"Tolong maafkan aku waktu itu. Aku nggak tahu bakal kayak gini jadinya," ucap Haifa dengan suara pelan, takut menghadapi tatapan tajam Nathan. Matanya menunduk, tak sanggup menatap wajah pemuda di depannya.
Nathan bersandar dengan tatapan tajam yang menusuk. "Kenapa lo besoknya nggak jenguk gue? Gue sakit, dan lo nggak ada jenguk sama sekali setelah hari itu," ucapnya dingin, membuat Haifa semakin gugup.
Haifa menelan ludah, tangannya meremas ujung pasmina cokelat yang dikenakannya. "Plis maafkan aku... aku waktu itu lagi di luar kota. Aku beneran mau jenguk kamu ke rumah sakit setelah itu, tapi... kamunya udah nggak ada di sana," jawabnya dengan suara gemetar, penuh rasa bersalah.
mau kisah selengkapnya? ayo buruan bacaa!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syah_naz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dia terluka karena diriku
Haifa berjalan sendirian di tengah kota yang asing, rasa penasaran membawanya keluar tanpa rencana. Tapi kini, dia hanya merasa panik dan menyesal.
"Kenapa aku nekat jalan sendirian? Kalau tahu begini jadinya, aku lebih baik di rumah saja," gumamnya dengan cemas, matanya mencari arah yang benar di tengah hiruk-pikuk jalanan.
Saat hendak menyeberang, suara klakson motor yang melengking memecah konsentrasinya.
TIIIITTT!!!.....
Dari kejauhan, sebuah motor sport hitam melaju dengan kecepatan tinggi.
“Heeeeyyy! Cegil, awas!!!” teriak seorang lelaki dari kejauhan.
Haifa mematung. Brakkkk! Motor itu tiba-tiba oleng, pengendaranya membanting setir ke arah pohon besar untuk menghindari Haifa.
“Astaghfirullah, ya Allah!” Haifa tersentak, tubuhnya gemetar. Butuh beberapa detik sebelum dia sadar sepenuhnya.
“Ya Allah... tidak mungkin!” Haifa berlari menuju lelaki yang tergeletak di dekat pohon, darah mengalir dari kepalanya.
“Apa kau tidak apa-apa?! Ouhh... tidak, kau pendarahan!” ucap Haifa panik sambil mengguncang bahu lelaki itu. Nafasnya memburu.
Tanpa berpikir panjang, dia segera meminta bantuan orang-orang di sekitar dan membawa lelaki itu ke rumah sakit.
Sesampainya di ruang gawat darurat,
Haifa berteriak:
“Suster! Cepat, tolong pria ini, dia pendarahan!” Suaranya pecah, matanya memerah menahan tangis.
Tim medis segera membawa lelaki itu ke ruang UGD. Haifa berdiri terpaku di lorong rumah sakit. Jubah hitamnya kini kotor dengan bercak darah.
Dia mondar-mandir, menggigit bibirnya cemas. "Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku bahkan tidak tahu siapa dia..." ucapnya dalam hati.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Ya Allah... aku harus bagaimana? Ini salahku... andai aku lebih hati-hati..." Haifa menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Lalu terlintas sebuah ide. Dia meraih ponselnya dengan tangan gemetar. “Aku harus menghubungi Abiy.”
Telepon pun tersambung. “Assalamu'alaikum, Abiy...” Suaranya serak, hampir menangis.
“Wa’alaikumussalam. Ada apa, Ifa? Suaramu kenapa?” tanya suara Abiy di ujung telepon, terdengar khawatir.
“Abiy... Ifa kesasar pas jalan-jalan. Ifa hampir ketabrak motor, tapi orang yang menghindari Ifa malah nabrak pohon besar.
Sekarang Ifa di rumah sakit, dia... dia terluka parah, Abiy...” Haifa terisak, suaranya bergetar.
“Astaghfirullah... Ifa nggak apa-apa?” suara Abiy meninggi.
“Alhamdulillah, Ifa nggak papa, tapi... orang itu, dia berdarah banyak sekali, Abiy!” Haifa hampir menangis keras.
“Tenang, Ifa. Share lokasi sekarang. Abiy akan segera ke sana!” kata Abiy dengan tegas, mencoba menenangkan anaknya sebelum menutup telepon.
Haifa menatap pintu UGD dengan mata yang basah. Perasaan bersalah membebaninya. Dia teringat ekspresi lelaki itu sebelum semuanya terjadi tatapan tajam yang penuh kekhawatiran meski tubuhnya menuju bahaya.
“Ya Allah... tolong selamatkan dia. Dia terluka karena aku...” lirih Haifa, menggenggam erat tangannya sendiri. Air mata yang mengalir di pipinya tak lagi bisa ia tahan.
Abiy Hamzah datang berlari menyusuri lorong rumah sakit, matanya langsung tertuju pada sosok anak semata Wayang nya yang duduk dengan wajah kusut penuh kecemasan.
“Haifa!” serunya, langsung memeluk gadis itu erat.
“Abiy...” suara Haifa pecah, tangisnya tak terbendung lagi. “Haifa takut...” Dia menggenggam baju ayahnya, berusaha mencari rasa aman.
“Tenang, Nak. Semua akan baik-baik saja,” kata Hamzah lembut, membelai kepala Haifa untuk menenangkannya.
Beberapa menit berlalu, seorang dokter keluar dari ruang UGD. Wajahnya tenang, memberikan harapan.
“Dok, bagaimana keadaan lelaki itu?” tanya Hamzah cepat, sorot matanya penuh kecemasan.
“Alhamdulillah, lukanya tidak terlalu serius. Ada beberapa memar di kepala, tapi tidak ada cedera internal yang parah. Hanya saja, dia membutuhkan waktu beberapa hari untuk pemulihan total,” jawab dokter sambil tersenyum.
Hamzah menghela napas lega. “Alhamdulillah. Terima kasih, Dok.”
Setelah itu, pasien dipindahkan ke ruang inap. Haifa duduk di sofa yang agak jauh dari tempat tidur, matanya terus menatap pemuda yang masih terbaring lemah. Rasa bersalah masih menyelimuti hatinya.
“Abiy... kenapa dia nggak bangun-bangun dari tadi?” tanya Haifa cemas, tatapannya tidak lepas dari wajah lelaki itu.
“Kata dokter itu efek obat, Ifa. Supaya dia tidak merasa sakit, terutama di bagian kepalanya,” jawab Hamzah, berusaha menjelaskan dengan tenang.
“Oh...” Haifa mengangguk kecil, tapi kegelisahannya belum mereda.
Hampir dua jam berlalu dalam keheningan. Akhirnya, Haifa melihat pemuda itu bergerak pelan. Matanya perlahan terbuka, menatap langit-langit ruangan dengan tatapan bingung.
“Abiy, dia sudah siuman!” seru Haifa, langsung bangkit dari sofa dan mendekat ke tempat tidur.
Lelaki itu mencoba menggerakkan tubuhnya, lalu mengisyaratkan sesuatu. “H... HP-ku...” suaranya lemah, tapi jelas menunjuk jaketnya yang tergantung di dekat tempat tidur.
Tanpa berpikir panjang, Haifa langsung mengambil ponsel itu dari kantong jaketnya dan menyerahkannya.
Lelaki itu menggenggam ponsel dengan lemah, ekspresi wajahnya sedikit lebih tenang. Namun, Haifa tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Kau... kau baik-baik saja? Maaf... ini salahku...” ucapnya pelan, rasa bersalah memenuhi nada suaranya.
Lelaki itu menatap Haifa sejenak, lalu mengangguk tipis. “Aku baik-baik saja...” jawabnya singkat, sebelum kembali menatap layar ponselnya, mengetik sesuatu dengan lambat.
Haifa berdiri canggung di sisinya, ingin mengatakan sesuatu, tapi ragu. Dalam hati, dia berdoa agar pemuda itu benar-benar pulih dan tidak menyimpan dendam atas apa yang terjadi.