Kania harus menerima kenyataan pahit ketika suaminya—Adrian, menceraikannya tepat setelah malam pertama mereka.
Tanpa sepengetahuan Adrian, Kania mengandung anaknya, calon pewaris keluarga Pratama.
Kania pun menghilang dari kehidupan Adrian. Tetapi lima tahun kemudian, mereka dipertemukan kembali. Kania datang dengan seorang bocah laki-laki yang mengejutkan Adrian karena begitu mirip dengannya.
Namun, situasi semakin rumit ketika Adrian ternyata sudah menikah lagi.
Bagaimana Kania menghadapi kenyataan ini? Apakah ia akan menjauh, atau menerima cinta Adrian yang berusaha mengambil hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 Aku Ingin Kita Bercerai
“Saya terima nikah dan kawinnya Kania Larasati binti Haris dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.”
Kata-kata itu terucap lantang dari bibir Adrian. Dengan suara datar tanpa emosi.
Di depan mereka, para saksi dan tamu keluarga tersenyum penuh kebahagiaan. Semua tampak sempurna, kecuali bagi Kania dan Adrian.
Kania menatap suaminya yang baru saja mengikrarkan janji suci. Rasa bahagia bercampur dengan kecemasan memenuhi hatinya.
Pernikahan ini terjadi begitu cepat, terlalu tiba-tiba.
Keluarga Pratama mendesak Adrian untuk segera menikah demi mendapatkan penerus, dan pilihan jatuh pada dirinya—Kania, perempuan yang selama ini diam-diam mengagumi Adrian.
Namun, Adrian jelas tak pernah mencintainya. Dan kania tahu itu.
Adrian tak banyak bicara sejak pagi. Bahkan, di malam pertamanya, ia duduk di sofa kamar hotel yang megah, menatap keluar jendela dengan ekspresi kosong.
Sementara Kania menunggu di tempat tidur. Ia merasa gugup namun mencoba mengumpulkan keberanian.
“Mas…” Kania memanggilnya pelan.
Adrian tidak langsung menjawab, hanya berbalik sekilas dan menatapnya dengan dingin. “Ada apa?”
“Kita baru saja menikah. Apa kamu tidak ingin berbicara denganku?” Kania merasa suara itu terdengar begitu ragu-ragu.
Adrian menghela napas panjang, lalu bangkit dari sofa. Ia berjalan mendekati tempat tidur, namun sikapnya tetap dingin dan tak berperasaan.
“Apa yang perlu dibicarakan?”
“Ini malam pernikahan kita.” Kania berusaha mempertahankan harapan kecilnya. “Aku ingin tahu apa yang kamu rasakan.”
“Apa yang kurasakan?” Adrian tertawa pelan, namun tawa itu terdengar getir.
“Aku sama sekali tidak merasakan apa-apa padamu, Kania. Pernikahan ini bukan keinginanku.”
Kania tersentak mendengar kalimat itu. Meski ia tahu Adrian tidak mencintainya, mendengar kata-kata itu keluar langsung dari mulutnya tetap saja menyakitkan.
“Keluargaku memaksaku menikah denganmu. Mereka ingin penerus, seseorang yang bisa melanjutkan nama keluarga Pratama. Itulah satu-satunya alasan pernikahan ini terjadi.” Adrian melanjutkan.
“Tapi, kita bisa mencoba untuk—”
“Tidak ada yang perlu dicoba.” Adrian memotong kata-kata Kania dengan nada dingin. “Aku tidak mencintaimu. Aku tidak pernah menginginkan pernikahan ini. Kamu tahu itu, bukan?”
Kania menundukkan kepala, tidak mampu menahan rasa sakit yang mulai meresap ke dalam hatinya. “Aku mencintaimu, Mas...”
Adrian terdiam sejenak, seolah tersentuh oleh pengakuan Kania. Namun, hanya sesaat. Hatinya tetap keras dan tak tergoyahkan.
“Cinta tidak ada artinya dalam pernikahan ini.”
Adrian mendekati Kania dengan langkah pelan. Dia menatap wajahnya tanpa ekspresi sebelum menyentuh bahu Kania dengan tangan dinginnya.
“Kita harus melakukan kewajiban ini,” ucap Adrian tanpa perasaan, seolah hubungan mereka hanyalah sebuah kontrak tanpa emosi.
“Aku ingin meminta hak sebagai suamimu!”
Kania hanya bisa menatapnya, pasrah, dengan air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
Meski Adrian tidak bisa mencintainya, setidaknya Kania sudah menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Itulah yang Kania pikirkan.
Mereka melakukan hubungan suami istri malam itu. Tapi bagi Kania, keintiman itu terasa hampa.
Tak ada cinta, tak ada kelembutan. Hanya kewajiban yang Adrian penuhi, tanpa sentuhan kasih sayang.
“Kamu benar-benar tidak punya hati, Mas.” batin Kania.
**
Keesokan paginya, suasana di kamar hotel terasa sunyi. Cahaya matahari masuk melalui celah-celah gorden yang belum sepenuhnya ditutup.
Kania bangun lebih dulu, namun tak berani membangunkan Adrian yang masih terbaring di sampingnya. Hatinya masih berat, perasaannya masih teraduk-aduk setelah malam yang dingin itu.
Namun, tidak lama kemudian, Adrian bangun.
Tanpa banyak kata, ia bangkit dari tempat tidur dan segera mengenakan pakaian. Kania memperhatikan gerak-geriknya dengan hati berdebar, tidak tahu harus berkata apa.
“Kania,” suara Adrian tiba-tiba memecah kesunyian, membuat Kania menoleh cepat. Ada nada tegas dalam suaranya, seolah ia telah memutuskan sesuatu yang penting.
“Ada apa, Mas?”
“Aku ingin kita bercerai.”
Kata-kata itu meluncur begitu saja, seperti pisau tajam yang langsung menusuk hati Kania.
Matanya melebar, dan untuk beberapa saat, ia tidak bisa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Apa maksudmu Mas?” Kania akhirnya berhasil bersuara, meski suaranya terdengar serak dan bergetar.
“Aku sudah memikirkannya sejak sebelum pernikahan ini. Sekarang, setelah malam ini, aku yakin. Aku tidak bisa menjalani ini.” Adrian berdiri tegak di depan cermin, memperbaiki kemejanya tanpa sedikit pun melihat ke arah Kania.
“Tapi, kita baru saja menikah. Bagaimana bisa mungkin kamu memutuskan semua ini dengan begitu cepat tanpa menanyakannya dulu padaku?”
“Pernikahan ini hanya formalitas. Aku sudah mengatakan dari awal bahwa aku tidak pernah menginginkannya.” Adrian menatap bayangannya sendiri di cermin dengan tatapan dingin. “Kita akan segera mengurus perceraian ini. Aku tidak akan mempersulit mu. Kamu bisa meminta apapun yang kamu inginkan.”
Kania hanya bisa menatap Adrian dengan air mata yang mulai mengalir. Hatinya hancur berkeping-keping.
“Kamu benar-benar tidak mau mencobanya, Mas? Tidak adakah kesempatan untuk kita berdua?”
Adrian menggelengkan kepalanya. “Aku tidak ingin memberimu harapan palsu. Pernikahan ini tidak akan pernah berhasil dan berjalan seperti kemauan mereka.”
Kania terdiam, tubuhnya terasa lemas. Semua harapan dan impiannya hancur dalam sekejap.
Adrian mengambil tasnya dan berjalan menuju pintu, siap untuk meninggalkan Kania. Namun, sebelum ia keluar, ia berhenti sejenak, menatap Kania sekali lagi.
“Aku harap kamu mengerti. Ini yang terbaik untuk kita berdua.”
Tanpa menunggu jawaban, Adrian keluar dari kamar, meninggalkan Kania sendirian dalam keheningan.
Air mata Kania tak bisa dibendung lagi, jatuh membasahi pipinya.
Semua yang ia impikan hancur dalam satu malam, dan kini ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa pernikahan mereka hanya sekejap, dan berakhir sebelum benar-benar dimulai.
“Apa ini benar-benar takdir darimu? Jika memang iya, aku akan menerimanya dengan lapang meski rasanya sakit hiks...”