat jadi headline akhir tahun?” tanya Aldi dengan nada santai. “Mereka nunggu draft lo sama gue.”
Andrean diam. Ia tahu itu. Novel headline akhir tahun bakal dikasih porsi promo gila-gilaan, masuk semua toko buku besar, dan biasanya jadi batu loncatan buat penulis naik ke panggung internasional. Dan sekarang, pilihan itu di tangan penerbit—antara dirinya atau Aldi.
“Lo beneran yakin bisa ngalahin gue?” Aldi bertanya lagi, kali ini tatapannya lebih tajam. “Lo baru di sini, Dre. Dunia sastra ini keras. Nggak cuma soal tulisan bagus.”
Andrean mengepalkan tangannya di atas meja. Ia tahu Aldi benar. Di dunia nyata, kualitas tulisan sering kali kalah sama relasi, politik, dan nama besar. Tapi Andrean bukan orang yang gampang nyerah.
“Gue nggak peduli, Di,” jawab Andrean pelan. “Gue bakal kasih yang terbaik. Kalau kalah, ya udah. Yang penting gue nulis pake hati.”
Aldi tersenyum tipis. “Kita lihat aja.”
---
Beberapa hari kemudian, Andrean kembali ke Banyuwangi untuk menghadiri acara peringatan seratus hari kepergian ayahnya. Ia datang ke makam ayahnya di pagi hari, membawa bunga melati kesukaan ibunya.
Di sana, ia berdiri lama. Tangannya menyentuh nisan yang dingin.
“Pa,” bisiknya. “Andrean udah mulai dapet semuanya, Pa. Tapi makin tinggi, makin sepi.”
Angin laut membawa suara debur ombak dari kejauhan. Andrean menutup matanya, merasakan ketenangan sejenak sebelum kembali ke dunia yang gaduh.
Setelah itu, ia menemui ibunya di rumah. Ibunya tampak lebih sehat dibanding terakhir kali mereka bertemu. Di meja makan, ibunya menyajikan sop hangat, makanan favorit Andrean waktu kecil.
“Ma, aku bentar lagi nerbitin novel ketiga,” kata Andrean sambil mengaduk sop.
Ibunya tersenyum. “Mama selalu percaya sama kamu, Dre. Tapi jangan lupa… hidup nggak cuma tentang ngejar cita-cita.”
Andrean mengangguk pelan. Ia paham maksud ibunya.
---
Beberapa minggu kemudian, Andrean kembali ke Jakarta, menyelesaikan novel ketiganya. Ia beri judul Di Antara Dua Dunia. Novel itu terinspirasi dari kisah hidupnya sendiri—tentang seseorang yang terjebak di antara ambisi dan kenyataan, cinta dan pengorbanan.
Di sela-sela sibuknya, Andrean menerima email dari Angel lagi. Kali ini ada lampiran foto-foto Angel di Paris. Ia tampak bahagia, tapi juga… sepi. Di akhir email itu, ada satu kalimat yang membuat Andrean terdiam lama.
"Kalau kamu siap, aku mau kamu ke Paris. Aku udah siapin ruang buat kita nulis bareng lagi, Dre."
Andrean memandangi layar itu lama. Ia tahu, keputusan itu berat. Di sini, kariernya lagi di puncak. Tapi di sana, ada seseorang yang selalu mendukungnya, bahkan sebelum semua ini terjadi.
---
Malam itu, Andrean menghadiri acara gala dinner penerbitnya. Di sana, diumumkan siapa penulis yang akan jadi headline akhir tahun. Semua mata tertuju pada panggung utama.
“Dan penulis yang karyanya akan kami rilis sebagai headline di akhir tahun ini adalah…”
Andrean menggenggam gelasnya erat-erat.
“...Andrean Pratama Putra, dengan novel Di Antara Dua Dunia!”
Ruang itu hening sejenak, sebelum tepuk tangan meriah meledak. Andrean berdiri pelan, menatap Aldi yang duduk di barisan depan. Aldi mengangguk singkat, mengakui kemenangan itu.
Andrean melangkah ke panggung. Tapi di tengah tepuk tangan dan sorot kamera, ia merasa aneh. Ia tidak merasa benar-benar menang. Kemenangannya hampa, seperti sesuatu yang tertinggal di belakang.
---
Beberapa hari setelah itu, Andrean duduk di bandara Soekarno-Hatta. Di tangannya, tiket menuju Paris. Ia meninggalkan semuanya sejenak, untuk mengejar sesuatu yang lebih berarti dari sekadar ketenaran.
Dan di Paris, ia tahu ada seseorang yang menunggunya. Bukan sebagai penulis terkenal, tapi sebagai Andrean—seseorang yang pernah berjuang untuk mimpinya, dan tidak pernah sendirian.
---
BERSAMBUNG…