Update Sebulan Sekali (Opsional)
Local Galactic Group, dimensi yang menjadi ajang panggung pertarungan para dewa dalam siklus pengulangan abadi. Noah, Raja Iblis pertama harus menghadapi rivalitas abadinya, Arata, Dewa Kegilaan akan tetapi ia perlahan menemukan dirinya terjebak dalam kepingan-kepingan ingatan yang hilang bagaikan serpihan kaca. The LN dewa pembangkang yang telah terusir dari hierarki dewa. Mendapatkan kekuatan [Exchange the Dead] setelah mengalahkan dewa Absurd, memperoleh kitab ilahi Geyna sebagai sumber kekuatan utama.'Exchange the Dead' kemampuan untuk menukar eksistensi dan mencabut jiwa sesuka hati, mampu menukar kematian ribuan kali, menjadikannya praktis tak terkalahkan menguasai kitab ilahi Dathlem sebagai sumber kekuatan tambahan menciptakan makhluk-makhluk rendah dengan satu bakat sihir sebagai perpanjangan kekuasaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Garden of Eques: Kehancuran dan Janji Reinkarnasi
Arata melangkah keluar dari portal dimensional, mata kanannya langsung menganalisis setiap detail Dimensi Feuya yang terbentang di hadapannya. Pemandangan yang terlihat begitu kontras - setengah dunia diselimuti gelembung-gelrmbung divine keemasan yang menjulang ke angkasa, sementara setengah lainnya tenggelam dalam kegelapan pekat yang bahkan cahaya tak mampu menembusnya.
"Ah! Aku mencapai titik ini, perjalanan amat jauh sampai aku berhasil diakhir dimensi Feuya," Arata bergumam, Agroname bergetar di tangannya, merasakan energi divine. "Dimensi yang terbagi antara cahaya dan kegelapan abadi, dimensi yang benar-benar dibawah semua para Dimensi."
Dari kejauhan terdengar gemerincing lonceng crystal divine - tanda bahwa kehadirannya telah terdeteksi. Arata tersenyum. Setelah menyerap kekuatan Adam dan para Dewa Minor, ia bisa merasakan pedang Agroname semakin kuat, semakin haus akan energi divine.
Sosok-sosok bercahaya mulai bermunculan dari gelembung divine - para Ksatria Cahaya Feuya. Armor mereka terbuat dari gelombang divine murni, menciptakan aurora keemasan di setiap gerakan. Di sisi lain, dari kegelapan pekat muncul para Pengawal Bayangan dengan jubah hitam yang menyerap segala cahaya.
"Penyusup!" seorang Ksatria Cahaya mengacungkan pedang crystalnya. "Beraninya kau menodai tanah suci Feuya!"
"Dia membawa energi asing," salah satu Pengawal Bayangan mendesis. "Energi yang tidak berasal dari cahaya maupun kegelapan."
Arata mengangkat Agroname, membiarkan energi kegilaan mengalir dari mata kanannya ke pedang kuno itu. "Kalian benar. Aku membawa sesuatu yang berbeda - sesuatu yang akan menghancurkan keseimbangan palsu dimensi ini."
"Mustahil!" Ksatria Cahaya tertawa mengejek. "Feuya telah berdiri sejak awal penciptaan, dijaga oleh kekuatan The Creator sendiri. Keseimbangan antara cahaya dan kegelapan adalah hukum absolut di sini!"
"Hukum absolut?" Arata menyeringai. Mata kanannya berkilat, memantulkan seluruh dimensi Feuya dalam berbagai sudut realitas. "Kalian masih belum mengerti. Setelah apa yang kulakukan pada Adam, setelah menghancurkan teknologi divinenya yang sempurna... kalian pikir keseimbangan kalian bisa menghentikanku?"
Para Ksatria Cahaya dan Pengawal Bayangan bergerak serentak, menciptakan formasi pertahanan yang telah mereka latih selama ribuan tahun.
Namun mata kanan Arata melihat semuanya - setiap celah mikroskopis dalam teknik mereka, setiap ketidaksempurnaan dalam paduan energi mereka. Melalui mata Sargceva, ia bisa melihat bahwa keseimbangan yang mereka bangga-banggakan sebenarnya adalah kelemahan terbesar mereka.
"Biar kutunjukkan," Arata mengangkat Agroname tinggi-tinggi, "apa yang terjadi ketika keseimbangan bertemu kegilaan!"
Energi kegilaan meledak dari pedang kuno itu, menciptakan distorsi yang belum pernah dilihat Dimensi Feuya.
Dalam sekejap mata, pertarungan telah usai. Sepuluh tubuh berarmor tergeletak di tanah dimensional - lima Ksatria Cahaya dan lima Pengawal Bayangan. Aura divine mereka yang megah kini memudar, ditelan oleh energi kegilaan yang menguar dari Agroname.
Arata melangkah perlahan di antara para prajurit yang tumbang, ujung pedangnya menyeret di tanah dimensional, menciptakan guratan-guratan realitas yang retak. Ia berhenti di hadapan seorang Ksatria Cahaya yang masih setengah sadar.
"Dimana dia?" tanya Arata dengan nada tenang yang kontras dengan kekacauan di sekelilingnya. "Dimana Dewi Feuya bersemayam?"
Ksatria itu terbatuk, darah divine keemasan mengalir dari sudut bibirnya. "Lebih baik... aku mati... daripada mengkhianati Yang Mulia... Kau pasti akan membunuhnya itu sama halnya menghancurkan dimensi ini!"
Seringai tipis muncul di wajah Arata. Mata kanannya berkilat berbahaya. "Ah, kesetiaan yang mengagumkan. Tapi kau tahu..." Ia berlutut di samping sang ksatria, "Ada dua cara kita bisa melakukan ini."
Arata mengangkat Agroname, membiarkan cahaya dimensional memantul dari bilahnya yang hitam. "Cara pertama sangat sederhana - kau memberitahuku lokasi Dewi Feuya, dan aku mengakhiri penderitaanmu dengan cepat."
Pedang itu kemudian beralih ke mata kanan Arata yang berkilau dengan energi Sargceva. "Cara kedua... Kau pasti sudah mendengar tentang apa yang kulakukan pada Adam. Bagaimana aku memaksanya merasakan kematian dalam ribuan realitas berbeda... secara bersamaan."
Para ksatria yang lain mulai menggeliat sadar, mendengarkan dengan ngeri.
"Jadi," Arata memiringkan kepalanya, "bagaimana menurutmu? Haruskah kita mulai dengan realitas dimana kulitmu mengelupas perlahan oleh angin divine? Atau mungkin yang tubuhmu aku hujam dengan Agroneme?"
Seorang Pengawal Bayangan tiba-tiba berteriak, "Menara Crystal! Dia ada di Menara Crystal!"
"Pengkhianat!" desis Ksatria Cahaya yang terluka.
"Menara Crystal?" Arata bangkit berdiri, pandangannya menyapu horizon dimensional. Di kejauhan, tepat di garis batas antara cahaya dan kegelapan, sebuah menara ramping menjulang menembus langit - setengah berkilau keemasan, setengah tenggelam dalam bayangan.
"Ah, tentu saja." Arata tersenyum. "Dimana lagi sang dewi akan bersemayam selain di titik keseimbangan sempurna?"
Ia mulai melangkah pergi, tapi berhenti sejenak. "Oh, dan terima kasih atas informasinya." Agroname bergerak dalam satu sabetan cepat, mengakhiri penderitaan kesepuluh ksatria itu dengan segera. "Aku selalu menepati janjiku."
Mata kanan Arata berkilat sekali lagi saat ia menatap Menara Crystal di kejauhan. "Nah, Dewi Feuya... mari kita lihat seberapa sempurna keseimbanganmu ketika berhadapan dengan chaos kegilaan!"
Arata memandang tangga spiral yang melingkar di sepanjang dinding Menara Crystal. Setiap anak tangga berkilau dengan energi divine yang bergantian - satu anak tangga memancarkan cahaya keemasan, sementara anak tangga berikutnya menyerap cahaya dalam kegelapan pekat. Pola ini terus berulang hingga puncak menara yang tak terlihat.
"Terlalu mudah," gumam Arata sambil menaiki beberapa anak tangga. Tidak ada jebakan, tidak ada pertahanan. Hanya keheningan yang mencekam dan dentang lembut energi divine yang berpadu dengan kegelapan.
Mata kanannya berkilat, menganalisis struktur menara. Melalui pandangan Sargceva, ia bisa melihat aliran energi yang membentuk spiral sempurna dari dasar hingga puncak menara. Energi cahaya dan kegelapan yang saling mengimbangi, menciptakan harmoni dimensional yang hampir... menjijikkan bagi Arata.
"Dewi Feuya pasti tahu aku datang," Arata berhenti setelah menaiki sekitar dua puluh anak tangga. "Dan dia membiarkanku naik begitu saja?" Seringai muncul di wajahnya. "Atau mungkin... dia ingin aku merasakan setiap langkah menuju takdirku?"
Arata mendengus. "Maaf. Tapi aku tidak punya waktu untuk permainan bosan ini."
Mata kanannya berpendar dengan energi kegilaan yang intens. Agroname beresonansi dengan kekuatan itu, menciptakan gelombang distorsi yang mengacaukan pola energi di sekitarnya.
"Kalau kau ingin aku datang..." Arata mengangkat Agroname, "...maka aku akan datang dengan caraku sendiri!"
Dalam sekejap, tubuh Arata menghilang dalam ledakan energi kegilaan. Realitas di sekitarnya terdistorsi, melengkung, dan kemudian hancur - menciptakan lubang dalam fabrik dimensional yang langsung menghubungkan posisinya dengan aula utama di puncak menara.
Ketika realitas kembali menyatu, Arata telah berdiri di sebuah aula bundar yang megah. Setengah aula diselimuti cahaya keemasan yang hangat, sementara setengah lainnya tenggelam dalam bayangan yang menenangkan. Dan di tengah aula, tepat di garis batas antara cahaya dan kegelapan, sebuah singgasana crystal melayang dengan anggun.
"Selamat datang, Pembawa Kegilaan," sebuah suara yang seakan terdiri dari dua nada berbeda bergema di aula itu. "Akhir dari kematian aku.." dia tersenyum.
"Kau cepat paham ajalmu akan datang, Dewi Vaerlestira Feuya," Arata menyeringai, mata kanannya berkilat dengan intensitas yang semakin meningkat. Energi kegilaan mulai mengalir dari Sargceva ke Agroname, membuat pedang kuno itu bergetar dengan kekuatan yang tak terkendali.
Namun Dewi Feuya tetap tenang di singgasananya. Sosoknya yang setengah bercahaya dan setengah dalam bayangan yang menenangkan menciptakan pemandangan yang memukau - seorang dewi yang merupakan perwujudan sempurna dari keseimbangan itu sendiri.
"Sebelum kau mengakhiriku, Arata," suaranya yang ganda mengalun lembut, "izinkan aku menyampaikan satu hal." Dia bangkit dari singgasananya.
"Permintaan terakhir?" Arata mendengus, tapi energi kegilaan di pedangnya sedikit meredup. "Menarik. Apa yang ingin dikatakan oleh seorang dewi yang telah menerima kematiannya?"
Dewi Feuya melangkah mendekat, setiap langkahnya meninggalkan jejak cahaya dan bayangan yang berpadu. "Kau datang kemari membawa kehancuran, aku sudah mengetahui giliran ku."
Arata mengeratkan genggamannya pada Agroname, tapi ada sesuatu dalam suara sang dewi yang membuat energi kegilaannya semakin memudar. "Apa maksudmu?"
"Di balik semua kekacauan yang kau bawa," Dewi Feuya berhenti tepat di hadapan Arata, "Aku tidak mempermasalahkannya dan tidak akan membuat keributan untuk mu atas kehancuran dimensi aku."
"Apa yang kau maksud, katakan permintaan mu apa?" Energi kegilaan yang mengalir dari mata kanannya terasa... ragu.
"Permintaan terakhirku adalah izinkan aku menjadi kekasihmu Arata di kehidupan selanjutnya," dewi Feuya tersenyum lembut, "Jika kau memang harus menghancurkan keseimbangan dimensi ini... lakukanlah dengan memahami bahwa kau sendiri adalah bukti bahwa keseimbangan akan selalu ada, bahkan dalam kehancuran sekalipun.
"Kehidupan selanjutnya?" Arata menurunkan Agroname perlahan, kebingungan tergambar jelas di wajahnya. "Apa maksudmu? Tidak ada reinkarnasi untuk para Dewa - itu adalah hukum absolut yang bahkan aku tahu."
Dewi Feuya menggeleng lembut, senyum masih tersungging di wajahnya yang setengah terang setengah gelap. "The Creator tidak sekejam itu, Arata. Kau terlalu lama tenggelam dalam kegilaanmu hingga melupakan satu hal penting tentang-Nya."
"Apa maksudmu?" tanya Arata, mata kanannya berkedip dengan energi kegilaan yang semakin melemah.
"The Creator menciptakan keseimbangan bukan untuk mengekang, tapi untuk memberi kesempatan," Dewi Feuya mengulurkan tangannya, menyentuh Agroname dengan lembut. "Bahkan dalam kematian, ada kehidupan. Dalam kehancuran, ada penciptaan. Dan dalam setiap akhir... selalu ada awal yang baru."
"Tapi... semua Dewa yang kubunuh..." Arata terdiam sejenak, mengingat semua pertarungannya. "Mereka tidak pernah kembali."
"Karena mereka tidak memilih untuk kembali," jawab Dewi Feuya. "Mereka menerima akhir mereka sebagai sebuah kepastian. Tapi aku..." dia tersenyum lebih lebar, "aku memilih untuk melihatnya sebagai sebuah permulaan."
"Dan kau memilih... untuk kembali sebagai kekasihku?" Arata tertawa getir. "Aku, yang telah menghancurkan begitu banyak dimensi? Yang membawa kegilaan ke mana-mana?"
"Justru karena itu," Dewi Feuya mengangguk. "Dalam dirimu, aku melihat keseimbangan yang paling murni - antara kehancuran dan penciptaan, antara kegilaan dan kebijaksanaan. Kau adalah paradoks hidup, Arata... dan aku ingin memahami itu dalam kehidupan selanjutnya."
Arata menatap dalam-dalam ke mata Dewi Feuya yang memancarkan cahaya dan bayangan sekaligus. Tangannya yang memegang Agroname bergetar pelan, bukan karena kegilaan, tapi karena sesuatu yang berbeda - sesuatu yang bahkan dia sendiri tidak pahami sepenuhnya.
"Baiklah," bisiknya pelan, "Aku akan mengabulkan permintaanmu."
Untuk pertama kalinya sejak dia mendapatkan kekuatan Sargceva, Arata membiarkan energi kegilaan mengalir dengan sangat terkendali. Mata kanannya berpendar lembut, mengirimkan aliran energi divine yang hampir... lembut ke Agroname.
Pedang kuno itu beresonansi dengan cara yang berbeda - tidak lagi bergetar penuh kegilaan, tapi bergetar dalam harmoni yang aneh dengan energi keseimbangan di sekitarnya.
"Terima kasih," Dewi Feuya tersenyum, merentangkan tangannya seolah menyambut apa yang akan datang.
Arata menggerakkan Agroname dalam satu tusukan halus - tepat ke jantung sang dewi. Tidak ada ledakan kegilaan, tidak ada distorsi realitas yang mengerikan. Hanya cahaya keemasan dan bayangan yang perlahan mengalir keluar dari tubuh Dewi Feuya, berpadu dengan energi divine yang mengalir dari pedang Arata.
"Sampai bertemu lagi..." bisik Dewi Feuya saat tubuhnya mulai memudar menjadi serpihan cahaya dan bayangan. "...kekasihku."
Dimensi Feuya mulai bergetar saat keseimbangannya goyah, tapi jiwa sang dewi tidak sepenuhnya hancur - berkat kendali Arata yang tak terduga. Sebagian dari esensinya tetap utuh, mengambang dalam spiral cahaya dan bayangan yang perlahan menghilang ke dalam ketiadaan.
"Dimensi ini akan runtuh," gumam Arata, menurunkan Agroname yang kini berkilau dengan energi yang berbeda. "Tapi kau... kau akan kembali."
Untuk pertama kalinya sejak dia memulai perjalanan kehancurannya, sebuah senyum tulus - bukan seringai kegilaan - muncul di wajah Arata.
Arata melompat dengan anggun, tubuhnya melayang di antara celah dimensi yang mulai terkoyak. Dari posisinya yang mengambang di tepi realitas, dia menyaksikan bagaimana Dimensi Feuya perlahan-lahan tenggelam ke dalam ketiadaan absolut.
Pemandangan di hadapannya begitu menakjubkan sekaligus menyayat hati. Lapisan-lapisan realitas terkelupas seperti kelopak bunga yang layu, masing-masing membawa serpihan kenangan dan kekuatan divine yang pernah bersemayam di dalamnya. Cahaya dan bayangan—esensi murni dari kekuatan Dewi Feuya—menari dalam spiral yang mempesona sebelum lenyap ke dalam kegelapan abadi.
"Indah," bisik Arata, matanya yang heterokrom menyaksikan kehancuran dengan cara yang berbeda dari biasanya. Mata kanannya yang biasanya berkilat penuh kegilaan kini memancarkan cahaya lembut, seolah menghormati momen kepergian dimensi ini.
Di bawahnya, terbentang Garden of Eques—taman keabadian yang menjadi pusat dari Dimensi Feuya. Hamparan bunga-bunga emas dan perak bergoyang dalam angin terakhir mereka, melepaskan kelopak-kelopak yang membumbung tinggi sebelum hancur menjadi partikel cahaya. Air terjun gelembung yang mengalirkan esensi kehidupan mulai retak, menciptakan hujan prisma yang memantulkan ribuan realitas berbeda sebelum menguap menjadi ketiadaan.
Pilar-pilar marmer putih yang menjulang hingga langit dimensi mulai runtuh satu per satu, tidak lagi mampu menopang beban realitas yang kini kehilangan penopang utamanya. Setiap kehancuran menghasilkan gelombang energi divine yang menyapu ke seluruh penjuru, membawa serta serpihan-serpihan keindahan yang tak akan pernah ada lagi.
"Kau benar, Feuya," gumam Arata, tangannya menggenggam Agroname yang kini berdenyut dengan ritme yang berbeda. "Bahkan dalam kehancuran, ada keseimbangan yang tak terbantahkan."
Arata berdiri di ambang kehancuran, namun matanya terpaku pada pemandangan yang membentang di hadapannya. Garden of Eques—taman legendaris Dewi Equel—seperti lukisan surreal yang membentang hingga ke titik di mana mata tidak lagi mampu menjangkau.
Pagar-pagar hidup yang terbuat dari sulur kristal keemasan menjulang tinggi, berkilau dalam cahaya multicolor. Mereka membentang tanpa akhir, seperti labirin tak terbatas. Di beberapa tempat, sulur-sulur itu meliuk membentuk lengkungan dan spiral yang mustahil, menantang hukum fisika yang bahkan berlaku di dimensi para dewa.
apa maksudnya begini,
Mengapa Dia hanya memikirkan hiburan untuk dirinya hingga membuat kita mati mempertahankan sebuah 'nyawa'.
mungkin bagus jika kalimatnya begitu. coba dipertimbangkan.