kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 1
"Assalamualaikum." Adiba mengucap salam seraya melangkahkan kakinya memasuki rumah.
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wa barokatuh," sahut beberapa suara dari dalam.
Adiba tertegun, melihat tamu yang tidak ia kenal. Ia berpikir, pastilah itu teman bapaknya. Pak Mustofa, atau malah bundanya, Bu Sawitri. Tapi ada yang aneh, mereka terlihat sangat antusias menatap nya. Dan bundanya itu, sangat tak biasa menyambut dengan wajah yang sangat cerah.
"Nah, ini anaknya, baru pulang sekolah," seru Bu Sawitri berdiri dan menarik Adiba duduk sisinya. Adiba menurut saja walau ia menatap bingung.
"Ini Adiba. Adiba Khanza Az-Zahra. Tahun ini 18 tahun. Bulan tujuh."Bu sawitri memperkenalkan, seraya tangannya memegang lembut bahu Diba.
Adiba menatap bingung bunda dan ayahnya. Ia berganti memandang tamu-tamu yang duduk di seberang sana. Seorang pria muda berusia sekitar 28 tahun, tampan, dan berkulit putih. Jika tersenyum langsung tampak lesung pipinya.
Sepasang paruh baya yang duduk mengapit pria muda itu. Yang wanita berwajah teduh, berpakaian serta berhijab lebar, dan yang pria berwibawa dan tampak sangat religius. Terlihat mereka dari keluarga terpandang dan agamis tentunya.
Adiba berganti memandang kedua orang tuanya dengan kebingungan yang memuncak.
"Ada apa ini, Bunda, Ayah?" tuntutannya meminta penjelasan.
Bu Sawitri tersenyum membalas pandangan anak gadisnya. Sembari tangannya mengusap lembut kepala Adiba.
"Adiba, beliau-beliau ini datang dari Pakis." Pak Mustofa mulai menjelaskan.
"Beliau ini namanya Kyai Rauf dan istrinya Nyai Atiyah," lanjut pak Mustofa menunjuk sepasang paruh baya dengan jempolnya. Kyai Rauf dan Nyai Atiyah tersenyum hangat. Adiba membalas walau bingung apa yang terjadi.
Lalu pandangan mata pak Mus berganti pada pria muda yang duduk di tengah. "Dan yang ini, namanya mas Satria Habiburrahman. Usianya 28 tahun dan masih lajang. Maksud kedatangan mereka ini untuk melamar kamu, Adiba."
"Apa?" Seketika Adiba berdiri.
Bu Sawitri tersenyum kikuk, merasa tak enak karena reaksi Diba yang dianggap berlebihan.
"Diba, duduk. Duduk dulu, nak," suruhnya menarik tangan sang anak agar duduk kembali.
Diba masih sangat syok dan tak percaya. Ia merendahkan tubuhnya lagi sampai bokong menyentuh sofa.
"Nak Diba pasti kaget sekali ya?" Nyai Atiyah tersenyum lembut pada gadis yang masih memakai seragam SMA itu.
"Kami tidak langsung meminta jawaban. Nak Diba bisa istiqarah dulu."
Diba diam karena masih sangat syok dirinya dilamar. Bagaimana bisa ia dilamar seorang ustadz?
***
Adiba memijit pelipisnya yang berdenyut nyeri. Ia tak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang langsung menerima lamaran dari pihak Kyai Rauf. Aneh bukan? Seorang dari keluarga terpandang tiba-tiba datang dan melamarnya. Dia hanyalah seorang gadis yang baru berusia 18 tahun. Baru saja lulus sekolah dan akan menikmati indahnya masa kuliah. Kenapa tiba-tiba ada yang melamarnya? Yang lebih mencengangkan lagi kedua orangnya langsung setuju, meski Adiba sudah menolak mentah-mentah.
"Ya ampun keluarga itu. Apa mereka kekurangan calon wanita Solehah sampai melamar gadis sepertiku?" gumam Adiba tak habis pikir."Ini sangat aneh, aneh banget. Apa pria itu punya kelainan?"
Adiba sudah memikirkan yang tidak-tidak. Ditambah lagi ia sudah berpacaran dengan Arga. Cowok yang sudah lama ia sukai dan kagumi.
"Aarrggg! Gimana nih? Mana Ayah sama Bunda asal nerima aja lamaran mereka." Adiba bergumam makin kesal dan frustasi. Gadis itu terus mengacak rambutnya.
Adiba berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Otaknya terus berpikir mencari jalan keluar. Saat terlintas satu ide, Adiba menjentikkan jarinya. "Aku ke rumah Yana saja sekarang."
Gegas Adiba menyambar jaket dan kunci motor. Tak lupa ia meminta uang bensin pada bundanya.
"Mau kemana?" Bu Sawitri bertanya seraya mengambil uang lima puluh ribu dari dompet berlogo sebuah toko emas.
"Ke rumah Yana, bun," sahut Diba tanpa berdusta.
"Jangan main terus, pulang sebelum magrib!" pesan Bu Sawitri mengulurkan yang langsung disambar Diba.
"Iya, bunda. Diba pergi dulu," pamit Diba mencium tangan bundanya.
Diba menarik tuas gas motor matiknya ke rumah Yana, sahabat dekatnya. Sesampainya di rumah Yana, gadis yang memakai jilbab bergo warna coklat susu itu melongo mendengar Adiba telah dikitbah seorang pria tak dikenal.
"Yang benar? Kamu dikhitbah?" seru Yana masih tak percaya. Matanya sampai berkedip beberapa kali saking tak percayanya. Diba yang blangsak tiba-tiba dilamar seorang pria alim? Entah kemana mata orang alim itu. Ya memang sih, Diba cantik. Tapi, bukan itu yang jadi tolak ukur mereka, melainkan akhlak nya.
"Kondisikan tuh mulut, ntar lalet masuk lagi," Gerutu Adiba mengibaskan tangan di depan wajah Yana,"Lagian khitbah apaan, sih?"
"Ya dilamar. Katamu, kamu dilamar sama cowok alim. Siapa namanya?" tanya Yana sembari menyedot es teh di gelasnya.
"Satria," jawab Diba malas. Menarik gelas di depan Yana dan ikut menyeruput.
"Ooohh, satria." Yana manggut-manggut."Terus Arga mau kamu gimanain?"
"Iihh, ya itulah yang aku pusingin. Bantuin dong!" ujar Adiba mengacak rambut frustasi.
"Kamu mau aku bantuin apa?"
"Ya bantuin apa kek, mikir kek. Nyingkirin Mas Satria kek, apapunlah!" rajuk Diba cemberut. "Yang penting aku nggak jadi nikah sama si Satria itu."
“Kalau aku sih, memding sama Si Satria itu, Diba. Udah jelas dia ada maksud baik dengan melamar kamu. Daripada sama Arga, Apalagi dia itu…” Yana tidak menyelesaikan kata-tanya karena ia sendiri masih ragu.
“Arga kenapa? Aku sih Ogah sama Si Satria itu. Masih belum jelas juga bagaimana orangnya. Kalau Arga kan, aku udah tau bagaimana orangnya, udah kenallah!” sambar Adiba mempertahankan pemikiran ya.”Entar ajalah ngomongin Arga. Yang penting gimana caranya nyingkirin Satria.”
Yana tak lantas melanjutkan kalimatnya karena sudah dipotong oleh Adiba.’ Biarlah urusan Arga nanti saja, lagipula mungkin saja aku salah lihat waktu itu," batin Yana. Ia memilih diam dan ikut memikirkan menyingkirkan Satria saja.
"Siapa nama calonmu? Maksudku yang maksa nglamar kamu itu." Yana mengoreksi karena mendapat pelototan dari Adiba.
"Kan udah kubilang tadi, Satria!" tukas Adiba jengkel.
"Ya maksudnya, nama panjang dia, orang mana? Terus gimana orangnya, kek gitu-gitulah," ujar Yana lebih menjelaskan maksudnya.
"Mmmm... Namanya Satria Habiburrahman, udah tua, 28 tahun. Orang Pakis," jawab Adiba malas. Mata Yana melebar seketika, tubuh gadis itu condong ke arah Adiba dan mencengkram tangannya.
"Maksud mu, Ustadz Satria? Anaknya Kyai Rauf?" Mata Yana melebar tak percaya.
Dahi Adiba mengernyit, "Kok kamu tau?"
"Gila! Nggak kaleng-kaleng yang nglamar kamu, Adiba!" ujar Yana sambil tangannya menggoncangkan tubuh sahabatnya itu.
"Maksudnya?" Adiba makin tak mengerti dan menepis tangan Yana. Pusing kepalanya digoncang sedemikian kuatnya oleh sang sahabat.