Menikah muda bukan pilihan Arumi karena ia masih ingin menyelesaikan kuliah yang tinggal selangkah lagi. Namun, pertemuannya dengan Adeline anak kecil di mana Arumi bekerja membuat keduanya jatuh hati. Adeline tidak mau perpisah dengan Arumi bahkan minta untuk menjadi ibunya. Menjadi ibu Adeline berarti Arumi harus menikah dengan Davin pemilik perusahaan.
Bagaimana kisah selanjutnya? Kita ikuti yuk.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Buna Seta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
"Kalau tidak tahu ya sudah Lika, jangan nerocos terus" ketus Davin. Davin meninggalkan Malika yang bukan ikut membantu mencari Arumi, tetapi justru marah-marah menambah kepala Davin semakin pusing.
Belum lagi Adel terus saja menyalahkan dirinya. Putrinya itu memang pandai membaca hati dan pikiran orang tuanya, walaupun Davin menyembunyikan seperti apa masalah yang ia hadapi.
Adeline memang sangat cerdas yang diwariskan oleh ibu kandungnya, istri Davin terdahulu.
"Apa mungkin Arumi di..." Davin ingat salah satu tempat yang belum dia kunjungi. Ia naik tangga kecil yang berada di dapur, itulah jalan menuju rooftop.
Davin berhenti di ujung anak tangga ketika tatapan matanya tertuju kepada wanita yang tengah menatap kosong ke arah matahari terbenam. Hari mulai gelap menyisakan semburat jingga di arah barat.
Davin melangkah perlahan-lahan agar tidak bersuara lalu memeluk tubuh istrinya itu dari belakang.
"Awas" Arumi hendak menghindar tetapi tangan kekar Davin merangkul lebih kuat, hingga Arumi pun tidak mampu bergerak.
"Maafkan aku" Davin menempelkan dagu di pundak Rumi. Hening, di tempat itu hanya terdengar napas Davin yang tepat berada di belakang telinga Arumi.
"Awas, saya mau masuk" Arumi berkata lebih lunak.
Davin melepas pelukan lalu berbutar ke depan Arumi. "Sebentar, aku mau bicara" ucap Davin.
Arumi pada akhirnya menatap Davin, dua pasang mata itu saling pandang nampak remang hanya di sorot lampu redup di atas kepala mereka.
"Aku sudah tahu apa alasan kamu pulang terlambat" Davin mengatakan apa yang diceritakan Adel.
Arumi melepas tangan Davin lalu memegang pagar rooftop, menatap rumah-rumah warga yang hanya terlihat genteng, karena kediaman Davin paling tinggi.
"Aku heran. Mas ini usianya sudah lebih dari kata dewasa, tetapi kenapa tidak pernah dewasa? Maaf, kalau saya tidak sopan, bisa tidak sih... segala sesuatu itu dipikir dulu tidak asal membentak? Otot yang diunggulkan" Arumi tentu bukan bermaksud mengajari sang suami yang sudah lebih pandai, tetapi walaupun pandai tidak Davin terapkan dalam keseharian.
Davin hanya diam, lalu maju ikut berdiri di samping Arumi. "Aku salah Arumi, aku memang lagi pusing. Pekerjaan dikantor banyak, tadi siang itu ingin pulang sebentar makan bersama kalian, tetapi ketika tiba di rumah, kalian belum pulang aku kesal" Davin berkata jujur.
Arumi menoleh suaminya yang nampak menyesal, tidak lagi memperpanjang masalah. Jika sudah berpikir tentang kewajiban, Arumi merasa kalah, karena menunggu suami pulang kerja bagi kebanyakan suami di luar sana pun seolah merupakan suatu keharusan. Arumi juga sadar seharusnya ia ada dan menyambut ketika Davin pulang. Hanya saja Davin mendahulukan emosi daripada berbicara baik-baik.
"Sekarang kita turun ya, Adeline bingung mencari kamu" Davin memegang lengan Arumi.
Ingat Adel, tidak ada nilai tawar bagi Arumi, ia cepat-cepat berjalan lebih dulu.
"Mamaaaa... Adel cali-cali nggak ketemu. Mama main petak umpet ya" Adel yang tengah bersedih duduk di ruang keluarga ditemani Yanti, begitu melihat Arumi turun dari tangga dapur langsung saja berlari merangkul Arumi.
"Mama cuman nyari angin di atas kok, sambil minum teh" Arumi menunjukkan gelas bekas teh sebelum meletakkan di wastafel dapur.
"Tumben... Mama nggak sholat" Adel bingung karena biasanya begitu mendengar Adzan langsung shalat tetapi justru ngumpet. Pikir Adel.
"Mama lagi nggak shalat" Arumi lalu menggendong Adeline. Ini salah satunya mengapa Arumi menjadi cengeng karena baru hari pertama mendapat halangan.
"Seperti orang penting saja, bikin heboh satu rumah. Sok-sok-an menjadi korban" sinis Malika yang baru saja turun dari tangga.
Arumi tidak menjawab, karena ada Adel yang tidak boleh mendengar pertengkaran.
"Lika, kenapa sih... sekali saja kamu tidak ikut campur" Davin menatap tajam ke arah Malika.
"Kan-kan, Ate malah-malah lagi" Adel menggerakkan telunjuk ke arah Malika.
"Sudah... sekarang Adel shalat ya, Mama temani" Arumi segera membawa Adel ke kamar.
"Malika sudah berapa kali aku katakan, jika kamu masih betah tinggal di sini jaga bicaraMu" pungkas Davin lalu naik tangga.
Keesokan harinya Arumi dengan Davin sudah biasa lagi. Bahkan setelah sarapan Arumi mengantar suaminya itu sampai halaman.
"Papa berangkat" Davin mencium kening Arumi selanjutnya pipi putrinya lalu berangkat.
Di ruang tamu hati Malika panas melihat keharmonisan pria yang dicintai itu.
"Kitik-kitik, Kitik"
"Hahaha geli Mama... Geliii..." Adel tertawa-tawa ketika lehernya digelitik oleh Arumi dalam gendongan ketika melewati Malika.
"Berisiiikk..." Malika berteriak, hatinya yang sudah panas semakin panas melihat Adel yang tengah berbahagia dalam gendongan Arumi.
Tawa Adel seketika berhenti. "Ate Lika yang belisik tahu!" Ketusnya.
"Seeetttt..." Arumi langsung saja mengajak Adel ke kamar.
"Adel... lain kali tidak boleh melawan Aunty Lika sayang..." Arumi tidak ingin Adel tumbuh menjadi anak yang bertutur kata kasar.
"Tapi Ate Lika suka galak Mama..." Adel menunduk.
"Adel... kamu tahu kan Nak, seperti apa perlakuan Aunty Lika sama Mama. Tapi... kapan Mama pernah melawan setiap perkataan Dia. Mama selama ini punya cara sendiri untuk merubah perilaku Aunty dan mudah-mudahan Allah menjawab doa-doa Mama"
"Calanya Ma" Adel menatap Arumi, cara apa yang mamanya itu lakukan.
"Mama selalu berdoa, semoga Aunty Lika bisa berubah jadi baik sama Adel. Tapi tentu saja tidak secepatnya sayang... kita harus sabar"
"Iya Ma..." pungkas Adel, lalu bergegas ambil peralatan minta diajari Arumi menggambar.
"Mau menggambar apa?" Arumi minta Adel menentukan gambar.
"Gambal kucing belkumis" Adel terkikik.
Arumi membuat titik-titik lalu menarik garis membuat kerangka kucing. Dengan begini akan lebih baik untuk perkembangan Adel dan tidak ada kesempatan untuk melawan Malika.
Semenjak saat itu hari-hari Arumi dengan Davin tidak pernah lagi ada pertengkaran, hingga satu bulan kemudian. Namun, ada-ada saja masalah yang Arumi hadapi. Malika selalu membuat ulah hingga membuat Arumi tidak tenang.
Seperti sore ini, menjelang Davin pulang dari kantor. Semua masakan sudah tersedia di atas meja makan, karya Arumi dibantu bibi.
"Kamu ini jangan sok irit Arumi, setiap hari masak tempe, tahu, pasti uang belanja pemberian Davin kamu tilep kan!" tuduh Malika tidak punya perasaan.
"Mbak Malika, setiap hari saya memasak bukan hanya tempe, tahu loh" Arumi geleng-geleng kepala. Pasalnya Malika hanya mencari perkara saja. Arumi memang selalu memasak tempe, tahu, dan sayur itu untuk pendamping daging, ikan, seafood, karena untuk kebutuhan gizi seimbang.
"Huh! Tetap saja, masakan kamu itu kampungan!" Tandas Malika lalu pergi.
"Astagfirullah..." Arumi benar-benar pusing.
Malam harinya sebelum tidur Arumi membicarakan ini kepada Davin.
"Mas... Mama Rose dengan Papa Xanders kok belum kembali ke Indonesia ya" Arumi berharap dengan kehadiran mertuanya itu sikap Malika tidak akan semena-mena lagi.
"Mama sama Papa itu rumahnya di sana Rumi, jika nanti beliau datang ke Indonesia hanya karena kangen dengan kita sama cucu" jawab Davin.
"Kalau gitu, bagaimana misalnya kita pindah saja, Mas" usul Arumi ingin menjauh dari Malika untuk kebaikan Adel dan juga rumah tangganya.
"Pindah? Pindah kemana Arumi... Kamu ini aneh-aneh saja. Rumah kita itu disini"
"Mas, tolong pikirkan lagi. Mas bawa aku kontrak rumah petak pun mau, yang penting hidup kita tenang. Apa Mas Davin tidak pernah berpikir jika perlakuan Malika yang semakin hari semakin menjadi-jadi itu tidak akan mengganggu mental Adel"
...~Bersambung~...