Muak seluruh semesta saling membunuh dalam pertikaian yang baru, aku kehilangan adikku dan menjadi raja iblis pertama kematian adikku menciptakan luka dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewa Leluhur, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Crispy Mischief
Saat matahari mulai tenggelam, Dewi Eika bersama keempat maidnya kembali ke kastil. Tangan para maid penuh dengan berbagai pemberian dari penduduk kota—keranjang buah-buahan segar, kain sutra halus, dan berbagai kerajinan tangan yang dibuat dengan penuh dedikasi oleh para manekin.
"Sungguh hari yang menyenangkan," gumam Eika sambil melangkah melalui koridor kastil yang megah. Namun langkahnya terhenti saat mendekati ruang kerjanya. Dari celah pintu yang sedikit terbuka, dia mendengar suara yang sangat familiar—suaranya sendiri.
"Kau membuat replika dirimu sendiri. Itu adalah bentuk kesombongan tertinggi dalam seni penciptaan manekin. Kau masih belum memahami esensi sejati dari apa yang kuajarkan."
Eika membeku. Keempat maidnya saling berpandangan dengan waspada. Dengan gerakan perlahan, Eika mendorong pintu ruang kerjanya hingga terbuka sepenuhnya.
Di dalam, dia melihat sosok yang identik dengan dirinya sedang berdiri di hadapan Arata yang terduduk lemas. Di lantai berserakan kepingan-kepingan manekin yang tampaknya baru saja dihancurkan. Dari sisa-sisa signature magis yang masih berpendar, Eika bisa melihat bahwa kualitas manekin itu jauh lebih baik dari percobaan Arata sebelumnya.
"Peniru ganda?" tanya Eika dengan suara dingin kepada sosok yang mirip dirinya itu.
Sosok itu berbalik perlahan, sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya. Arata yang tadinya tertunduk langsung mengangkat wajahnya, matanya membelalak melihat ada dua Dewi Eika di hadapannya.
"Apa yang—" kata-kata Arata terputus. Dia memandang bergantian antara kedua sosok yang identik itu, kebingungan terpancar jelas di wajahnya.
Keempat maid Eika segera mengambil posisi defensif, bersiap melindungi tuan mereka yang asli. Ketegangan memenuhi ruangan saat kedua sosok Dewi Eika saling berhadapan, masing-masing memancarkan aura kekuatan yang luar biasa.
"Menarik sekali," sosok yang telah menghancurkan manekin Arata berkata dengan nada geli. "Sepertinya permainan kita baru saja dimulai. Tuan boneka palsu."
Eika yang asli melangkah maju dengan anggun, matanya menatap tajam ke arah sosok duplikatnya. "Palsu, bermain? Aku tidak ingat pernah mengundangmu untuk bermain di wilayahku."
"Ah, tapi bukankah ini menarik?" sosok itu menjawab, berjalan mengelilingi ruangan dengan gerakan yang sama persis seperti Eika. "Seorang Dewi yang mengajari manusia membuat manekin, padahal dia sendiri tidak bisa menciptakan jiwa sejati."
Arata bangkit perlahan, matanya masih memandang kedua sosok itu dengan kebingungan. "Dewi Eika..."
"Diam di tempatmu, Arata," kedua Eika berkata bersamaan, membuat situasi semakin membingungkan.
Para maid bergerak dalam formasi yang lebih ketat, mengepung sosok duplikat itu. Signature magis mereka mulai berpendar, siap bertindak melindungi tuan mereka yang asli.
"Kalian pikir bisa menghentikanku?" sosok itu tertawa. Dengan satu gerakan tangannya, udara di sekitar bergetar. "Aku adalah manifestasi dari apa yang kalian semua takutkan—kegagalan dalam penciptaan yang sempurna."
Eika yang asli mengangkat tangannya, menciptakan barrier pelindung di sekeliling Arata. "Jadi kau adalah anomali? Hasil dari signature yang tak sempurna?"
"Aku jauh lebih dari sekadar anomali," sosok itu menyeringai. "Aku adalah evolved—hasil dari ribuan kegagalan yang telah berevolusi menjadi kesempurnaan. Dan sekarang..." dia melirik ke arah serpihan manekin Arata, "aku akan membuktikan bahwa sistemmu sudah usang, Dewi Eika."
Tiba-tiba, serpihan-serpihan manekin yang hancur mulai bergetar, terangkat ke udara dengan sendirinya. Signature magis yang tersisa di serpihan itu berpendar dalam warna yang berbeda—bukan lagi keemasan, melainkan ungu gelap yang mencekam.
"Hentikan!" Eika berseru, menyadari apa yang akan terjadi. "Signature itu masih terhubung dengan energi spiritual Arata!"
Terlambat. Serpihan-serpihan itu mulai menyatu kembali, tetapi dalam bentuk yang berbeda. Bukan lagi replika Arata, melainkan sosok yang lebih gelap, lebih mengancam. Signature magis ungu itu membentuk jaringan kompleks yang tidak pernah diajarkan Eika pada muridnya.
"Lihat?" sosok duplikat itu berkata puas. "Inilah evolusi sejati dari seni penciptaan manekin. Bukan lagi sekadar boneka yang mengikuti aturan, tapi makhluk yang bisa berkembang sendiri."
Arata merasakan energinya tersedot perlahan ke dalam manekin yang sedang terbentuk itu. Dia jatuh berlutut, napasnya terengah. "Dewi Eika... tolong..."
"Cukup!" Eika yang asli akhirnya bertindak. Dengan gerakan cepat, dia membentuk segel magis kompleks di udara. Keempat maidnya segera bereaksi, masing-masing mengambil posisi di empat penjuru, menciptakan formasi pengunci.
"Kau pikir bisa menghentikanku dengan segel kuno?" sosok duplikat itu mendengus. Namun sebelum dia bisa bereaksi lebih jauh, segel Eika dan para maid mulai bersinar terang, menciptakan kubah cahaya yang mengurung sosok itu beserta manekin yang sedang terbentuk.
"Mungkin kau benar," Eika berkata tegas. "Mungkin sistemku memang perlu berevolusi. Tapi bukan dengan cara seperti ini—bukan dengan mencuri energi spiritual orang lain."
Eika mengangkat tangannya, menghentikan aliran segel magis yang mengurung sosok duplikatnya. Sebuah senyum tipis tersungging di bibirnya, berbeda dengan ekspresi tegang yang ditampilkannya sejak tadi.
"Revalon," Eika menghela napas panjang, "kurasa sudah cukup sandiwaranya."
Sosok duplikat itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya tertawa kecil. Perlahan, ilusi yang membentuk wajah Eika memudar, menampakkan sosok asli Dewi Revalon Tunr—seorang dewi dengan rambut keunguan dan mata violet yang berkilau.
"Kau menyadarinya sejak awal, sahabatku memang hebat. Tidak aku sangka menipu Dewa utama akan semulus ini," kata Revalon masih dengan senyum jahilnya.
"Tentu saja," Eika berjalan mendekati Arata yang masih berlutut lemas. "Signature magismu terlalu khas untuk bisa ditiru. Lagipula, hanya kau yang akan membuat drama sebesar ini hanya untuk menguji muridku."
Arata mengangkat wajahnya, kebingungan masih terpancar jelas di matanya. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Eika membantu Arata berdiri, tangannya dengan lembut mengalirkan energi untuk memulihkan kekuatan spiritualnya yang terkuras. "Dewi Revalon adalah sahabatku sejak lama. Dia memiliki kebiasaan... unik untuk menguji setiap murid yang kuambil."
"Dan kau membiarkannya?" tanya Arata, masih tidak percaya dengan situasi yang baru saja dialaminya.
"Maafkan aku, Arata," Revalon melangkah mendekat, wajahnya kini menunjukkan penyesalan tulus. "Aku mungkin terlalu berlebihan kali ini. Tapi aku harus memastikan bahwa murid Eika memahami esensi sejati dari penciptaan manekin."
"Dengan menghancurkan karyaku dan hampir mengambil energi spiritualku?" Arata bertanya dengan nada getir.
"Revalon," Eika menatap sahabatnya dengan tatapan menegur, "kau memang keterlaluan kali ini. Lihat betapa pucat wajah Dewa Arata."
Revalon mengangguk. "Hanya butuh sedikit penyempurnaan pada aliran energinya. Dan kurasa..." dia melirik Eika, "kau memiliki guru yang tepat untuk membimbingmu mencapai hal itu."
Eika menggelengkan kepalanya melihat tingkah sahabatnya, namun senyum kecil tetap terukir di wajahnya. "Nah, Arata, kurasa cukup untuk hari ini. Istirahatlah. Besok kita akan mulai membuat manekin baru—" dia melirik Revalon dengan tatapan tajam, "—tanpa ada gangguan dari dewi iseng yang suka menyamar."
Revalon mengangkat kedua tangannya tanda menyerah, tapi tawanya yang renyah memenuhi ruangan. "Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Tapi ingat Arata," dia menatap Dewa Arata itu dengan serius, "kegagalan bukanlah akhir. Justru dari kegagalan itulah kita bisa menciptakan sesuatu yang lebih indah."
Arata mengangguk, kali ini dengan senyum kecil di wajahnya. Meskipun masih lelah, dia bisa merasakan ada pelajaran berharga di balik ujian tak terduga ini.
Para maid yang sejak tadi tegang akhirnya bisa bernapas lega, kembali ke posisi normal mereka. Saat matahari benar-benar tenggelam di ufuk barat, ruangan itu dipenuhi cahaya hangat dari lilin-lilin yang menyala dengan sendirinya—signature magis Eika yang lembut menerangi kastil, menandai berakhirnya satu hari yang penuh kejutan.