Seorang kakak yang terpaksa menerima warisan istri dan juga anak yang ada dalam kandungan demi memenuhi permintaan terakhir sang Adik.
Akankah Amar Javin Asadel mampu menjalankan wasiat terakhir sang Adik dengan baik, atau justru Amar akan memperlakukan istri mendiang Adiknya dengan buruk?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noor Hidayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gelisah
Semakin dalam tatapan mereka semakin berdegup kencang pula yang Mahira rasakan. Terasa sangat kencang bahkan mungkin Amar juga mampu merasakannya.
"Kak-Amar..." lirih Mahira membuat Amar tersentak dan langsung mengalihkan pandangannya. Menyadari posisinya saat ini, Amar bergegas bangkit dan duduk membelakangi Mahira. Kemudian pergi tanpa mengatakan sepatah katapun.
Mahira meletakkan tangannya di atas dada menenangkan nafasnya yang masih tak beraturan.
"Hhhuuuffff...." Mahira mengembuskan nafasnya perlahan sambil terus mengelus-elus dadanya.
"Kamu harus bisa mengendalikan dirimu Mahira, ingat... pernikahan ini hanya sebatas status diatas kertas. Bukan pernikahan seperti yang kamu jalani bersama Mas Amir." ujar Mahira mengingatkan diri sendiri.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Pagi harinya setelah selesai sarapan, Amar melihat ke arah dapur dimana biasanya Mahira tengah sibuk menyiapkan bekal untuk dirinya, tapi kali ini Amar tidak melihatnya sehingga merasa ada yang kurang.
"Ayo salim dulu sama Ayah, Ayah sudah mau berangkat."
Ucapan Mahira di dengar oleh Amar yang langsung bangkit menyambut baby Emir. Rutinitas setiap pagi sebelum Amar berangkat bekerja.
"Udah yuk, nanti Ayah terlambat." ujar Mahira sambil mengulurkan kedua tangannya.
"Sebentar lagi Mahira," ucap Amar menawar.
"Baiklah kalau begitu aku sambil beresin meja makan ya."
Seolah tidak ingin berlama-lama dengan Amar, Mahira bergegas pergi merapikan meja makan. Sementara Amar terus mengikuti pergerakan Mahira yang kesana kemari karena merasakan ada sesuatu yang mengganjal dihatinya.
"Udah mau berangkat yah?" tanya Mahira yang melihat Amar terus mengikutinya.
"E-iya." dengan berat Amar mengiyakan pertanyaan Mahira meskipun sebenarnya Ia masih belum ingin berangkat.
"Baiklah, kemari sayang... Ayah berangkat dulu." ujar Mahira mengambil baby Emir dari gendongan Amar. Setelah itu meminta Amar untuk berhati-hati lalu masuk kedalam tanpa menunggu Amar meninggalkan rumah seperti biasanya.
"Apa Mahira marah padaku?" batin Amar yang kemudian dengan langkahnya yang berat meninggalkan rumah.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Ditengah pekerjaannya Amar tidak bisa tenang karena terus memikirkan sikap Mahira yang berubah, ditambah bayangan saat Ia berada diatas tubuh Mahira selalu terlintas di pikirannya, semakin membuat Amar tak bisa berkonsentrasi.
"Argh! Ada apa dengan ku kenapa aku terus saja memikirkan hal itu!" Amar memukul mejanya dan segera bangkit dari duduknya. Ia merasa kesal pada diri sendiri karena sejak pagi tak bisa berhenti memikirkan Mahira.
Amar kembali termenung melihat kotak bekal makan siang kemarin yang belum sempat ia bawa pulang, membuat Amar kembali teringat saat Mahira menyaksikan dirinya saat memberikan bekal itu kepada orang lain.
Perlahan Amar membuka kotak bekal itu dan melihat masih ada sedikit makanan yang tersisa. Entah apa yang ada dalam pikirannya, Amar mencicipi bekal sisa itu, padahal makanan itu bukan hanya sisa kemarin, tapi juga bekas petugas kebersihan.
Tidak tahan lagi dengan apa yang ia rasakan, Amar bergegas meninggalkan ruangannya. Para staf kantor dan pekerja lainnya yang menyapanya dengan ramah semua diabaikannya.
"Tuan..." sapa petugas kebersihan begitu melihat Amar keluar dari kantornya, seperti yang biasanya Ia lakukan.
"Maaf Pak, mulai sekarang tidak ada lagi makan siang dariku."
Mendengar itu, petugas kebersihan menunduk sedih.
"Tapi jangan khawatir, mulai besok Asisten ku yang akan menjamin makan siang Bapak, begitu juga dengan bantuan untuk keluarga yang selama ini Bapak terima." jelas Amar yang kemudian meninggalkan petugas kebersihan itu.
Bersambung...