Novel Ketiga
Berdasarkan survei, sedia tisu sebelum membaca😌
--------
Mencintai, lalu melepaskan. Terkadang cinta itu menyakiti, namun membawa kebahagiaan lain di satu sisi. Takdir membawa Diandra Selena melalui semuanya. Merelakan, kemudian meninggalkan.
Namun, senyum menyakitkan selalu berusaha disembunyikan ketika gadis kecil yang menjadi kekuatannya bertahan bertanya," Mama ... apa papa mencintaiku?"
"Tentu saja, tapi papa sudah bahagia."
Diandra terpaksa membawa kedua anaknya demi kebahagiaan lainnya, memisahkan mereka dari sosok papa yang bahkan tidak mengetahui keberadaan mereka.
Ketika keegoisan dan ego ikut andil di dalamnya, melibatkan kedua makhluk kecil tak berdosa. Mampukah takdir memilih kembali dan menyatukan apa yang telah terpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosee_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sifat Asli yang Tersembunyi
"Cepat cepat! Kembali ke tempat."
"Dia datang mendadak lagi."
"Memangnya kapan dia memberi kabar!"
"Rapikan meja kalian. Jangan sampai dia melihat!"
"Astaga, aku baru saja membuka bekal ku."
Suara kepanikan orang-orang terdengar gaduh. Para karyawan berlarian masuk ke tempat mereka ketika melihat mobil yang paling mereka kenal berhenti di depan pintu masuk perusahaan. Dengan cekatan serta cepat semua orang membersihkan tempat dimana mereka berhenti.
Seorang wanita dengan kacamata hitam keluar dari mobil. Suara hentakan heels menggema di lantai ruang yang kini hening. Beberapa dari mereka berdiri disertai senyum terpaksa setiap kali wanita itu melewati mereka.
Siapapun tahu dia wanita berwajah malaikat tanpa kehangatan di matanya. Karakternya dinilai buruk bagi sebagian orang yang melihatnya. Tapi tak dapat dibantah jika dia adalah pemimpin kedua di perusahaan tersebut.
Brakk!
Suara pintu yang ditutup kasar itu membuat orang-orang didalamnya tersentak. Seorang wanita paruh baya yang memimpin jalannya rapat hanya memejamkan matanya sabar. Sedangkan, wanita yang membuat masalah duduk santai di tempatnya tanpa dosa.
Orang-orang itu mengelus dadanya ikut menahan sabar. Sekali lagi wanita cantik itu berbuat sesukanya, tapi tak berani menegur atau sekedar bersuara. Wanita ini bukan orang yang bisa disinggung.
"Kenapa diam? Lanjutkan, aku akan mendengar," ucapnya. Duduk menyandar dengan bertumpukan tangan di pegangan kursi diikuti kaki menyilang arogan.
Rea berdiam diri lebih dulu menatap wanita yang berstatus putrinya itu. Ia sebagai ibunya pun tidak mampu mengubah sikap wanita ini. Anggaplah putrinya ini memang dilahirkan seperti itu. Setelah beberapa saat Rea menghela nafas pelan dan berdiri sopan.
"Dian, beberapa hari ini kita telah sepakat untuk menjalin kerja sama dengan keluarga Abraham. Jadi ku perkenalkan padamu, dia Tuan Nicolas Abraham, Ceo NCS Company."
Dian yang hanya memasang telinga tanpa menatap ibunya itu seketika membeku. Ekspresi wajahnya berubah. Ia mengangkat wajahnya perlahan dan menoleh pada seseorang yang ditunjuk Rea.
Saat itu pandangan keduanya bertemu. Nico ternyata sudah sejak awal berada disana dan menyaksikan sikap baru Dian yang tidak pernah ia lihat. Wanita itu berubah banyak, seperti orang berbeda.
"Tuan Nico, ini putriku Diandra Selena Hanasta. Kedepannya mungkin kalian akan sering bertemu."
-
-
-
"Kau sengaja!" Dian menahan tangannya untuk tidak melempar sesuatu. Ia berdiri dibelakang ibunya yang berdiri menghadap dinding kaca.
"Tidak ada hubungannya denganmu. Ini murni kerja sama bisnis."
Dian terkekeh. "Bisnis ya? Benar juga. Aku lupa kau bisa melakukan apa saja demi bisnis."
"Dian, Mama tidak ingin bertengkar."
"Jika kami bersama lagi, bukankah akan sangat menguntungkan? NCS Company adalah perusahaan terbesar di Indonesia. Siapa yang mau menolak mereka?" Dian bicara lagi. Wanita ini sepertinya memang gemar mencari masalah.
"Tidak ada hubungannya dengan hal pribadi," jawab Rea membantah.
"Selalu saja. Pertahanan dirimu sangat kuat!" Dian menekan ucapannya. Ia meraih tasnya kasar, berniat pergi.
"Kakekmu ingin kau dan Sera datang. Kondisinya menurun. Dia ingin melihat kalian semua." Dian menghentikan langkahnya sesaat. Tanpa menoleh atau menjawab, wanita itu pergi begitu saja.
Rea menatap kepergian Dian dengan sedikit genangan di matanya. Tangannya mengepal kuat sebelum akhirnya ia kembali menghela nafas pelan.
Tes!
Lelehan itu akhirnya jatuh. Dian dibesarkan dengan ambisi dan ego keluarga. Wanita itu tak pernah mengenal kehangatan di rumahnya sendiri. Terlahir menjadi perempuan, ia di didik keras oleh keluarganya bagaikan boneka.
Serena Hanasta merupakan anak pertama mereka lebih memilih pergi dengan kekasihnya yang hanya orang biasa. Bahkan namanya sudah di cabut dari bagian keluarga. Tinggal lah Dian yang harus ikut menanggung beban sang kakak.
Rea menyesal. Bukan hanya dia, tapi suami beserta ayah mertuanya. Di masa tua mereka, tidak ada kebahagiaan yang terasa. Didikan keras yang mereka tanam menjadi boomerang, anak mereka tumbuh dengan hati baja tanpa bisa di lunakkan.
**
Buk!
Dian menendang ban mobilnya kesal ketika sampai di basement. Hatinya tertutup jika menyangkut keluarganya. Dian berpikir jika keluarga Hanasta sebenarnya hanya menginginkan cucu-cucu mereka untuk meneruskan bisnis keluarga.
"Sial!" Membanting tas mahalnya di kap mobil.
Wanita itu belum pergi. Ia ingin menenangkan diri sebentar. Tapi keadaan sepertinya tidak bisa membuatnya tenang. Telinganya tiba-tiba menangkap suara tak mengenakkan.
"Bukankah nona Dian terlalu sombong? Dia tidak menghormati nyonya Rea sama sekali."
"Kau tidur selama bekerja? Semua orang seharusnya sudah tahu."
"Hubungan mereka memang tidak baik."
"Kudengar nona Dian sudah memiliki anak. Aku tak dapat mempercayainya."
"Sifatnya yang keras seperti itu bagaimana bisa? Jangan berpikir macam-macam."
"Benar juga. Dia tak terlihat seperti mempunyai anak."
"Lagipula dia belum menikah!"
"Sstt ... jangan berbicara terus. Bagaimana jika ada yang mendengar?"
Tiga orang wanita yang baru akan pergi itu tidak menyadari jika bukan hanya mereka disana.
"Kalian di gaji untuk bergosip?"
Suara yang sangat mereka kenal itu membuat ketiganya memutar badan cepat. Dian sudah bersedekap di salah satu kap mobil tanpa menatap mereka.
"No– nona." Astaga, ini buruk!
Dian menaikkan kacamata nya hingga matanya yang tajam itu terlihat, lalu berjalan pelan mendekati ketiganya. Para wanita itu menunduk sambil meremas tangan mereka yang berkeringat.
"Ma– maafkan kami, Nona." Meski tahu minta maaf tak ada gunanya. Berbicara dengan Dian sama seperti bicara dengan batu. Tertangkap basah olehnya seperti petaka.
Dian hanya tersenyum tipis. Ia merengkuh salah satu wanita yang berada di pinggir.
"Apa yang kulakukan tidak merugikan kalian sama sekali. Apa sikapku menunda pendapatan kalian? Tentu saja tidak. Jadi ... bekerja saja dengan baik." Nada bicara Dian terdengar lembut namun seperti mencekik.
"Pergi," perintah Dian datar. Tanpa pikir panjang ketiganya langsung berlari pergi.
"Ck! Kenapa ada manusia yang seperti itu," cibirnya.
**
"Tiap berurusan dengan wanita ini, akhirnya selalu buruk. Kebanyakan dari mereka memilih menghindar," jelas seorang pria di samping kedua pria lainnya.
"Dia selalu begitu?" tanya pria lainnya.
"Tergantung situasi sekitar. Jika dia terganggu, lidahnya akan lebih tajam dari pisau."
Nico, pria itu sudah mengawasi Dian sejak awal. Dari pertemuan rapat hingga pembicaraan Dian dan Rea tak luput dari pengawasan Nico. Wanita itu benar-benar sudah berubah. Dari segi fisik hingga sikap, seolah mereka memang orang berbeda.
Mata Nico tak berpaling dari Dian. Sekarang ia tak ingin ceroboh. Wanita itu mungkin sulit di dekati. Apalagi Dian tak selembut dulu atau inilah sifat asli Dian yang selama ini disembunyikan.
Melihat tuannya hanya diam. Roby mengucapkan terima kasih pada manajer yang mengantar mereka sekaligus memberi penjelasan. Nico tanpa berkata langsung pergi dari tempatnya setelah manajer itu menjauh.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...