sinopsis:
Nama Kania Abygail tiba tiba saja terdaftar sebagai peserta Olimpiade Sains Nasional.
Awalnya Kania mensyukuri itu karna Liam Sangkara, mentari paginya itu juga tergabung dalam Olimpiade itu. Setidaknya, kini Kania bisa menikmati senyuman Liam dari dekat.
Namun saat setiap kejanggalan Olimpiade ini mulai terkuak, Kania sadar, fisika bukan satu - satunya pelajaran yang ia dapatkan di ruang belajarnya. Akan kah Kania mampu melewati masa karantina pra - OSN fisikanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zuy Shimizu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#Chapter 9: Sayang Sebesar Apa?
"Aku tidak pernah terlalu paham tetang definisi cinta. Yang kutahu hanya sejak ada kamu, aku tidak tertarik dengan hati lain."
###
DENGAN wajah yang memerah dan rasa malu yang menggebu, Kania reflek melepas dekapannya sembari mengambil beberapa langkah mundur.
"S-so-sorry!" ujarnya.
"Ng-nggak apa, sans." Liam menggaruk kepala belakangnya yang tidak gatal.
"Keknya Liam yang nggak sans." Renatta tersenyum tipis melihat keduanya. Sejurus kemudian, ia segera menatap pada Levia. "Kita tinggal gimana, Via? Biar mereka ngomong dulu."
"Iya deh. Tapi jangan lama-lama, ya. Kania masih sakit, masih harus istirahat." jawab Levia.
"Ah, nggak usah. Aku ke sini cuma mau ngecek, kok. Takutnya ganggu." sanggah Liam.
"Ya udah atuh kalo gitu, di dalem aja."
Saran dari Levia langsung dibalas anggukan setuju oleh Renatta. Jadi keempatnya pun segera masuk ketimbang harus berdiri di pintu.
Dengan saran dari Levia pula, Kania akhirnya berbaring di tempat tidurnya dengan dikelilingi oleh Liam, Levia, dan Renatta.
"Sorry lama, Ini ada obat buat kamu. Tadi aku nyari dulu." ujar Liam sembari menyerahkan sekantung plastik putih berisi obat-obatan.
"Tau ga, tadi pas aku bilang kamu sakit, Liam tuh khawatir banget." Renatta mulai membuka pembicaraan sembari menatap Kania. "Dia tadi sampe ngajak kita beli obat dulu buat kamu masa."
"Y-ya kan itu tugas gue sebagai leader tim." sanggah pemuda bersurai merah itu.
"Ngakunya sih tugas, tapi kan nggak tau kalo nanti abis olimpiade malah tuker-tukeran nomor," sahut Levia yang membuat Robin terkekeh setuju. Sedangkan Kania dan Liam hanya bisa menutup mulut rapat-rapat dengan wajah yang benar-benar memerah.
"Udah ah, anjir. Gue mau cuci muka dulu. Ikut ga?" Renatta beranjak dari ranjang Kania sembari menatap Levia dengan satu alis yang terangkat.
"Iya deh," gadis mungil itu ikut bangkit dan membuntuti Renatta ke kamar mandi.
Kini tersisa keheningan antara Kania dan Liam. Pemuda itu jadi gugup karena sorakan teman-temannya sedari pagi tadi. Sedangkan Kania sendiri masih malu karena kelakuannya di pintu tadi yang benar-benar menjatuhkan harga dirinya.
Namun Liam adalah pemuda yang cukup gentle. Ia tidak akan membiarkan keheningan ini berjalan lama. Jadi pemuda itu pun berdeham, "Kamu sakit apa?"
"Demam doang kok," jawab Kania lembut.
"Yakin demam? Tadi Kak Renatta bilang paginya kamu sempet mual." Liam mengarahkan punggung telapak tangannya di kening Kania sejenak. "Panas,"
"Iya," jawab Kania lemah. Kini pipinya kian memanas oleh jarak yang menipis antaranya dan Liam. "Tadi kakak aku nelpon."
"Oh ya?" Liam menaikkan kedua alisnya. "Kak Sabiru bilang apa aja?"
Kania menarik sebuah senyum tipis. "Nggak banyak, tapi cukup nenangin. Intinya dia bilang, kalau dia khawatir. Nggak ada yang ngasih tau, dia bilang sih firasat."
Kedua sudut bibir Liam ikut terangkat. Kini tangannya berada di pucuk kepala Kania dan mengelusnya perlahan. "Aku ikut seneng dengernya, Kania."
Senyuman Kania perlahan memudar. Kini gadis itu meraih tangan Liam yang berada di atas kepalanya dan mengenggamnya dengan kedua tangannya. Genggaman Kania begitu lemah, suhu tubuhnya yang memanas tak membuat Liam menolak sentuhan itu.
"Teh Sabiru... sayang sama aku, kan?" tanya Kania lirih sembari menatap Liam.
Liam mengangguk dengan senyum yang masih tersisa di bibirnya. "Semua sayang Kania," ujarnya lembut. "Liam juga."
Kania terdiam cukup lama. Hatinya menghangat dengan ucapan Liam, juga dengan genggaman yang berada di tangannya.
"Liam sayang sama Kania?" tanya gadis itu.
"Iya."
"Sayang yang seperti apa?"
"Sayang yang besar banget. Nggak bisa di hitung dengan rumus apapun. Nggak ada juga di materi kalkulus."
"Terus gimana nyari tahunya?"
"Nanti, kalo aku udah paham. Aku ajarin kamu." ujar Liam yang diakhiri dengan sebuah senyuman. Pemuda itu pun bangkit dan menarik selimut Kania hingga menutupi dada gadis itu. "Sekarang Kania istirahat, nanti obatnya diminum. Cepet sembuh, semua orang kangen sama kamu."
Kania tersenyum tipis sembari mengangguk. "Liam juga?"
"Iya."
✩₊̣̇. To Be Continue