Tiga tahun lamanya Amara menjalani pernikahannya dengan Alvaro. Selama itu juga Amara diam, saat semua orang mengatakan kalau dirinya adalah perempuan mandul. Amara menyimpan rasa sakitnya itu sendiri, ketika Ibu Mertua dan Kakak Iparnya menyebut dirinya mandul.
Amara tidak bisa memungkirinya, kalau dirinya pun ingin memiliki anak, namun Alvaro tidak menginginkan itu. Suaminya tak ingin anak darinya. Yang lebih mengejutkan ternyata selama ini suaminya masih terbelenggu dengan cinta di masa lalunya, yang sekarang hadir dan kehadirannya direstui Ibu Mertua dan Kakak Ipar Amara, untuk menjadi istri kedua Alvaro.
Sekarang Amara menyerah, lelah dengan sikap suaminya yang dingin, dan tidak peduli akan dirinya. Amara sadar, selama ini suaminnya tak mencintainnya. Haruskah Amara mempertahankan pernikahannya, saat tak ada cinta di dalam pernikahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Satu - Izinkan Suamimu Menikah Lagi
Amara masih menatap punggung suaminya yang tidur membelakanginya. Seperti biasa, seusai mereka bercinta suaminya langsung membelakagi Amara. Tidak ada ucapan romantis, pelukan hangat, dan kecupan mesra setelah bercinta. Dingin, hanya itu yang Amara rasakan selama ini, selama tiga tahun menikah dengan Pria kaya raya pilihan Ayahnya.
Alvaro Pramudya, pria dingin yang menikahi Amara Khairunisa. Tiga tahun sudah pernikahan mereka terjalin karena sebuah perjodohan, lebih tepatnya mereka dijodohkan sejak mereka masih kecil oleh ayah mereka. Ayah Alvaro berhutang budi pada Ayah Amara saat dulu sedang tertimpa masalah dalam bisnisnya. Mereka menikah setelah Ayah Amara meninggal dunia. Itu semua karena Ayah Alvaro tidak ingin Amara hidup sendirian, karena Ibu Amara sudah meninggal dunia sejak Amara masih SMP, terlebih Ayah Alvaro dan Amara sudah sepakat ingin menjodohkan mereka. Amara hanya tinggal dengan ayahnya sampai Ayahnya menyusul ibunya ke surga.
Awalnya Alvaro menolak, namun karena bujukan sang ayah yang sedang sakit, dan itu seperti permintaan terakhir sang Ayah, akhirnya Alvaro tidak bisa menolak semua itu, dan Alvaro menikahi Amara.
Selama tiga tahun pernikahan, Amara sudah tahu tabiat suaminya yang sangat dingin, cuek terhadap dirinya. Amara tidak mempermasalahkan akan hal itu, meskipun hatinya ingin sekali diperlakukan selayaknya seorang istri di luar sana yang bahagia karena selalu mendapatkan perlakuan romantis dari suaminya. Amara sadar, pernikahannya saja karena sebuah perjodohan, dan Amara tahu kalau Alvaro tidak mencintainya, karena masih ada masa lalu di hatinya sampai sekarang.
“Tadi mama ke sini, Mas,” ucap Amara memecah keheningan.
“Hmmm ....” Hanya itu jawaban Alvaro, yang membuat Amara harus sabar sekali.
“Tadi mama ke sini bawain aku jamu, Mas. Katanya jamu penyubur kandungan. Mama ingin sekali aku hamil.”
Sebetulnya Amara sudah bosan sekali membahas soal anak dengan suaminya, tapi mau bagaimana lagi, mertuanya terus mendesak dirinya supaya hamil.
Tidak menggubris ucapan Amara, Alvaro malah memilih langsung bangkit dari tempat tidurya. Ia memakai celana dan bajunya lagi. “Aku ke ruang kerja, masih banyak kerjaan yang harus aku selesaikan.” Alvaro langsung pergi dari kamarnya, tanpa memedulikan Amara sedikit pun.
Amara hanya bisa diam saat melihat suaminya bersikap dingin seperti itu. Memang itu sudah hal biasa yang Alvaro lakukan pada Amara, jadi Amara sudah terbiasa akan hal itu. “Mau sampai kapan kita seperti ini, Mas?” lirih Amara sedih.
Amara memegang dadanya yang terasa sesak. Ia disudutkan dari segala arah. Dianggap mandul oleh orang-orang yang berada di sekelilingnya. Tiga tahun bukan waktu yang singkat, tiga tahun dia menutupi semuanya. Hinaan demi hinaan ia terima dengan ikhlas demi menutupi keinginan suaminya yang tidak ingin memiliki anak dalam pernikahannya dengan Amara.
^^^
Amara terbangun dari tidurnya. Ia menatap kosong sisi tempat tidurnya. Ternyata semalam Alvaro tidak kembali lagi ke kamar setelah meninggalkan dirinya. Amara tahu, mungkin Alvaro marah karena Amara membahas soal anak. Jadi, Alvaro lebih memilih tidur di ruang kerjanya.
Amara mengembuskan napasnya kasar. Ia menyingkap selimut yang menutup tubuhnya, lalu bangkit dari tempat tidurnya untuk ke kamar mandi, membersihkan diri.
Setelah selesai dengan ritual mandinya, Amara bergegas ke bawah menuju dapur. Walau hatinya masih sedih dan sakit karena sikap Alvaro yang masih sama, dingin dan cuek, Amara tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Ia tak mau mengabaikan tugasnya sebagai istri Alvaro.
Amara memasak untuk sarapan Alvaro, dibantu oleh beberapa asisten di rumahnya. Padahal semua asisten sudah melarang Amara untuk masak, namun Amara tidak mau, ia tetap harus memasakkan makanan untuk suaminya. Asisten di rumah hanya membantu menyiapkan bahan masakan, juga membantu menghidangkan di meja makan.
Selesai memasak, Amara menata beberapa makanan hasil dari masakannya pagi ini. Dibantu oleh Bi Asih yang sedang mengangsurkan air putih ke dalam gelas. Amara melihat Alvaro keluar dari ruag kerjanya. Tatapan mereka saling pandang, Amara menyambut Alvaro dengan senyuman manisnya, namun Alvaro membalasnya dengan tatapan dingin.
“Mas, sarapan dulu yuk?” ajak Amara dengan penuh perhatian. Ia mengambilkan nasi untuk Alvaro.
“Hmmm ...,” jawab Alvaro.
Amira sampai sudah hafal dengan jawaban apa yang keluar dari mulut suaminya itu. Akhirnya Amara memilih untuk diam. Mereka sarapan bersama tapi dalam mode dingin.
^^^
Setelah Alvaro berangkat ke kantor. Seperti biasa Amara menyibukkan dirinya di kebun kecil miliknya. Kebun yang ia tanamani berbagai macam sayuran, bunga, dan buah. Amara dulu meminta izin pada Alvaro, untuk menghilangkan kejenuhannya, ia meminta tanah yang bersebalahan dengan taman di belakang rumahnya untuk ia berkebun. Seperti itu kegiatan Amara setiap hari setelah Alvaro pergi ke kantornya. Dan, hasil dari kebun bisa untuk masak sayur setiap harinya. Irit bukan? Amara jadi bisa menyisihkan uang belanja dari suaminya untuk kebutuhan lain? Padahal Alvaro mampu memberikan uang berapa pun yang Amara mau.
“Bu ...,” panggil Bi Asih pada Amara yang sedang sibuk di kebun, menyemai biji-biji sayuran.
“Iya, Bi Asih, ada apa?” tanya Amara.
“Ehm ... i—itu, Bu Eliana sama Mbak Vira datang, mereka ingin bertemu ibu, sedang menunggu di ruang tamu.”
“Oh, ya sudah saya cuci tangan dulu, Bi. Bilang saja saya sedang berkebun, dan akan segera ke sana. Tolong buatkan minum sama sediakan cemilan buat mereka juga ya, Bi?”
“Baik, Bu. Saya permisi ke dalam lagi.”
Amara menghela napasnnya kasar, setelah Bi Asih kembali masuk ke dalam untuk membuatkan minuman dan menyiapkan cemilan untuk mereka. Baru kemari Mama mertuanya datang, Amara tahu maksud kedatangan Mama Mertuanya dan Kakak Iparnya itu. Mau apa lagi kalau tidak menghina dirinya, yang mandul, karena lama belum hamil juga.
Amara langsung masuk ke dalam, tanpa berganti pakaian lebih dulu. Yang penting ia menemui dulu ibu mertuanya, karena ia takut kelamaan tidak keluar-keluar, nanti malah membuat ibu mertuanya mengomel tanpa henti.
“Ma, maaf lama,” ucap Amara sambil mencium tangan mertuanya.
“Pantas saja Varo gak betah di rumah, Mah! Lihat saja penampilan dia? Dekil, kucel, kotor, pakaiannya jelek!” sindir Vira.
Vira memang sejak awal tidak suka dengan Amara, karena Amara hanya perempuan biasa, bahkan bisa dikatakan perempuan miskin yang tak selevel dengan kehidupan mereka, dan tentunya tidak selevel dengan adik laki-lakinya.
“Maaf, Kak Vira, aku tidak sempat ganti baju. Takut Mama dan Kak Vira menunggu lama,” ucap Amara dengan menunduk melihat pakaiannya yang memang sedikit kotor karena terkena tanah.
Duduklah, ada yang ingin Mama bicarakan dengan kamu. Ini sangat penting!” perintah Mama Eliana.
Amara mengikuti perintah Mama Mertuanya itu. Amara yakin, mertuanya itu akan bicara serius soal dirinya yang tak kunjung hamil. Amara duduk di hadapan Mama Mertua dan Kakak Iparnya.
“Gini, Ra. Pernikahan kamu dan Alvaro sudah tiga tahun lebih, tapi belum ada tanda-tanda kamu hamil, itu kenapa bisa, Ra? Benar hasil pemeriksaan kalian berdua baik, dan tidak ada masalah pada kalian?” tanya Eliana.
Amara hanya bisa meremas baju daster yang ia gunakan, merasakan akan terjadi sesuatu hal yang sangat buruk yang akan disampaikan mertuanya.
“Benar hasilnya baik-baik saja? Tidak salah dengan hasilnya?” tanya Eliana lagi.
“Benar hasilnya, dan tidak ada yang salah dengan hasil pemeriksaan kami berdua, Ma. Mungkin belum waktunya saja,” jawab Amara jujur. Tidak mungkin Amara bilag pada mertuanya kalau suaminya lah yang tidak ingin memiliki anak. Suaminya lah yang menyuruh Amara untuk memakai alat kontrasepsi selama ini, dari awal mereka menikah.
“Halah, alasan! Kami tahu kok, kalau kamu itu mandul!” sarkas Vira dengan tatapan tajam, yang membuat Amara menunduk sedih.
“Mama terpakasa akan menjodohkan Alvaro dengan seseorang. Mama tahu ini tidak adil bagimu, tapi Vari harus punya masa depan, Varo harus punya penerus untuk keluarga besarnya. Keluarga Pramudya.” Ucapan Eliana seperti ribuan jarum menusuk relung hati Amara.
Amara tidak tahu, apa dirinya bisa merelakan Alvaro untuk wanita lain? Rasanya Amara tidak sanggup, membayangkan saja sudah membuat dadanya sesak dan sakit.
“Kamu tidak perlu khawatir, kamu masih tetap menjadi istri sah Varo. Kamu tidak akan kehilangan semua yang kau miliki saat ini. Asalkan kamu mengizikan Alvaro menikah lagi!” lanjut Eliana.
“Lagi pula, wanita yang Varo cintai sudah kembali, pasti Varo tidak akan keberatan akan hal itu, mungkin mereka akan kembali bersama,” ucap Vira dengan tatapan mengejek pada Amara.
Degh ....
“Wanita yang Varo cintai? Terusa aku ini siapa? Aku ini istrinya? Ah iya, aku sadar, aku hanya istri yang tak dicintainya,” batin Amara.
lanjutttt terus donggg 💪🤗🤗🤗
Jangan sampai malah melakukan kesalahan kamu Varo.... itu final Amara buat gak akan maafin kamu yaa 🤨😡