Warning⚠️
Siapkan tisu karna banyak adegan mengharukan mungkin akan menguras air mata.
_____
Menceritakan perjalanan hidup seorang pemuda bernama Firman yang berprofesi sebagai seorang pengedar obat-obatan terlarang. Sekian lama berkecimpung di dunia hitam, akhirnya Firman memilih berhijrah setelah mendapatkan hidayah melalui seorang anak kecil yang ia temukan di tepi jalan.
Akan tetapi, semua itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak halang rintangan yang menghambatnya keluar dari dunia hitam.
"Jack, mungkin aku akan keluar dari dunia hitam ini."
"Kau jangan gila, Man! Togar akan mencari dan membunuh kau!"
Dapatkan Firman keluar dari dunia hitam setelah bertahun-tahun berkecimpung di sana. Dan apakah ia akan Istiqomah dengan pendiriannya, atau akan kembali kejalan yang dulu yang pernah ia tempuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Remaja01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Waktu yang di tunggu terasa lama berlalu. Aisyah juga sudah kembali keruang tunggu dan duduk di sebelah Firman. Mereka saling mendiamkan diri.
Dalam diam, lisan Firman berzikir, bersalawat dan berdoa untuk kesembuhan Umar.
"Ya Allah, aku tau, aku hanya seorang pendosa. Aku tau, aku hanya hambaMu yang bodoh. Aku hambaMu yang baru belajar menganalMu. Tapi aku juga hambaMu yang berhak meminta pertolongan. Dengan berkah nabiMu Muhammad SAW, nabi yang Engkau utus memberi rahmat pada semesta ini. Kabulkanlah doaku. Mudahkanlah proses operasi Umar di dalam sana. Berikan dia kesembuhan, agar dia bisa menjalani kehidupan seperti anak-anak lain," bisik hati Firman.
Beberapa menit berlalu, terdengar suara pintu ruang operasi terbuka di susul dengan munculnya seorang perawat dari sana. Firman segera berdiri. Mungkin operasi telah selesai di lakukan.
"Bagaimana anak saya?" tanya Firman dengan semua emosi yang sejak tadi berselubung di dada.
Perawat itu tersenyum ramah. "Pak Firman tenanglah. Alhamdulilah operasi berjalan lancar."
"Alhamdulilah." Firman mengusap kedua telapak tangan ke wajah. Sesaat kepalanya mendongak memandang langit. Bersyukur atas semuanya. Firman juga menoleh pada Dokter Aisyah yang berdiri di belakangnya sebelum beralih pada perawat tadi.
"Apa saya boleh melihatnya?" Firman memandang perawat itu.
Perawat itu mengangguk kecil, "Mari," ajaknya lalu membawa Firman dan Aisyah masuk.
Tampak oleh Firman seorang dokter dan beberapa tenaga medis lain berdiri di sebelah Umar yang terbaring.
Dokter itu juga melihat ke arah Firman dan Aisyah dengan senyum ramah.
Firman tak merespon senyum itu. Ia terus mendekat dengan mata yang hanya tertuju pada tubuh kecil yang terbaring diatas ranjang.
Kelopak mata si kecil tertutup rapat seperti saat sedang tidur. Namun, Firman masih dapat melihat sisa darah di badannya.
Firman menguatkan diri melihat Umar yang terbaring. Pada mulut si kecil terpasang alat bantu pernafasan. Slang dan kabel lain juga banyak terpasang di tubuh kecil itu yang saling terhubung ke masing-masing alat untuk melihat tingkat oksigen, detak jantung dan tekanan darah.
Bunyi alat-alat yang terhubung ke badan Umar cukup nyaring terdengar di telinga Firman. Jika boleh, ingin sekali dicabutnya benda-benda aneh yang menempel di badan Umar.
Setelah beberapa saat berada di ruangan itu, Firman dan Aisyah di minta keluar, karna petugas akan membersihkan badan Umar terlebih dulu. Mereka di izinkan membesuk Umar pada jam 6 sore hingga jam 8 malam. Dalam ruangan ICU, tidak di bolehkan keluarga korban menjaga pasien, sebelum pasien di pindahkan keruangan pemulihan.
Sekali lagi Firman menoleh kebelakang untuk melihat Umar sebelum benar-benar meninggalkan ruangan itu. Senyum hambar di ukir pada Aisyah. Betapa setianya gadis itu mendampinginya setelah apa yang terjadi.
"Aisyah, sa-saya....saya minta maaf karna selalu libatkan Aisyah dalam masalah saya," ucap Firman sambil melangkah kearah tangga di sudut bangunan.
"Jangan bicara seperti itu. Saya juga sudah anggap Umar sebagai keluarga saya sendiri," balas Aisyah yang berjalan di samping Firman.
"Terimakasih. Saya tidak yakin bisa menghadapi semua ini sendiri jika tidak ada Aisyah." Firman menghela nafas. "Sekali lagi terimakasih. Sudah banyak sekali bantuan yang telah Aisyah berikan. Saya tidak tau bagaimana harus membalasnya.
Aisyah diam saja.
"Saya tau fitnah akan datang kalau kita terus seperti ini. Saya juga dengar sebagian orang di dalam mesjid tadi membicarakan tentang hubungan kita. Lagian karyawan di klinik Aisyah juga sering membicarakan tentang saya, kan?"
Ucapan Firman membuat langkah Aisyah terhenti. Begitupun Firman yang berjalan di sebelahnya.
Semua yang di katakan Firman benar, Aisyah tak menafikan semua itu. Ia memang di himpit mulut orang-orang sekliling yang beranggapan macam-macam tentang hubungannya dengan Firman yang tidak memiliki ikatan apa-apa. Aisyah merasa bagai perempuan kegatalan yang selalu menemani Firman. Aisyah tahu apa yang di lakukannya hanya menyakiti diri sendiri. Rasa yang dimilikinya seperti bertepuk sebelah tangan.
Firman menangkap gadis di sebelahnya sedang menyeka air mata. "Saya juga tidak ingin hubungan kita ini terus-terusan menjadi fitnah orang-orang. Jadi sebaiknya..."
Aisyah menunduk. Hatinya seakan pecah saat ini. Ia takut mendengar lanjutan kalimat Firman, tapi ia juga sudah lelah menunggu jawaban atas luahan perasaan yang pernah diungkapkannya pada lelaki itu. Seandainya hari ini ia di tolak, Aisyah akan menerima dengan ikhlas.
"Saya pikir ada baiknya hubungan kita ini...segara kita halalkan," sambung Firman.
Bagai ada sengatan elektrik kala mendengar sambungan kalimat yang diucapkan lelaki itu. Aisyah menoleh memandang tepat wajahnya.
"Kita tidak perlu bertunangan, karna saya sudah kenal siapa Aisyah. Hanya saja, saya tidak yakin orang tua Aisyah akan menerima lelaki seperti saya dan juga bisa menerima Umar sebagai keluarga."
"Terimakasih karna sudah memberikan jawaban," balas Aisyah menyembunyikan rasa bahagianya.
"Saat saya pulang kampung, hal ini sudah saya beritahukan pada keluarga saya. Mungkin nanti saya akan menghubungi mereka dan mengajak mereka datang kesini untuk melamar Aisyah. Saya ingin menjaga Umar bersama Aisyah. Dan saya juga akan menjaga Aisyah sebagai istri saya."
Aisyah mengangguk kecil. Wajahnya kembali menunduk memandang lantai. Debaran di dada begitu hebat terasa. "Nanti akan saya beritahukan pada keluarga saya."
"Terimakasih, Aisyah," ucap Firman. Kedua mata di kedipkan memberi izin jika gadis itu ingin pergi.
***
Tiga hari berlalu....
Inilah hari yang tidak pernah terpikir oleh Aisyah. Semua terjadi begitu cepat. Setelah tadi malam keluarga Firman datang meminangnya secara lansung pada kedua orang tuanya. Sekarang, pemuda yang telah lama mencuri hatinya itu datang lagi dan telah melafaskan ijab kabul siang tadi.
Rumah keluarga Aisyah menjadi tempat resepsi sederhana di langsungkan.
Aisyah di peluk ibunda Firman. Ia tersenyum dan mengecup tangan wanita tua itu. Sejak pagi tadi sampai sekarang hatinya masih berdebar tak menentu. Seakan tak percaya dirinya sekarang telah sah menjadi istri Firman Ashrafi. Seorang pemuda yang sejak delapan tahun lalu telah mencuri hatinya. Dan sekarang, pemuda itu telah halal untuknya.
"Selamat ya, Aisyah," ucap Halimah. Wajah menantunya di belai penuh kasih.
Aisyah tersenyum malu-malu.
Kebaya putih yang di gunakannya adalah kebaya pemberian ibunda Firman yang di beli khusus untuk pernikahan putra bungsunya.
"Aisyah, sini salam dengan suamimu," perintah Rosalinda, orang tua Aisyah.
Aisyah memandang Firman yang masih berada di antara kedua orang tuanya. Lalu ia bangkit dan membungkukan badan. Di depan Firman yang duduk bersila, Aisyah duduk bersimpuh.
Jantung semakin kencang berdetak. Tangan Firman yang terulur di pandang saja.
Rosalinda mengusap punggung Aisyah. Meyakinkan pada putrinya agar meraih tangan suaminya.
Ragu-ragu Aisyah menyambut uluran tangan Firman dan membawa ke bibir. Firman membalas dengan mencium kening Aisyah.
Kini giliran tangan Aisyah yang di ulurkan dan di sambut Firman dengan memasangkan sebuah cincin emas yang di jadikan mas kawin tadi.
Sesaat Aisyah memandang jari manisnya yang telah terpasang cincin. Jantung kembali berdetak tak menentu.
Aisyah tersenyum. Matanya berkaca karna sadar dirinya tidak lagi menjadi tanggung jawab ayahnya. Tapi setelah ini lelaki yang ada di hadapannya ini yang akan menjaganya.
Tisu yang sejak tadi di pegang di gunakan menyeka air mata sendiri. Sungguh rasa haru ini membuat ia tidak dapat membendung air mata.
Semua biaya syukuran kecil-kecilan ini dan cincin yang di persembahkan sebagai mas kawin, di beli dengan uang tabungan Firman sendiri. Sedangkan jamuan untuk tamu di masak oleh Aisyah dan pembantu rumahnya.
Cubitan kecil di pinggang membuat Aisyah menoleh kebelakang. Senyum kuda Nayla yang baru datang membuatnya sedikit geram. "Kenapa baru datang?" sungut Aisyah.
"Hehehehe. Maaf. Tadi suamiku mengurus rumah yang akan kami tempati. Makanya kami agak telat." Nayla masih menyengir kuda menanggapi wajah cemberut sahabatnya.
"Lagian pengantin baru mana boleh marah-marah," tambah Nayla. Tangan Aisyah diambil dan di usap untuk membujuk.
Aisyah memeluk Nayla. Dagu di topangkan di bahu sahabatnya itu. Air mata kebahagiannya kembali tumpah di sana.
Baru kemarin Nayla menikah dengan Jack. Hari ini ia juga sudah menjadi istri orang.
"Eh, kenapa nangis?" tanya Nayla menyadari isakan kecil Aisyah dekat telinganya.
Aisyah menggeleng seraya melerai pelukan.
"Bukankah ini impianmu?" Nayla menyeka air mata sahabatnya.
Aisyah kembali mengangguk.
"Jadi, kenapa nangis?"
Tanya Nayla membuat Aisyah tertawa kecil. "Aku bahagia, bukan nangis, tau."
"Kalau bahagia itu tersenyum, bukan nangis seperti ini. Sudah, jangan nangis lagi. Jelek, tau," ledek Nayla.
Aisyah mencebik sambil menyeka air mata sendiri.
"Firman mana?" Jack tiba-tiba muncul. Kepala menoleh kiri dan kanan mencari kelibat sahabatnya di rumah mewah itu.
"Mungkin sedang sholat ashar di atas," jawab Aisyah setalah menyeka jejak air mata.
"Ooh... Kabar Umar gimana?" tanya Jack lagi. Pria itu telah berdiri di sebelah Nayla.
"Umar masih di ICU. Insyaallah kalau tidak ada apa-apa besok akan di pindahkan ke ruangan pemulihan," jawab Aisyah.
"Semoga setelah ini dia sembuh total. Kasian juga melihatnya sebentar-sebentar masuk rumah sakit."
"Ammin," balas Aisyah dan Nayla serentak.
"Kalian di sini dulu, aku mau kesana sebentar," pamit Aisyah, ketika melihat Michael lewat. Segera Aisyah berjalan mendekat dan memeluk tubuh abangnya. "Terimakasih, karna Abang sudah yakinkan mama dan papa agar menerima Ashrafi dan Umar," ucap Aisyah. Wanita itu kembali terisak dalam pelukan Michael.
"Hmm...." balas Michael sambil mengusap kepala adiknya. "Sudah sana pergi. Ngapain nangis di sini? Tuh, suamimu sudah menunggu." Michael melerai pelukan Aisyah.
Wajah Aisyah berubah merah kala Michael sengaja menggodanya.
Aisyah menoleh ke arah Firman yang telah selesai shalat. Saat ini suaminya sedang menyambut tamu yang hadir.
"Tunggu apa lagi? Sana pergi? Pakai malu-malu segala." Michael sedikit mendorong tubuh adiknya.
Dengan malu-malu Aisyah pergi juga mendekati Firman.
"Aisyah, sudah makan?" tanya Firman melihat sosok istrinya mendekat.
"Hmm.." Aisyah masih merasa kikuk ketika berhadapan dengan Firman.
Firman menggeleng dengan senyum khasnya, lalu tangan Aisyah di raih dan di persilahkan duduk di kursi.
Aisyah menurut.
"Setelah ashar saya mau kerumah sakit. Aisyah mau ikut?" Lembut suara Firman mengajak istrinya.
"Mau," jawab Aisyah cepat. Mana mau ia di tinggal. Kalau bisa 24 jam ia akan berkepit dengan suaminya.
Firman tersenyum, sepasang netranya memandang lekat wajah cantik gadis yang baru saja halal untuknya. "Terimakasih sudah mau menerima saya." Firman merasa dirinya begitu banyak kekurangan. Dapat menikah dengan Aisyah benar-benar suatu anugerah yang tidak akan pernah di sia-siakannya.
"Terimakasih juga karna bang Ash mau menerima saya," balas Aisyah. Walau orang lain menyayangkan kenapa ia memilih Firman, tapi bagi Aisyah pilihannya sudah tepat.
"Mau makan? Saya suapkan ya?" Tanpa menunggu persetujuan Aisyah. Satu piring diambil lalu nasi dan opor ayam di sendok ke dalam piring. Kemudian Firman duduk di sebelah Aisyah.
"Aaak." Satu suapan di ulurkan Firman ke mulut Aisyah.
Aisyah menoleh ke kiri dan kanan. Untung saja para tamu yang datang juga sedang sibuk menyantap hidangan. Lalu mulut di buka menerima suapan Firman.
"Sebelumnya saya mau minta maaf, mungkin nanti saya akan sibuk mengurus keperluan Umar di rumah sakit," ucap Firman. Awal-awal di sampaikan karna takut Aisyah beranggapan kalau dirinya terlalu mementingkan Umar.
"Saya gak akan mempersalahkan itu. Bukankah sekarang Umar sudah menjadi anak saya juga?"
Firman tersenyum mendengar jawaban istrinya. Satu suapan lagi di ulurkan ke mulut Aisyah. "Aaa."
"Hap." Aisyah melahap suapan itu setelah yakin tidak ada yang melihat.
kasian Aisyah 😢
luar biasa Aisyah dengan ucapannya ya...
karena sebaik baik memohon pertolongan & perlindungan hanya kepada ALLAH SWT saja.
thoyyib Author thoyyib...👍
semoga alur di bab ini Author bisa menggiring pembaca, agar bisa juga Istiqomah menjadi pribadi yang lebih baik.
semangat & sehat sehat ya Thor 💪
Wallahu a'lam bisawwab 🙏