Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Hari Pertama
Adara menatap cermin di kamarnya dengan perasaan campur aduk. Hari ini adalah hari pertama ia akan bekerja sebagai sekretaris pribadi di perusahaan besar milik Arga Pratama, salah satu pengusaha muda paling sukses di negeri ini. Pekerjaan ini adalah impian banyak orang, termasuk dirinya. Namun, di balik kegembiraan itu, ada perasaan gugup yang menggerogoti perutnya. Dia tahu betul reputasi Arga. Pria itu dikenal sebagai sosok dingin dan tidak berperasaan. Tidak banyak orang yang bisa bertahan bekerja dengannya.
Sambil merapikan rambutnya yang tergerai lurus, Adara menarik napas dalam-dalam. Dia memilih mengenakan setelan blazer hitam yang pas dengan tubuhnya, terlihat profesional namun tetap elegan. Penampilannya sempurna untuk menampilkan kesan pertama yang baik, tetapi di dalam hatinya, dia terus berdoa agar segala sesuatunya berjalan lancar.
Dia mengecek ponselnya untuk memastikan tidak ada pesan yang terlewat, lalu segera memasukkan barang-barangnya ke dalam tas. “Aku bisa melakukan ini,” bisiknya kepada dirinya sendiri. Meskipun merasa gugup, Adara tahu bahwa kesempatan ini bisa menjadi titik balik dalam hidupnya. Dia membutuhkan pekerjaan ini, bukan hanya karena karier, tetapi juga untuk membuktikan kepada keluarganya bahwa dia bisa mandiri dan sukses.
Sesampainya di gedung Pratama Corporation, jantung Adara berdetak lebih cepat. Gedung kaca modern yang menjulang tinggi itu tampak megah, mencerminkan kekayaan dan kekuasaan perusahaan. Dengan ragu, dia melangkah masuk ke dalam lobi yang luas dan mewah, dikelilingi oleh dinding marmer dan lampu gantung kristal yang berkilauan. Suasana kantor itu begitu tenang dan tertata, setiap orang tampak sibuk dengan urusannya masing-masing. Tanpa berpikir panjang, Adara segera menuju resepsionis.
“Selamat pagi, saya Adara, sekretaris baru Pak Arga Pratama,” katanya dengan senyum yang berusaha terlihat tenang.
Resepsionis, seorang wanita dengan senyum ramah, segera memeriksa daftar nama di layar komputernya. “Ah, selamat datang, Mbak Adara. Pak Arga sudah menunggu Anda. Silakan menuju lantai 25, ruangannya di ujung koridor sebelah kiri.”
Adara mengangguk, berterima kasih, dan berjalan menuju lift dengan langkah yang sedikit gemetar. Lift mewah dengan dinding cermin memperlihatkan refleksi dirinya yang mencoba terlihat percaya diri. Dia berlatih tersenyum beberapa kali, berharap tidak memperlihatkan ketegangannya.
Ketika pintu lift terbuka di lantai 25, suasana terasa jauh lebih sunyi. Hanya ada beberapa orang yang terlihat sibuk di meja masing-masing. Ini adalah lantai eksekutif, di mana hanya staf terpilih yang bekerja langsung dengan jajaran direksi, termasuk Arga Pratama. Adara menatap sekelilingnya dan akhirnya melangkah menuju ujung koridor. Ruangan di ujung itu terkesan lebih megah daripada yang lain, dengan pintu kayu mahoni yang tinggi dan elegan.
Dengan napas tertahan, Adara mengetuk pintu dengan pelan. Suara berat yang ia kenali dari beberapa wawancara di televisi terdengar dari dalam, “Masuk.”
Adara membuka pintu dan melangkah masuk. Ruangan itu luas, dengan dinding kaca besar yang menyuguhkan pemandangan kota dari ketinggian. Di balik meja kayu besar yang terletak di tengah ruangan, duduk seorang pria yang tampak memancarkan aura kekuasaan. Arga Pratama, dengan setelan abu-abu gelap yang sempurna, menatapnya dari balik layar laptopnya. Mata pria itu tajam, penuh dengan ketenangan, tetapi dingin.
“Selamat pagi, Pak Arga,” sapa Adara dengan suara yang ia usahakan tetap stabil.
Arga mengangguk tipis tanpa senyum. “Duduklah.”
Adara dengan cepat duduk di kursi di depan meja besar itu. Tangannya sedikit berkeringat, tetapi dia berusaha tetap tenang.
Arga menutup laptopnya dan menatap Adara dengan intens. “Saya tidak punya banyak waktu untuk basa-basi. Di sini, saya butuh orang yang bisa bekerja cepat, efisien, dan tidak membuat kesalahan. Sekali saja Anda melakukan kesalahan, Anda bisa keluar dari sini. Jelas?”
Adara menelan ludah. Ini adalah tantangan yang lebih besar dari yang ia bayangkan, tetapi dia sudah memutuskan untuk tidak mundur. “Jelas, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik.”
Tatapan Arga tidak berubah. “Baik. Mulai hari ini, Anda akan mengatur semua jadwal saya, termasuk pertemuan, perjalanan bisnis, hingga urusan pribadi saya. Saya tidak suka menunggu, dan saya berharap Anda mengerti pentingnya ketepatan waktu. Jika ada sesuatu yang mendesak, Anda langsung lapor kepada saya. Mengerti?”
“Mengerti, Pak.”
Arga memberikan tumpukan dokumen kepada Adara. “Ini jadwal saya minggu ini. Susun dengan baik, dan pastikan tidak ada yang tumpang tindih.”
Adara mengambil dokumen-dokumen itu dengan hati-hati. “Baik, Pak. Akan segera saya kerjakan.”
Arga hanya mengangguk, lalu kembali membuka laptopnya, seolah-olah Adara sudah tidak ada di ruangan itu lagi. Merasa lega telah melalui pertemuan pertama tanpa kesalahan besar, Adara berdiri dan meninggalkan ruangan dengan langkah cepat.
Dia kembali ke meja kecil di luar ruangan Arga, yang kini menjadi wilayah kerjanya. Meja itu sederhana, tetapi cukup luas untuk menampung berbagai dokumen dan laptopnya. Setelah duduk, Adara langsung mulai mengerjakan tugas yang diberikan Arga. Jadwal yang harus diaturnya cukup rumit, penuh dengan pertemuan bisnis, makan siang dengan klien penting, hingga jadwal perjalanan luar negeri. Tidak ada ruang untuk kesalahan.
Sambil bekerja, Adara menyadari bahwa pekerjaannya tidak akan mudah. Dia tidak hanya harus berurusan dengan jadwal yang padat, tetapi juga harus menghadapi tuntutan Arga yang tampaknya tidak mengenal kompromi. Namun, di balik itu semua, ada semacam tantangan yang membuatnya merasa tertarik. Dia tidak bisa menyangkal bahwa Arga, dengan sikap dinginnya, memiliki daya tarik tersendiri. Setiap kali pria itu berbicara, ada aura kekuasaan yang terpancar darinya, seolah-olah dia selalu mengendalikan segalanya.
Hari pertama Adara berlalu dengan cepat. Meski sempat mengalami beberapa kebingungan kecil dalam menyesuaikan diri, dia berhasil menyelesaikan tugasnya dengan baik. Ketika jam kerja berakhir, Adara menatap layar laptopnya, merasa sedikit lega bahwa tidak ada masalah besar yang muncul hari ini. Namun, dia tahu bahwa ini baru permulaan. Tantangan yang lebih besar pasti akan datang, dan dia harus siap menghadapinya.
Saat meninggalkan kantor, Adara melihat ponselnya dan menerima pesan dari sahabatnya, Rina.
“Gimana hari pertamamu?” tulis Rina.
Adara tersenyum kecil dan membalas, “Lega. Tapi bosku benar-benar orang yang sulit ditebak.”
Rina segera membalas dengan emoji tertawa, “Yang penting kamu bisa bertahan. Semangat terus, ya!”
Adara mengunci ponselnya dan menatap ke luar jendela mobil yang membawanya pulang. Pikirannya melayang pada sosok Arga Pratama. Di balik sikap dingin dan profesionalismenya, ada sesuatu yang membuat Adara penasaran. Sesuatu yang ingin ia gali lebih dalam. Tapi untuk saat ini, yang paling penting adalah bagaimana ia bisa bertahan dan menjalankan tugasnya dengan baik.
Perjalanan baru saja dimulai.