Shana dan Kaivan, pasutri yang baru saja menikah lima bulan lalu. Sikap Kaivan yang terlalu perfeksionis kadang menyulitkan Shana yang serba nanti-nanti. Perbedaan sikap keduanya kadang menimbulkan konflik. Shana kadang berpikir untuk mengakhiri semuanya. Permasalahan di pekerjaan Kaivan, membuatnya selalu pulang di rumah dengan amarah, meluapkan segalanya pada Shana. Meski begitu, Kaivan sangat mencintai Shana, dia tidak akan membiarkan Shana pergi dari hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bastiankers, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Selepas malam itu, Kaivan benar-benar tidak bertemu Raisa. Dia hanya bertemu beberapa pengawal yang datang hanya untuk memberikan makanan dan minuman. Kaivan benar-benar terpenjara. Dia tidak bisa apa-apa karena di ruangan tertutup itu benar-benar merenggut semua kehidupan dan pola pikirnya.
Bahkan, mayat Maya yang sudah mengeluarkan bau busuk tidak dipedulikan mereka. Membuat Kaivan benar-benar hampir gila selama beberapa hari. Kaivan sengaja menggores-gores dinding untuk menandai sudah berapa lama dia terkurung.
Hari demi hari terlewati begitu saja. Namun, bagi Kaivan satu hari bagaikan satu tahun. Dia bisa gila. Keadaannya semakin memburuk. Nafsu makannya menurun. Beberapa kali dia mengalami demam. Namun, tidak ada yang mempedulikan. Dia sendiri. Dalam ruangan sempit dan sunyi itu, dia memeluk dirinya sendiri.
Raisa benar-benar menyiksa Kaivan. Dia memang tidak menyuruh orang untuk membunuh atau menyakiti Kaivan secara langsung. Namun, dengan mengunci Kaivan dari dunia luar, benar-benar membuat Kaivan tersiksa.
Tidak ada udara segar yang bisa dia hirup. Tidak ada seseorang yang memeluk kala dia merasa sakit. Tidak ada. Dia hanya berdua dengan mayat Maya di ruangan itu.
Tangan Kaivan terulur, dia menggores lagi dinding bercat kuning itu. Menghitung jumlah goresan lurusnya. Oh, ternyata Kaivan sudah tiga minggu.
Tubuh Kaivan merosot ke bawah. Punggungnya menyender di tembok dengan pandangan kosong. Bertanya-tanya dalam hati apakah Shana mencarinya? Apakah Shana merindukannya? Bagaimana kabar Shana? Bagaimana kabar keluarganya? Apakah ada yang mempedulikannya?
Cairan bening meluruh melewati kelopaknya, membuat dua aliran sungai. Kaivan benar-benar putus asa. Dia sudah tidak bisa berteriak lagi. Karena semuanya … sia-sia.
Derap langkah kaki yang terdengar seperti ketukan pantofel mendekati ruangan itu. Pandangan kosong Kaivan terarah ke sana. Dia menunggu seseorang yang akan datang. Meski dia tidak tahu siapa yang akan datang.
Derit pintu terdengar dan seseorang masuk. Dia sendirian. Seorang lelaki berpostur tegap meski setengah usianya sudah terenggut. Mendekat. Menghampiri Kaivan yang baru saja mengusap bekas air matanya. Kaivan berdiri.
Kini, mereka berhadapan. Hanya terpisah oleh jeruji besi yang mengunci Kaivan. Lelaki paruh baya itu menatap Kaivan lurus. Dia menggeleng pelan sembari memijit keningnya. Pandangannya berpendar dan mendapati mayat seseorang yang tengah ditutup oleh kain putih. “Saya datang sendiri ke sini. Tanpa sepengetahuan Raisa,”ucapnya tanpa ekspresi.
Kaivan memilih diam. Dia tidak membuka usaha untuk memohon pada lelaki itu.
“Saya dengar … dia menahan kamu karena kamu sudah menghamilinya. Benar?”tanyanya yang membuat Kaivan menggeleng pelan.
“Tidak, Pak Arga. Saya tidak pernah menidurinya. Bagaimana bisa—”
Perkataan Kaivan terpotong oleh suara bariton Pak Arga yang merendah. “Apa kamu punya buktinya?”
Dan, “Ya. Saya punya buktinya. Kami tidak pernah tidur bersama. Malam itu, dia meletakkan suatu obat penenang di minuman saya saat acara berlangsung. Saat saya benar-benar tidak berdaya, dia membawa saya ke sebuah ruangan. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Namun, selama satu menit di dalam ruangan itu, Raisa keluar. Dia menemui lelaki lain.”terang Kaivan. Dia menjelaskannya sesuai dengan bukti rekaman yang diberikan oleh suruhannya.
Pak Arga mematung. Matanya menatap Kaivan dalam. Lama dia berpikir. Lalu, “Untuk apa dia mengurungmu?”
Kaivan menggeleng, “Saya tidak tahu, Pak.”
Kernyitan di kening Pak Arga terlihat. Matanya menyipit sampai membuat lipatan di keningnya bertambah dalam. Dia mengerjap pelan, beberapa kali dia melakukan itu. Entah apa yang dipikirnya. Namun, “Saya tidak tahu-menahu tentang Raisa. Apa yang dia alami dari kecil, sama sekali saya tidak tahu. Sampai kejadian ini terjadi pun saya tidak tahu. Apa saya ayah yang buruk?”
Mulut Kaivan membuka hendak berbicara. Namun, sesuatu tertahan di tenggorokannya. Rasanya kering dan kelu. Kaivan bahkan tidak bisa memikirkan kata-kata yang tepat untuk menghibur lelaki di hadapannya itu. Dia akhirnya menutup kembali mulutnya.
“Apa kamu bisa menemani saya sebentar?”tanya nya. Tangannya langsung membuka gembok jeruji besi dengan baik, “Untungnya saya sudah meminta kuncinya pada pengawal tadi.” Melirik singkat Kaivan yang tersenyum tipis. “Mereka bahkan tidak mau memberi karena takut sama Raisa. Lalu, saya bilang, kalian takut sama anak saya atau saya sendiri?” Dia terkekeh-kekeh sambil merangkul Kaivan. Keduanya keluar tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.
...***...
“Raisa itu … anak yang baik. Dulu, saat masih kecil. Dia anak yang penyayang. Bahkan, dia takut untuk membunuh semut.” Pak Arga menatap pada fasad yang memisahkan tempat duduk mereka dengan area luar. “Tapi, sekarang, saya tidak tahu apa yang membuatnya bisa membunuh seseorang. Terlebih hanya karena alasan yang tidak logis.”
Tentu saja arah pembicaraannya tertuju pada mayat Maya. Pak Arga kenal betul wajah yang mulutnya robek seperti setan itu. Karena Maya sering keluar masuk ruangan untuk memberi laporan atau membawa teh.
Kaivan hanya terdiam. Dia melihat tampilannya pada fasad kaca yang ada di hadapan mereka. Begitu buruknya penampilannya, bahkan dia tidak berpikir bahwa bayangan itu adalah dirinya sendiri.
“Kamu mau dengar satu hal?”tanya Pak Arga menoleh. Dan saat Kaivan mengangguk, Pak Arga memulai ceritanya. “Dulu saat Raisa kecil, dia mempunyai adik. Adiknya cewek, wajahnya hampir mirip Raisa. Hanya saja matanya bulat, setiap kali dia berbicara, matanya berbinar-binar. Saaangat cantik.” Pak Arga kembali menyesap tehnya. “Saya baru memikirkannya selama perjalanan ke sini. Waktu itu saya ingat betul bagaimana mamanya Raisa itu pilih kasih. Sudah saya bilang untuk jangan membedakan antara keduanya. Namun, dia tetap kekeh. Selalu memuji, atau mendahulukan adiknya Raisa.”
Kaivan masih terdiam. Dia memilih meraih cangkir tehnya, dan menyesapnya.
“Saya tidak tahu persis, apa yang terjadi pada saat itu. Waktu itu umur Raisa baru tujuh tahun. Tepat di hari ulang tahunnya yang ketujuh, adik dan mamanya mengalami kecelakaan tunggal. Mobil mereka menabrak pembatas jalan saat keluar tol. Semuanya terjadi begitu saja. Mereka tidak bisa diselamatkan bahkan setelah mendapatkan penanganan dari Dokter.” Terdengar helaan nafas panjang ketika pandangannya kembali terarah pada fasad.
“Apa Pak Arga sudah mencari tahu informasi terkait kecelakaan itu?” Kaivan baru bersuara. Dia pun ikut berpikir apa yang terjadi pada saat itu.
Pak Arga mengangguk. “Tentu saja, Kai. Saya sudah mencari tahu. Bahwa saat itu, mobil yang dikendarai istri saya, remnya blong.”
Mata Kaivan menyipit bersamaan dengan kernyitan di dahinya yang kian merapat. Dia sempat berpikir bahwa mungkin saja Raisa yang melakukannya.
“Saya tahu pikiran kamu ke mana. Pasti kamu berpikir Raisa yang melakukannya. Iya, kan?” Tapi, Kaivan tidak menjawab. Juga tidak memberi respon apapun. Dia hanya menatap lurus pada kedua manik mata yang berkaca-kaca-kaca itu. “Saya juga sempat berpikir begitu. Meski melihat cctv di depan rumah yang memperlihatkan Raisa kecil sedang bermain di bawah mobil.” Helaan nafasnya terdengar lagi. Menoleh pada Kaivan, “Tapi, mana mungkin anak umur tujuh tahun bisa melakukannya?”